Content: / /

Nasib Hidup di Negeri Para Begundal

Citizen Jurnalism

11 Oktober 2013
Nasib Hidup di Negeri Para Begundal

"Kita ini hidup di negeri begundal

Pejabatnya sibuk mengurusi politik sundal

Rebutan jabatan dan berlomba hidup royal

Dengan cara main suap atau saling jegal

Kita ini hidup di negeri sundal

Pemilu berantakan dikatakan normal

Rakyat dibohongi lembaga survei yang tak bermoral

Karena dibayar oleh politikus bermoral kadal

Kita ini hidup di negeri abnormal

Orang salah dapat jabatan orang benar terpental

Mau jadi polisi,mau jadi PNS,mau jadi TNI, rumah dan tanah terjual

Karena oknum pejabatnya sudah rusak mental

Kita ini hidup di negeri terpental

Rakyat dibohongi angka-angka statistik yang tak masuk akal

Padahal utang bangsa kita sudah sangat fatal

Pemilu banyak menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang begundal"

Puisi berjudul Negeri Para Begundal itu ditulis oleh Hariyanto Imadha, alumni fakultas sastra/budaya dari Universitas Indonesia. Lirik puisi di atas secara kasat mata menggambarkan kondisi realitas yang sedang terjadi di negeri ini. Saat ini banyak kita temui puisi sejenis yang ditulis anak negeri yang ‘memprotes’ ulah para begundal-begundal tersebut. Anak negeri yang melakukan protes dengan cara ‘santun’ tersebut bisa dikatakan masih peduli akan nasib bangsa ini.

Begundal bisa diartikan sebagai kaki tangan penjahat. Ya, di republik yang kita cintai ini banyak kaki-kaki tangan penjahat yang ingin mengeruk kekayaan bangsa ini demi kepentingan pribadi/kelompok mereka saja. Kalangan aktivis banyak menilai, negeri ini mayoritas dipimpin oleh para begundal politik. Pertanyaannya kemudian, apa yang terjadi jika mayoritas pemimpin di negeri ini bergaya begundal? Negeri ini terancam masuk ke dalam kubangan kehancuran.

Namun, Yudi Latif, chairman dari Aktual Network, kerap memberikan optimistis bahwa Indonesia bukanlah negeri para begundal. Indonesia adalah negeri para pejuang. Menurut dia, mengutip pernyataan Bung Hatta, “Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu Tanah Air pada masa depan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Faktanya, menyitir dari istilah bahasa latin A bene placito, yang artinya sesukanya atau sekehendak hatinya, mayoritas pemimpin negeri ini memimpin dengan sekehendak hatinya saja, tanpa menghiraukan nasib anak negeri lainnya yang kerap selalu ditimpa kesusahan.

Jika benar negeri ini sekarang dipimpin segerombolan para begundal, mungkin para begundal itu telah melupakan akar sejarah bangsa ini, yakni Pancasila. Jika para pemimpin itu menghayati dan memahami benar makna dari Pancasila, niscaya mereka tidak akan menjadi begundal.

Para pendiri republik ini telah memberikan ‘kitab suci’ pegangan bagi rakyat Indonesia bernama Pancasila. Namun, ‘kitab suci’ itu kini diingkari oleh pemimpin negeri ini. Bagaimana tidak ingin dibilang diingkari, para pemimpin negeri ini mayoritas lupa akan sila yang ada di Pancasila yakni; ketuhanan yang maha esa, kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ambil contoh, jika pemimpin di negeri ini meyakini sila ketuhanan yang maha esa, niscaya para pemimpin negeri ini akan selalu mengingat Tuhan dalam setiap gerak dan langkah mereka. Bahkan, setiap helai napas mereka pun akan selalu mengingat Tuhan. Ingat Tuhan adalah faktor utama dalam kehidupan manusia. Sebab, tanpa mengenal Tuhan, manusia akan menghalalkan segara cara untuk mencapai segala hawa nafsu mereka. Manusia tanpa mengenal Tuhan laksana iblis yang diusir Tuhan dari surga.

Kemudian, kita juga bisa melihat bahwa rata-rata pemimpin kita, jika boleh jujur, rata-rata tidak bersikap adil dan bertingkah tidak beradab. Hal ini menyebabkan persatuan di negeri ini kerap terkoyak dan tidak terjadi keadilan bagi seluruh anak negeri. Sistem di negeri ini tidak lagi dipimpin atas dasar musyawarah mufakat. Namun dipimpin atas azas ketamakan dan keserakahan.

Padahal, mengambil omongan Bung Karno, “….di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.” Jangan mengaku mencintai Indonesia jika kita atau pemimpin negeri ini lupa akan adanya Pancasila. Lalu, jangan mengaku mencintai Pancasila jika kita atau pemimpin negeri lupa akan agama (Tuhan). Padahal, berke-Tuhan-an adalah hakikat dasar dari hidupnya sebuah manusia. Tanpa berke-Tuhan-an, manusia adalah sahabat dari iblis, muara dari timbulnya para begundal. (Heriyono/red)
 
sumber : aktual.com

Facebook

Twitter

Redaksi