Peristiwa Isra Mi’raj sangat lekat dengan sejarah kenabian Nabi Muhammad SAW Sebagai umatnya, sepatutnya kita dapat mengambil pelajaran dari peristiwa luar biasa yang telah terjadi sekian lama tersebut dan mengkontekstualisasikannya dalam kehidupan kita hari ini.
Selain menandakan awal turunnya perintah sholat 5 waktu, peristiwa ajaib yang hanya dianugerahkan Allah SWT kepada kekasih-Nya ini, sejatinya menyimpan pesan penting bagi kita umatnya hari ini. Sejarah Islam telah menjelaskan pada kita bahwa sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut, Muhammad SAW telah lebih dulu diuji dengan berbagai ujian, dari wafatnya Abu Thalib, sosok paman yang membela dan melindungi beliau di masa-masa awal dakwah Islam dari berbagai ancaman fisik maupun mental orang-orang yang tidak suka terhadapnya.
Baca juga: Cak Thoriq Sebut RSNU Lumajang Akan Segera Beroperasi
Tidak berhenti di situ, belahan jiwa, istri tercinta sang Nabi, Sayyidah Khadijah r.a yang juga merupakan benteng keteguhan hati Nabi dalam berdakwah turut pergi meninggalkan sang kekasih Allah dalam keadaan yang benar-benar hancur hingga tahun itu dikenal dengan tahun kesedihan.
Dari semua rentetan kesedihan yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW, Allah ternyata masih menyimpan rencana lain. Allah menyiapkan satu anugerah luar biasa untuk menghibur kekasih-Nya itu dalam bentuk perjalanan yang menguatkan hatinya dan semakin memperjelas kemuliannnya di sisi Allah, yaitu perjalanan Isra Mi’raj.
Lantas apa arti peristiwa mulia dan luar biasa tersebut bagi kita hari ini?. Dalam setahun terakhir, umat Islam di dunia diuji oleh Allah dengan virus Corona yang memaksa seluruh manusia, tidak hanya umat Islam, untuk mensetting ulang berbagai pola kehidupan yang dijalani selama ini. Dalam konteks yang lebih kecil, Lumajang dan sekitarnya, dalam 2 minggu terakhir diuji dengan curah hujan yang tidak biasa sehingga air dengan derasnya mengaliri sungai-sungai hingga melebihi kapasitas penampungan dan menyebabkan banjir di beberapa daerah. Tentu peristiwa alam tersebut dapat dijelaskan dengan berbagai perspektif; klimatologi, ilmu tata kota, atau yang lainnya, namun di sini penulis lebih menjurus pada perspektif keagamaan Islam dan bagaimana kita menyikapinya.
Dalam Islam, jika merujuk pada al-Quran, bencana dapat dimaknai dengan makna yang berbeda; musibah, ujian, fitnah/ atau cobaan dikutip dari Abdul Hakim, “Makna Bencana Menurut Al-Qur’an: Kajian Fenomena Terhadap Bencana Di Indonesia,” Hermeunetik 7, no. 2 (Desember 2013) . Jika dikaji dalam konteks budaya lokal, justru pemaknaan terkait bencana akan semakin varian. Terlepas dari bagaimana kita memandang bencana, menyikapinya dengan benar adalah sebuah keniscayaan.
Belajar dari peristiwa Isra’ Mi’raj, seharusnya kita dapat menyikapi bencana yang sedang kita alami ini dengan tetap berperasangka baik kepada Allah. Karena pada dasarnya, apa yang Allah ciptakan selalu baik dan “bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” dalam Q.S Al-Baqarah, 216 .Bahkan Allah juga telah menyinggung hamba-hamba-Nya yang beriman, “pakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji?” dalam Q.S Al-Ankabut, 2, dari dua wahyu Allah tersebut, secara jelas dapat dipahami bahwa ujian dan cobaan akan selalu ada.
Jangankan kita, Nabi kita yang jelas-jelas kekasih Allah dan dijamin masuk surga, Muhammad SAW, diuji dengan ujian yang tidak ringan. Hanya dengan demikian lah, Allah kemudian menganugerahkan kekasih-Nya tersebut dengan perjalanan Isra’ Mi’raj yang luar biasa itu. Semoga Allah juga sedang menyiapkan anugerah yang luar biasa kepada kita, hamba-hambaNya yang sabar dalam menghadapi musibah ini. Amin.
Baca juga: Calon Mahasiswa IAI Syarifuddin Lumajang Berdatangan ke Campus EXPO
Pelajaran kedua yang dapat diambil dari peristiwa Isra’ Mi’raj untuk kita hari ini adalah bahwa kita harus berusaha meng-Isra’-kan diri kita. Maksudnya adalah bahwa kita seharusnya lebih banyak menggunakan waktu malam kita untuk bisa mendekat kepada Allah, berduaan dengan Allah. Kita seharusnya mengusahakan untuk dapat memanfaatkan sepertiga malam untuk memohon ampunan-Nya atas apa yang telah kita lakukan pada diri dan alam sekitar kita serta mengibakan hati bersujud mengharap rahmat-Nya.
Bukankah pada saat sujud itulah adalah saat di mana seorang hamba paling dekat dengan Rabbnya? di dalam H.R Muslim. Dan di sepertiga malam itulah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Allah tabaaraka wata’ala turun setiap malam ke langit bumi, ketika malam tersisa sepertiga terakhir. Ia berkata, “Adakah yang memohon kepada-Ku agar Aku kabulkan, adakah yang meminta kepada-Ku agar Aku berikan, adakah yang memohon ampun agar Aku ampuni” (H.R Bukhari Muslim).
Pelajaran terakhir dari peristiwa Isra’ Mi’raj untuk kita yang sedang dilanda kekhawatiran, cobaan, dan berbagai ujian adalah bahwa hendaknya kita me-Mi’raj-kan diri kita. Me-Mi’raj-kan diri berarti menaikkan orientasi kehidupan kita kepada hal-hal yang lebih “tinggi” dari sekedar urusan-urusan duniawi. Di saat yang sama, me-Mi’raj-kan diri berarti menekan nafsu-nafsu keduniawian untuk bisa melambungkan hasrat-hasrat ukhrawi kita, menyisihkan potensi-potensi hewani yang ada dalam diri untuk dapat mendongkrak potensi-potensi ke-malaikat-an kita, dan memaksimalkan fungsi penciptaan kita untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya. Sehingga kita pantas disandingkan dengan para Nabi, para shiddiqin, para syuhada dan orang-orang saleh dalam Q. S An-Nisa, 69.
Tentu meng-Isra’ Mi’raj-kan diri ini bukanlah hal sederhana dan mengharuskan usaha yang tidak ringan. Justru, segala usaha yang tidak ringan pasti akan menghasilkan yang luar biasa. Semoga kita selalu diberi kekuatan untuk bisa meneladani setiap episode perjalanan junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w., walaupun dengan tertatih-tatih. Sehingga Allah berkenan mengangkat segala bala’ dari Indonesia dan dari tanah Lumajang tercinta ini. Amin allahumma amin.
Baca juga: Pascasarjana IAI Syarifuddin Lumajang Jalin MOU Bersama IAI Ibrahimi
Wallahu a’alm bishshowab.
* Oleh: Dr. Fazlul Rahman, Penulis Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam IAI Syarifuddin, Desa Wonorejo Kecamatan Kedungjajang.
Editor : Redaksi