Opini Akademisi

Bersyukur Dalam Pandemi

Penulis : lumajangsatu.com -
Bersyukur Dalam Pandemi
Dr. Fazlul Rahman, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam- IAI Syarifuddin bersama istri usai sidang Doktroral di UGM Jogyakarta 2017 lalu (sumber akun facebook pribadi).

 

Setidaknya sudah lebih dari dua bulan Indonesia kedatangan tamu tak diundang yang banyak merubah tatanan masyarakat di dalamnya. COVID 19, mau tidak mau, setuju atau tidak setuju, saat ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat tak hanya di Indonesia tapi juga dunia.

Berbagai usaha telah banyak dilakukan, baik dari sisi medis maupun non medis. Hingga pada beberapa minggu terakhir tercetus langkah-langkah untuk menginisiasi sebuah tatanan kehidupan baru yang disebut sebagai kehidupan dalam “kenormalan baru” (new normal).

Tulisan ini tidak pada kapasitas mengkritisi inisiatif pemerintah untuk “berdamai” dengan Corona atau mempermasalahkan istilah “kenormalan baru”, tetapi lebih kepada melihat sisi baik dari keadaan terburuk sekalipun. Yaitu dengan tetap bersyukur kepada Allah.

Dalam Islam, Allah menurunkan pedoman abadi tentang bagaimana menjalani kehidupan ini. Rosulullah S.a.w dalam sabdanya menjelaskan pedoman itu adalah al-Quran dan sunnah Rosulullah S.a.w,“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” Al-Quran ibarat manual book(buku panduan) tentang bagaiamana seharusnya menjalani kehidupan di dunia ini. Ketika kita membuka al-Quran, menarik menemukan bahwa ayat pertama yang tercantum setelah ayat basmalah adalah ayat syukur alhamdulillahi rabbil ‘alamin (segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam).

Dalam kajian ulumul Quran yang berkaitan dengan urutan ayat dan surat dalam al-Quran, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Asrar Tartib al-Quran karya Imam As-Suyuti, ada kesepakatan bahwa urutan ayat dan surat dalam al-Quran bersifat tauqifiy, yaitu mutlak dibawah kekuasaan Allah. Tidak ada campur tangan Nabi di dalamnya. Walaupun, ayat pertama yang turun kepada Nabi Muhammad s.a.w adalah 5 ayat pertama surat al-‘Alaq, namun ternyata ketika diurutkan seluruh ayat al-Quran, Allah menempatkan ayat syukur menjadi ayat teratas setelah bismillahirrahmanirrahim.

Menurut hemat penulis, hal ini mengisyaratkan bahwa setelah kita mengakui bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, bahwa apapun yang terjadi di kehidupan kita sejatinya adalah bentuk kasih dan sayang-Nya, maka hal yang harus kita lakukan selanjutnya adalah bersyukur kepada Sang Maha Cinta dan Maha Sayang. Syukur yang tanpa pamrih, bahkan di masa sulit.

Sebelum lebih jauh bagaimana kita memunculkan rasa syukur tanpa pamrih kepada Allah S.w.t, poin pertama yang harus ditekankan adalah bahwa bersyukur terhadap nikmat Tuhan (syukuur) itu adalah sesuatu yang biasa. Akan tetapi, mensyukuri penderitaan, musibah, dan kekecewaan (syakuur) itu luar biasa. Inilah poin penting sebagaimana disampaikan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar. Masih menurut beliau, “bersyukur dalam arti syakuur berarti bersabar menerima cobaan Tuhan dan tidak pernah salah paham terhadap Tuhan. Tidak boleh pasrah sebelum berusaha secara maksimum sebatas kemampuan kita. Kalau sudah dilakukan berbagai upaya, tapi penyakit itu masih mendera kita maka bersahabatlah dengan penyakit itu. Bersahabat dengan penyakit menurut para ahli anastesia (ahli rasa nyeri) dapat menurunkan rasa sakit itu sendiri. Yakinkan pada dirinya bahwa penyakit ini pasti bentuk lain dari rasa cinta Tuhan terhadap diri kita.”

Dalam kajian Psikologi, rasa syukur merupakan gambaran psikologis internal individu yang positif yang terbukti secara signifikan dapat memunculkan perasaan bahagia, tenang, dan damai dalam diri seseorang bagaimanapun kondisi yang dihadapinya. Dan perasaan bahagia, tenang, dan dami tersebut, dalam perspektif medis, dapat meningkatkan imunitas tubuh sehingga tubuh lebih kuat dalam merespons dan melawan penyakit.

Di tengah kehidupan yang baru di masa pandemi ini, maka rasa syukur ini dapat menjadi benteng pertama yang dibangun oleh individu dalam menghadapi virus yang tak terlihat. Lantas bagaimana memunculkan rasa syukur sehingga kita bisa menjadi hamba yang syakuur, hamba yang dapat melihat kebaikan-kebaikan Allah walau dalam keadaan sulit?

Menurut penulis, di antara cara yang dapat ditempuh untuk menjadi hamba yang bersyukur dalam keadaan sulit adalah dengan berusaha dan meningkatkan husnuzhon, berbaik sangka kepada Allah S.w.t. Berbaik sangka kepada Allah berarti meyakini bahwa Allah memiliki sifat Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, meyakini bahwa semua terjadi atas izin kuasa Allahdan Ia tidak akan membebani hamba-hamba-Nya lebih dari kemampuan mereka, meyakini bahwa semua terjadi atas izin Allah dan segala kejadian pasti ada hikmah kebaikan di dalamnya. Jika kita mampu demikian, maka janji Allah yang berfirman dalam sebuah hadis qudsi “Aku sesuai prasangka hambaku kepada-Ku” akan menjadi kenyataan.

Sejatinya segala kejadian dalam hidup ini; kesulitan dan kemudahan, nikmat dan musibah, sangat bergantung bagaimana perspektif kita melihat kejadian tersebut. Dalam hal ini Allah mengingatkan “...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Q.S Al-Baqarah: 216). Wallahua’lam bishshowab. *

 

* Penulis : Dr. Fazlul Rahman, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam- IAI Syarifuddin Lumajang - Jawa Timur

Editor : Redaksi

Opini

Euthanasia dan Perawatan Paliatif, Dilema Etik Antara Hak Hidup dan Hak Untuk Mengakhiri Penderitaan

Lumajang - Saat ini dunia ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan sudah sangat maju khusus pada bidang kesehatan. Dengan adanya kemajuan tersebut segala hal akan menjadi lebih mudah untuk dilakukan, seperti dalam hal mendiagnosis penyakit dan menentukan kemungkinan waktu kematian seseorang dengan tingkat akurasi tinggi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan logis. Bahkan para dokter kini pun juga dapat memberikan bantuan dalam mengakhiri kehidupan pasien  dengan kondisi medis yang memiliki tingkat kesembuhan relatif rendah atau dalam kondisi penyakit terminal. Proses ini dikenal dengan istilah Euthanasia (Fahrezi & Michael, 2024).