Opini Akademisi

Nalar Dakwah di Era Postmodern

Penulis : lumajangsatu.com -
Nalar Dakwah di Era Postmodern
Putri Nadiyatul Firdausi, M.Sos, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam, IAI Syarifuddin Lumajang.

“Kita definisikan pascamodern sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarasi. Mari lawan totalitas; jadilah saksi atas yang tertindas; hargai perbedaan dan saling hormati.”
-Jean Francois Lyotard-

Kita perlu mengakui dengan berani bahwa kita telah memasuki era postmodern di mana metanarasi, termasuk dogma agama harus siap untuk dikritik. Kita tidak mungkin lagi berlama-lama bertahan dengan gaya dakwah yang menyakralkan pemahaman terhadap Islam. Kita tidak mungkin lagi dapat bernyaman-nyaman mengutip dalil tanpa bicara soal antropologi, sosiologi, bahasa, dan ilmu-ilmu lain yang perlu digunakan untuk membentuk konsep utuh dalam agama. Agama dalam era postmodern akan memiliki jauh lebih banyak pemaknaan dan tidak bisa kita bendung dengan hanya memaksakan dogma -“Kalau sudah begitu, ya begitu!”-. Dengan demikian, kita perlu dan wajib menyiapkan Islam menjadi agama yang luwes, fleksibel, dan kontekstual. Pemahaman agama yang transenden dan seakan tidak bisa disentuh tidak mungkin lagi dipertahankan. Pemahaman terhadap kalam Allah tidak akan mungkin berhenti pada satu titik seperti halnya eksistensi Allah yang tidak pernah berujung. Lalu bagaimana seyogyanya dakwah di era postmodern?

Lyotard dikutip Setiawan dan Sudrajat (2018) mendefinisikan postmodern sebagai segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme. Postmodern lahir sebagai perlawanan atas metanarasi di masa-masa sebelumnya. Era ini menolak absolutisme kebenaran. Kebenaran menurut paham postmodern bersifat relatif dan tidak dapat dimonopoli. Dengan demikian, dakwah di era postmodern akan terasa usang jika masih mengandalkan dalil tanpa ada kajian yang komprehensif dari sisi ilmu sosiologi, antropologi, dan ilmu-ilmu lain. Khas postmodern yang antimetanarasi dengan demikian menjadi tantangan bagi pendakwah. Pendakwah harus mulai mengintegrasikan konsep-konsep keagamaan dengan ilmu-ilmu yang didasarkan pada akal budi manusia (sosiologi, antropologi, dan sebagainya) untuk dapat memenuhi kebutuhan beragama masyarakat postmodern.

Islam memiliki beberapa tokoh islam progresif yang menawarkan konsep islam baru yang dianggap sesuai dengan era postmodern. Mohammed Arkoun adalah salah satu cendekiawan islam yang dianggap mewakili cendekiawan era postmodern. Arkoun menganjurkan mempelajari Islam dan memahami kebudayaan dan peradabannya dengan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu sosial (Saefudin, 2003). Setidaknya ada empat pendekatan yang menurut Arkoun patut dipertimbangkan digunakan dalam studi kebudayaan dan peradaban Islam dan era studi agama Islam, yaitu sejarah, antropologi, sosiologi, dan bahasa. Ia meletakkan titik sentral pemikirannya pada kritik epistemologis pada keilmuan ilmu-ilmu agama secara keseluruhan. Arkoun dalam Saefuddin (2003) mengatakan bahwa struktur dan bangunan agama Islam merupakan produk sejarah pemikiran keagamaan biasa yang sebenarnya hanya berlaku pada penggal waktu dan ruang tertentu. Arkoun mengatakan bahwa agama Islam yang transendental-universal tidak lagi bersifat demikian dalam arti yang sebenarnya ketika agama dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat tertentu yang terkurung kepentingan sosial, politik, dan ekonomi tertentu. Warna lokal akan turut membentuknya.

Arkoun mengkritik nalar islami yang ada saat ini. Nalar islami yang dimaksudkan Arkoun di sini adalah nalar di era islam klasik di mana pemikiran Islam tidak membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat Islam kontemporer. Pendekatan agama Islam menurut Arkoun masih dilakukan atas dasar kepercayaan langsung tanpa kritik. Dengan demikian faktor sosial, budaya, psikologi, dan politik yang memengaruhi proses aktualisasi sejarah Islam menjadi terkesampingkan. Pemikiran Islam kemudian menjadi kaku dan tertutup. Hal ini yang menurut Arkoun harus segera dihilangkan dan diganti dengan pendekatan-pendekatan yang membumi, menyentuh pada realitas kehidupan masyarakat postmodern. Agama dengan demikian tidak nampak jauh dan terpisah dengan kehidupan masyarakat. Pemikiran Islam seyogyanyabisaberadaptasi mengikuti kebutuhan umat postmodern.

Era postmodern dengan demikian menuntut pendakwah untuk mau lebih berpayah-payah belajar dan mendalami Islam dengan banyak kacamata. Syiar Islam diharapkan tidak lagi kaku dan dogmatis namun dapat dibedah dengan pisau-pisau ilmu sosial sehingga pemaknaan terhadap konsep-konsep dalam agama dapat lebih komprehensif dan kontekstual. Pendakwah harus siap dengan ‘gempuran’ kritik terhadap konsep Islam dan tentu saja menjawab kritik dengan analisis kritis pula.Islam yang transedental-universal dengan demikian perlu digeser menjadi Islam yang membumi dan kontekstual. Kita tidak lagi dapat berdakwah dengan hanya mengutip dalil namun kita harus secara cermat memahami konteks dalil, sejarah, aspek sosial (kondisi masyarakat), dan lain-lain.*

* Penulis  : Putri Nadiyatul Firdausi, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam, IAI Syarifuddin Lumajang

Editor : Redaksi