Opini Akademisi Refleksi Idul Adha

Nabi Ibrahim as. : Gambaran Manusia dengan Kecerdasan Holistik

Penulis : lumajangsatu.com -
Nabi Ibrahim as. : Gambaran Manusia dengan Kecerdasan Holistik
Putri Nadiyatul Firdausi, S.KPm, M.Sos, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam IAI Syarifuddin Wonorejo - Kedungjajang, Lumajang - Jawa Timur.

Setiap utusan Allah memanglah istimewa. Baik nabi maupun rasul pasti memiliki kelebihan yang tidak didapatkan dalam diri manusia biasa, tidak terkecuali Nabi Ibrahim as. Menarik untuk menengok kembali kisah Nabi Ibrahim as/Abram/Abraham, bapak agama-agama samawi. Nabi Ibrahim memiliki tempat tersendiri bagi agama-agama ‘langit’ ini. Ketiga agama samawi sama-sama mengakui, mengimani, dan berusaha meneladani Nabi Ibrahim as dengan caranya masing-masing.

Hal ini menunjukkan betapa pengaruh Nabi Ibrahim as begitu besar terhadap sejarah keagamaan sehingga keturunannya terbagi menjadi agama-agama yang berbeda namun sama-sama mengimani Nabi Ibrahim. Bahkan ketiga agama tersebut banyak diyakini oleh penduduk dunia hingga sekarang.

Bagaimana bisa Nabi Ibrahim memberikan pengaruh yang begitu besar? Tentu betul, alasan kuatnya adalah karena Nabi Ibrahim adalah Nabi, seorang pilihan Allah. Pilihan Allah, utusan Allah tentulah memiliki keistimewaan yang membuatnya dipercaya sebagai utusan. Namun, apa keistimewaan Nabi Ibrahim hingga memiliki pengaruh besar, dibicarakan dan tentunya diteladani agama-agama samawi hingga dijuluki bapak agama samawi?

Telah banyak kita simak cerita kedermawanan Nabi Ibrahim, keikhlasan Nabi Ibrahim ketika diuji Allah, dan kisah Nabi Ibrahim menghancurkan berhala kaumpagan. Ketiga cerita tersebut cukup representatif untuk menarik kesimpulan bahwa Nabi Ibrahim adalah contoh yang ideal menggambarkan manusia yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang tinggi sekaligus.

Kecerdasan Intelektual. Kita telah sering mendengarkan, membaca, merenungi ayat Al-Qur’an tentang kisah Nabi Ibrahim as yang menolak tradisi pagan menyembah berhala. Surat Al-An’am ayat 76-78 memberikan bukti yang kuat tentang kecerdasan intelektual Nabi Ibrahim as. Meskipun terdapat perbedaan dalam menafsirkan surat Al-An’am ayat 76-78 (sebagian menafsirkan ayat-ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim saat itu mencari Tuhan, sebagian lain menafsirkan kalimat tersebut adalah kalimat debat untuk menunjukkan kesesatan dan kekeliruan kaum pagan), namun satu hal penting yang bisa kita simpulkan adalah betapa cerdas argumen-argumen yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim as untuk menunjukkan kesesatan dan kekeliruan sesembahan kaum pagan.

Al-An’am ayat 76
Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”

Al-An’am ayat 77
“Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”

Al-An’am ayat 78
Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar. Maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”

Satu kisah lain yang menunjukkan kecerdasan intelektual sekaligus keberanian Nabi Ibrahim mengatakan hal yang masuk akal adalah saat perayaan tradisi pagan di mana kaum pagan berkumpul. Nabi Ibrahim as dengan sengaja menghancurkan berhala-berhala tersebut dan menyisakan satu berhala yang paling besar tanpa kaum pagan tahu. Saat kaum pagan mendapati berhala-berhalanya telah hancur, mereka bertanya kepada Nabi Ibrahim as,

"Ibrahim, apakah engkau yang menghancurkan Tuhan-Tuhan kami?"

"Saya tidak melakukan apa-apa? Cobalah kalian lihat berhala yang besar itu. Berhala besar itulah yang menghancurkan berhala-berhala kecil."

"Wahai Ibrahim, berhala-berhala itu tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak mungkin ia menghancurkan berhala-berhala yang lain sedangkan ia pun tak bisa bergerak."

Jawaban kaumnya itu menjadi bumerang baginya. Mudah saja bagi Ibrahim untuk membalikkan perkataan mereka.

"Lalu mengapa kau menyembah patung yang tidak bisa berbuat apa-apa?"

Kejadian tersebut memperlihatkan betapa cerdasnya Nabi Ibrahim as dalam menunjukkan kekeliruan kaum pagan. Ia memberi bukti yang rasional dan tak terbantahkan tentang ketidakberdayaan “tuhan-tuhan” kaum pagan. Nabi Ibrahim as pastilah memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi.

Kecerdasan emosional. Tentu kita tahu bahwa Nabi Ibrahim as memiliki ternak yang luar biasa banyaknya. Namun kekayaannya tersebut tak menjadikannya sombong dan bakhil. Sebaliknya Nabi Ibrahim as terkenal dengan kedermawanannya. Beliau selalu memuliakan tamu dengan menyembelih ternaknya sebagai jamuan.

Beliau juga diceritakan tidak pernah menghabiskan sendiri makanan-makanannya. Selalu beliau membagikan makanan kepada tetangga, saudara, bahkan orang tak dikenal yang datang ke rumahnya. Bahkan dikatakan bahwa Nabi Ibrahim as tidak makan hingga ada tamu yang menemaninya makan. Dan untuk itu, Nabi Ibrahim as rela mencari tamu 1-2 mil jauhnya untuk menemaninya makan hingga Nabi Ibrahim dijuluki “Abu ad-Duyuf”.

Hal ini memberi bukti kuat betapa selain memiliki kecerdasan intelektual, Nabi Ibrahim as juga sangat cerdas emosional. Nabi Ibrahim as memiliki kepekaan sosial yang tinggi, bersimpati dan berempati kepada sesama, dan senantiasa berusaha memberikan apapun yang dimiliki yang dibutuhkan orang lain.

Satu hal yang menunjukkan kecerdasan emosional seorang Nabi Ibrahim as yang lainnya adalah pembagian hewan qurban kepada tetangga kanan kiri. Diketahui, Nabi Ibrahim as selalu mempersembahkan banyak sekali ternaknya saat qurban. Dan cerdasnya, hewan-hewan yang disembelih yang dijadikan qurban tidak dibiarkan begitu saja seperti ritual-ritual persembahan Tuhan lainnya, melainkan dibagikan kepada masyarakat.

Dengan demikian, ritual persembahan ini tidak hanya bermanfaat dari sisi spiritual namun juga sekaligus praktikal nilai-nilai kemanusiaan. Sungguh, Nabi Ibrahim as memanglah cerdas secara emosional. Tentu, tidak sembarang orang bisa memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang sama-sama tinggi sekaligus.
Kecerdasan spiritual.

Tentu mustahil jika Allah memberi predikat khalilullah (kekasih Allah) kepada Nabi Ibrahim as tanpa alasan. Nabi Ibrahim as pernah didatangi malaikat yang menyamar sebagai manusia kemudian ditanya dan dimintai hewan ternaknya. Nabi Ibrahim as tidak sama sekali keberatan dan bahkan memberikan semua ternaknya. Ia mengatakan bahwa ternak-ternak tersebut milik Allah yang dipercayakan kepadanya. Harta memang berada dalam genggaman Nabi Ibrahim as, namun tidak dengan hatinya. Di dalam hatinya hanyalah Allah.

Kisah pembuktian kecerdasan spiritual Nabi Ibrahim yang lainnya telah sering kita dengar dalam khutbah-khutbah Idul Adha. Kisah yang memiliki nilai historis penting hingga kita memperingatinya setiap tahun dengan Hari Raya Idul Adha. Adalah kisah Nabi Ibrahim as yang diuji oleh Allah dengan perintah menyembelih puteranya, Nabi Ismail as. Putera yang telah lama diidamkan harus beliau relakan demi bukti cintanya kepada Allah. Baik Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as sama-sama mengimani Allah sebagai yang utama dan pertama, sehingga apapun perintah Allah, meksipun itu memilukan, ia lakukan. Atas nama cintanya pada Allah. Kisah ini menunjukkan betapa Nabi Ibrahim memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi.

Sebagai seorang pilihan, Nabi Ibrahim dianugerahi 3 kecerdasan yang sama tinggi sekaligus. Nabi Ibrahim as tahu betul cara berdebat, beretorika, dan berdakwah yang sulit dibantah. Nabi Ibrahim as sekaligus dikenal dengan kepekaan sosialnya yang sangat tinggi. Pun tentunya tidak diragukan lagi kecintaan kepada Allah, tuhannya, melebihi apapun dan siapapun.

Maka tidaklah berlebihan jika Nabi Ibrahim as mendapat julukan khalilullah. Dan tidaklah pula mengherankan jika ketiga agama samawi masih mengagungkan karakter Nabi Ibrahim as, hingga sekarang. Kecerdasan holistik mengantar Nabi Ibrahim as menjadi utusan Allah yang memiliki pengaruh besar hingga sekarang. Hal ini menunjukkan bertapa pentingnya untuk memiliki kecerdasan holistik sebagai bekal untuk menjalankan kehidupan.

Penting bagi kita untuk senantiasa mengasah otak untuk dapat berpikir dengan cerdas, mengasah kepekaan sosial agar dapat hidup dengan sesama dengan baik (karena sesungguhnya khoirunnaas anfa’uhum linnaas”), juga mengasah dan selalu meningkatkan kecerdasan spiritual kita dengan taqarrub ilallah yang dapat dilakukan dengan banyak cara. (*)

* Penulis : Putri Nadiyatul Firdausi, S.KPm, M.Sos, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam IAI Syarifuddin Wonorejo - Kedungjajang, Lumajang - Jawa Timur.