Euthanasia dan Perawatan Paliatif, Dilema Etik Antara Hak Hidup dan Hak Untuk Mengakhiri Penderitaan
Lumajang - Saat ini dunia ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan sudah sangat maju khusus pada bidang kesehatan. Dengan adanya kemajuan tersebut segala hal akan menjadi lebih mudah untuk dilakukan, seperti dalam hal mendiagnosis penyakit dan menentukan kemungkinan waktu kematian seseorang dengan tingkat akurasi tinggi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan logis. Bahkan para dokter kini pun juga dapat memberikan bantuan dalam mengakhiri kehidupan pasien dengan kondisi medis yang memiliki tingkat kesembuhan relatif rendah atau dalam kondisi penyakit terminal. Proses ini dikenal dengan istilah Euthanasia (Fahrezi & Michael, 2024).
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani euthanatos yaitu eu memiliki arti baik atau tanpa rasa sakit, dan thanatos yang berarti kematian. Sehingga Euthanasia ini merupakan kematian yang berlangsung secara baik atau penderitaan (Soewondo, et all. 2023). Namun makna euthanasia telah berkembang menjadi luas yaitu suatu tindakan guna mengakhiri kehidupan seseorang untuk menghentikan penderitaan yang berat tanpa rasa sakit, baik atas permintaan pasien sendiri maupun atas permintaan keluarga (Nurliza & Syamsurizal, 2023). Maka dari itu, secara harfiah, euthanasia tidak dapat dikatakan sebagai tindakan membunuh atau usaha untuk mengakhiri kehidupan seseorang (Yudaningsih, 2015). Keputusan tindakan euthanasia ini berkaitan erat dengan otonomi manusia, yang mengutamakan penghormatan pada seseorang dalam kebebasan menentukan hak atas pilihannya (Punia, 2024).
Dalam aspek kesehatan euthanasia dapat terbagi menjadi dua jenis. Pertama, Euthanasia aktif, merupakan tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh dokter maupun tenaga kesehatan untuk mengakhiri atau percepat hidup pasien. misalnya dengan cara memberikan obat jenis zat berbahaya kepada pasien baik melalui oral maupun melalui suntikan. Kedua, euthanasia pasif merupakan tindakan yang tidak diambil secara langsung oleh dokter maupun tenaga medis untuk mengakhiri hidup pasien, melainkan membiarkan pasien meninggal secara alami, misalnya dengan cara tidak memberikan oksigen atau mencabut alat bantu hidup pada pasien (Krisnalita, 2021).
Meski demikian, praktik euthanasia masih menimbulkan kontroversi antara etika dan moral yang cukup besar dalam masyarakat dan dunia medis karena hal ini menyangkut hak seseorang untuk hidup dengan hak seseorang untuk mengakhiri penderitaannya. Di indonesia sendiri, praktik euthanasia dilarang dan dianggap sebagai tindakan ilegal. Baik dalam hukum positif maupun kode etik kedokteran. Berdasarkan sudut pandang hukum, Euthanasia pasif umumnya masih dapat diterima oleh masyarakat, namun euthanasia aktif dianggap sebagai tindakan ilegal di seluruh negara. Tenaga medis yang telah melakukan euthanasia aktif dapat dianggap sebagai tindakan pembunuhan dan dikenai sanksi pidana (Annadurai, 2014). Dan juga masyarakat Indonesia mayoritas beragama islam, dalam sudut pandang hukum islam pun, euthanasia aktif dianggap sebagai perbuatan haram, berdosa besar dan diancam dengan hukuman masuk neraka oleh Allah SWT bagi pelakunya karena sama halnya dengan tindakan membunuh seseorang atau bunuh diri (Darnia, et all. 2024).
Dalam perspektif hukum di Indonesia, euthanasia dapat dilihat melalui aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang Indonesia menyatakan dengan tegas terkait larangan praktik euthanasia, bahkan jika tindakan tersebut dilakukan atas permintaan langsung dari pasien maupun keluarga. Hal ini diatur dalam pasal 344 KUPH yang berbunyi "Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana, penjara paling lama dua belas tahun". Dari pasal tersebut dapat ditegaskan bahwa tindakan euthanasia sangat dilarang dan dianggap sebagai tindak pidana sekalipun atas permintaan seseorang yang bersangkutan (Huda, et all, 2024). Ketentuan lain dalam pasal 356 (3) KUPH juga mengatakan "Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum". Hal ini sejalan dengan tindakan euthanasia aktif yang dilakukan dengan pemberian zat berbahaya pada pasien. Ketentuan selanjutnya berkaitan dengan larangan dilakukan praktik euthanasia pasif yang kerap dilakukan di Indonesia, dalam pasal 304 yang berbunyi "Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah" (Siregara, 2020).
Namun disisi lain, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor Pasal 14 mengatakan bahwa pada pasien yang tidak memiliki harapan untuk sembuh dalam menghadapi penyakit yang dideritanya dan masuk kriteria pasien dalam keadaan terminal dengan keputusan penghentian terapi bantuan hidup atas permintaan atau persetujuan keluarga pasien (Septiana, et all 2017). Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa tindakan euthanasia pasif boleh dilakukan apabila pasien dalam keadaan terminal atau kondisi dimana seseorang tidak memiliki harapan dalam kesembuhan dan telah memperoleh izin ataupun persetujuan dari pihak keluarga pasien.
Pernyataan ini juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa hak hidup merupakan hak dasar yang dimiliki setiap individu. Hak hidup ini mewajibkan setiap manusia untuk menghormati martabat hidup orang lain, dengan kata lain tidak terdapat seorangpun yang memiliki wewenang untuk merampas hak hidup orang lain, karena hak hidup seseorang dilindungi oleh negara (Alam & Saputra, 2022). Hal ini menunjukkan bahwa tindakan euthanasia yang dilakukan tanpa persetujuan dari individu bersangkutan termasuk hal yang melanggar aturan hak hidup seseorang. Namun sebaliknya apabila tindakan euthanasia tersebut dilakukan atas permintaan langsung oleh individu yang bersangkutan dan atau disetujui oleh keluarga pasien maka hal tersebut diperbolehkan.
Keputusan untuk melakukan tindakan euthanasia ini menimbulkan dampak besar, baik pada pasien, keluarga maupun tenaga kesehatan. Dilihat dari sudut pandang keluarga, tindakan euthanasia memberikan perasaan tentram dengan mengakhiri penderitaan yang dirasakan pasien akan penyakit yang dideritanya, namun juga dapat menimbulkan perasaan kehilangan yang lebih kompleks dalam menghadapi masa berduka. Sebaliknya dari sudut pandang tenaga medis, keputusan ini menyebabkan dilema etik dan moral, dimana para tenaga kesehatan harus dapat memilih antara menghormati keputusan dari pasien maupun keluarga atau tetap mempertahankan prinsip dalam melindungi hak hidup seseorang.
Di tengah kontroversi tersebut, perawatan paliatif muncul sebagai alternatif yang membantu pasien dalam kondisi penyakit terminal untuk menjalani akhir hidup yang damai tanpa mempercepat atau memperlambat proses kematian. Dengan cara memberikan kenyamanan, mengurangi rasa sakit, meningkatkan kualitas hidup dan memberikan dukungan psikososial baik kepada kepada pasien maupun keluarga. Perawatan paliatif merupakan pendekatan keperawatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit kronis atau mengancam nyawa. Pendekatan perawatan paliatif ini berfokus kepada pengelolaan gejala fisik, psikologis, dukungan emosional dan spiritual, baik kepada pasien maupun pihak keluarganya. Perawatan paliatif dapat dilakukan sejak awal diagnosis dan berlangsung sampai akhir kehidupan pasien. Pelaksanaan perawatan paliatif ini melibatkan tim tenaga kesehatan multidisiplin agar pasien dapat mendapatkan perawatan dan dukungan yang holistik dan komprehensif (Shatri, et all. 2020).
Perawatan paliatif memiliki beberapa prinsip yang diterapkan dalam pelaksanaannya. Prinsip tersebut meliputi pengelolaan nyeri dan gejala fisik lainnya yang menyakitkan, pemberian dukungan psikologis, emosional, dan spiritual sesuai dengan kebutuhan pasien, menghargai kehidupan dan menerima bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan yang merupakan hal yang normal terjadi, melibatkan pendekatan antara keluarga dan pasien dalam pelaksanaan perawatan paliatif termasuk pada saat masa berduka, tidak mempercepat atau menghambat kematian, memberikan perawatan yang terbaik dan menghindari tindakan yang tidak bermanfaat bagi, mempertimbangkan keputusan keluarga dalam setiap pengobatan dan tindakan, melibatkan pendekatan tim tenaga kesehatan multidisiplin dalam memenuhi kebutuhan pasien. Prinsip-prinsip tersebut dilakukan untuk memastikan agar perawatan paliatif tidak hanya berfokus pada aspek fisik, tetapi juga berfokus terhadap kesejahteraan holistik pasien (Harisma, 2022).
Euthanasia dan perawatan paliatif merupakan dua pilihan yang berbeda dalam menghadapi kondisi pasien dengan penyakit terminal. Meskipun euthanasia dapat memberikan bantuan cepat dalam mengakhiri penderitaan, perawatan paliatif sering kali dapat memberikan solusi untuk mendapatkan perawatan secara holistik dan menjaga kualitas hidup pasien dengan baik sampai akhir kehidupan. Alih-alih mempercepat kematian, perawatan paliatif memungkinkan pasien untuk merasakan kenyamanan dan dukungan di kondisi yang sulit. Oleh karena itu, penting bagi dunia medis dan masyarakat untuk memperluas akses dan meningkatkan kualitas pelayanan perawatan paliatif sebagai alternatif bagi pasien dalam menjalani proses akhir kehidupan yang damai dan bermartabat.(Red)
Oleh: Amalia Mardhatillah, Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Jember
Editor : Redaksi