Darurat Demokrasi, Politik Polsek dan Samsat Warnai Pilkades

Penulis : lumajangsatu.com -
Darurat Demokrasi, Politik Polsek dan Samsat Warnai Pilkades

Konstelasi politik di 32 Desa di Lumajang yang melaksanakan Pemilihan Kepala Desa sudah berakhir, Kamis(26/11). Situasi keamanan aman dan kondusif serta diamini banyak elemen masyarakat dan pemangku kebijakan.

 

Di Pilkades ternyata, money politik masih saja mewarnai dan mempengaruhi pilihan konstituenya. Sehingga, menjadi perhatian banyak pihak di luar 32 desa dan pemilih sendiri yang melaksanakan Pilkades serentak.

Money politik yang bisa diminimalisir dan dihapus oleh pemangku kebijakan dengan menalangi semua biaya pelaksanakan Pilkades. Ternyata hisapan jempol belaka.

Terbukti, para Cakades yang berduit dalam mempengaruhi pemilih ada yang memberikan uang antara Rp. 50 ribu dikenal dengan "Polsek" alis Pol seket dan Rp. 100 ribu juga disebut "Samsat" sama-sama satus per kepala. Besarnya nilai money politik, banyak pemilih yang terheran-heran, karena di Pilkada dan Pileg, untuk money politik rata-rata Rp. 20 ribu. Demokrasi di Lumajang dalam keadaan darurat.

Dikutip dari wikepedia.org, Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum.Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang.

Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.

Politik uang memang masih saja terjadi, jika iklim politik dinegeri ini sudah menjadi Transaksi kapitalis. Jangankan sebuah kebijakan dalam bentu aturan mulai Perbup, Perda, PP, dan Undang-undang bisa dijual belikan. Money politik sebuah penyakit dalam demokrasi bangsa ini, meski adanya larangan dan sanksi pidana bila melakukannya.

Dalam Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi:"Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu."

Namun, para pelaku money politik belum bisa ditindak dan masih subur dan nilainya terus melangit. Apakag ini ada hubungannya dengan Anggaran Dana Desa (ADD) yang bisa mencapai Rp. 1 Milyar oleh janji Jokowi sehingga muncul "Polsek" dan "Samsat", tapi penulis tidak mau berprasangka buruk.

MOney politik harus jadi perhatian serius oleh kalangan pentu kebijakan baik oleh Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif untuk menghapus. Pendidikan politik sangat penting, selain itu cara-cara money politik bisa mengancam krisis pemimpin yang ideal dalam pembangunan bangsa ini.(ls/red)

Editor : Redaksi