Sejak seminggu lalu, banyak teman yang inbox, yang intinya ingin tahu mengenai faktor-faktor apa saja yang menjadikan Vietnam dapat sukses melawan wabah (pandemi) virus corona. Hari ini, saya baru bisa menjawabnya, dan sudah barang tentu dengan keterbatasan data pendukung yang ada.
Berkaitan dengan merebaknya wabah virus corona, ada hal yang menarik dengan Vietnam. Satu-satunya negara penganut sosialisme di Asia Tenggara ini, sebagaimana dilaporkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) tidak menyebabkan adanya kasus kematian. Artinya, Vietnam “zero atau nol” orang mati dari total 267 kasus yang ada. Pertanyaannya adalah “apa yang menjadi KUNCI kesuksesan negeri sosialis tersebut?”
Baca juga: Urgensi Ridho Terhadap Takdir Allah: Kunci Keimanan dan Ketenangan
Menurut pandangan saya, bahwa kesusksesan yang ditunjukkan oleh Vietnam tersebut bukan berarti tidak diikuti dengan adanya kerugian materiil. Kerugian materiil sudah pasti ada, seperti terganggunya roda perekonomian nasional dan hubungan sosial.
Namun, terlepas dari banyaknya kerugian yang dialami oleh Vietnam dalam menghadapi wabah virus mematikan tersebut, faktanya Vietnam berhasil menjadi salah satu negara yang paling baik dan siap dalam menghadapi situasi ini. Penyebabnya adalah berkaitan dengan sistem kesehatan nasional Vietnam yang terus membaik dalam beberapa dekade terakhir ini.
Park Kidong, Pejabat WHO di Hanoi menyatakan bahwa Vietnam sangat siap menghadapi wabah ini. Ketika alat penge-test massal (KIT) tidak ada (pada awalnya), Vietnam melalui WHO langsung mengimpor lebih dari 200.000 KIT, dan yang menakjubkan adalah Vietnam langsung memproduksi sendiri alat tersebut dalam waktu singkat. Hasilnya adalah hingga detik ini, tidak ada kasus kematian yang disebabkan oleh virus corona di Vietnam.
Untuk menjelaskan keberhasilan Vietnam tersebut, ada tiga hal, yakni: pertama, investasi kesehatan yang dilakukan semenjak Vietnam berhasil memenangkan perang melawan Amerika Serikat tahun 1970-an. Kedua, aktivasi awal sistem respons. Dan ketiga adalah cara masyarakat dalam menghadapi wabah tersebut sangat terorganisir dan terkoordinir dengan adanya kepemimpinan yang kuat dari atas.
Di Vietnam, kasus corona pertama kali terdeteksi pada tanggal 23 Januari, dengan atau dibawa oleh pengunjung atau turis asal Cina yang datang di Hanoi. Sehari kemudian, Menteri Kesehatan, Vu Duc Dam memerintahkan aktivasi Pusat Pencegahan Epidemi Darurat.
Hingga bulan Februari, tercatat hanya ada 6 kasus di Vietnam. Selanjutnya, guna mencegah makin merebaknya virus corona, maka pemerintah Vietnam memutuskan untuk menangguhkan penerbangan dari dan ke Cina, menutup sekolah, dan mengkarantina (lockdown) Provinsi Hanoi selama 21 hari. Vietnam, tercatat sebagai negara pertama yang mengambil langkah lockdown sebagaimana dilakukan oleh Cina terhadap Wuhan.
Langkah-langkah lain yang dilakukan oleh pemerintah Vietnam adalah dengan memberlakukan tindakan kurungan (karantina) selama 14 hari bagi semua pelancong atau turis yang memasuki negara tersebut dan memerintahkan warga untuk menggunakan masker di tempat-tempat umum. Meskipun begitu, masih ada juga penduduk yang terinfeksi. Dan guna mengetahui serta melacak penduduk local yang terinveksi, pemerintah membuat aplikasi deteksi melalui ponsel (telepon seluler).
Baca juga: Euthanasia dan Perawatan Paliatif, Dilema Etik Antara Hak Hidup dan Hak Untuk Mengakhiri Penderitaan
Dari sedikit ngobrol dengan teman-teman di Vietnam, menurut mereka, bahwasannya faktor kesuksesan tersebut terletak pada KESADARAN RAKYAT. Ketika pemerintah mengeluarkan keputusan untuk karantina, dengan “sukarela” rakyat Vietnam pun patuh. Kepatuhan rakyat tersebut bukan karena mereka takut dengan aparat keamanan pemerintah, melainkan lahir dan tumbuh sebagai bagian dari KESADARAN HISTORIS atas konsep solidaritas sosial. Pengalaman pahit “mengkarantina diri” saat meletusnya Perang Vietnam melawan Amerika Serikat menjadi modal dasar dan faktor penentu tidak meluasnya penyebaran virus corona di negeri komunis tersebut. Cara yang sama juga pernah mereka lakukan ketika wabah SARS menghantam negeri “Vietcong” itu pada tahun 2003. Dalam hal ini, Partai Komunis Vietnam memiliki peranan yang sentral.
Vietnam, dengan Partai Komunis yang memimpin, memiliki sistem pengorganisasian yang rapi, disiplin, dan cepat. Pengurus dan anggota partai dari tingkatan atas hingga bawah mem-back up segala kegiatan yang dilakukan oleh apparatus pemerintahan. Misalkan dalam kasus mengontrol warga yang dikarantina, mendistribusikan makanan, serta mengumpulkan berita-berita palsu (hoaxs) yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, guna memutus mata rantai penularan virus, Vietnam juga menghentikan segala kegiatan bisnis yang tidak penting seperti restoran, teater, pusat wisata, dan lain-lain.
Hal lain yang dilakukan oleh pemerintah Vietnam adalah menghentikan segala bentuk ekspor bahan kebutuhan makanan (seperti beras) ke negara-negara kapitalis dengan tujuan menjaga stabilitas pasokan makanan dalam negeri selama wabah ini berlangsung.
Ketika tempat-tempat seperti supermarket tetap dibuka, pengoperasian tempat-tempat tersebut diatur melalui instruksi dari Partai Komunis, misalnya dengan memeriksa suhu para pembeli yang memasuki ruangan supermarket. Selain itu, apparatus Partai Komunis memegang kendali atas sistem kontrol harga. Dan guna menjamin kehidupan buruh selama berlangsungnya ‘lockdown”, pemerintah Vietnam menginvestasikan 111 juta dolar sebagai bagian dari kompensasi atas gaji.
Baca juga: Urgensi Tasawuf Dalam Menghadapi Krisis Spiritual di Era Modern
Apa yang terjadi di Vietnam tersebut, bukanlah sebuah keajaiban dan kebetulan, melainkan lahir dari proses perekonomian nasional yang terpimpin dan terencana yang dilakukan oleh Partai Komunis Vietnam.
Penulis : Safi'i Kamamang/ VA Safi'i
Mantan Aktivis Reformasi dan Pencipta Lagu Kebebasan/ Buruh Tani
Editor : Redaksi