Lumajang(lumajangsatu.com) - Gawe besar itu bakal dihelat pada 1-5 Agustus 2015 mendatang. Lokasinya di empat (4) pondok pesantren (Ponpes) besar di Kabupaten Jombang, Jatim. Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 namanya. Keempat pondok yang memiliki jalinan kesejarahan dan kultural sangat kuat dengan kelahiran ormas Islam NU: Pondok Tebuireng, Pondok Darul Ulum Rejoso, Pondok Denanyar, dan Pondok Tambakberas.
Muktamar NU ke-33 di Jombang seolah menyiratkan dan menyuratkan pesan penting: NU kembali khittahnya dalam artian proximity, baik dalam perspektif geografis, kultural, psikologis, maupun emosional. Dari keempat pondok kaum Islam Tradisional itu, lahir 'Pondok Besar' bernama NU pada 31 Januari 1926 di Kota Surabaya, yang artinya Kebangkitan Ulama.
Baca juga: Marak Kriminal Polsek Candipuro Lumajang Tingkatkan Patroli
Ulama bangkit untuk mengorganisasi diri dan mengonsolidasikan kekuatannya dalam mempertahankan paham keagamaan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, yang diyakininya. Lahirnya sejumlah aliran dan mazhab baru dalam khazanah Islam, secara langsung maupun tak langsung, bisa saja mengusik mahzab lama yang telah lama melembaga dan terintegrasi dengan sistem teologi yang diyakini benar oleh umat.
Kelahiran NU dilatari faktor internal dan eksternal. Faktor internal dimaksud adalah makin menguatnya penyebaran paham keagamaam Islam Modernis di bumi Nusantara di awal abad 20, yang dinilai bisa menekan dan mengancam, paham Islam Tradisional yang telah lama menyatu dengan praktek keagamaan warga saat itu.
Faktor eksternal adalah perubahan politik di tanah Hijaz (Arab Saudi) setelah keluarga Ibnu Saud memegang tampuk kekuasaan di sana. Di mana keluarga ini menjadikan paham Wahabi dalam bingkai kebijakan teologi-politik yang mesti dipraktekkan warganya secara kaffah dan konsisten. Antara agama dengan politik menyatu menjadi satu kesatuan yang utuh dan tak boleh dipisah-pisahkan.
Ormas NU digagas dan lahir ketika sistem politik Indonesia di bawah kekuasaan Kolonialisme Belanda. Kepemimpinan politik saat itu di tangan tokoh dan elite non- muslim. Walau demikian, sejak kelahirannya NU yang digagas KH Hasyim Asy'ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan banyak kiai lain di tanah Jawa dan Madura, mengambil sikap politik moderat. "Belajar dari perkembangan Syarikat Islam (SI) yang kemudian tersendat-sendat, karena tak bersikap akomodatif terhadap pemerintah kolonial Belanda, Kiai Hasyim membawa NU dalam garis politik moderat," demikian ditulis Lathiful Khuluq dalam buku "Transformasi Otoritas Keagamaan, Pengalaman Islam Indonesia" (2003),dengan penyunting Jajat Burhanudin dan Ahmad Baedowi.
Dalam pertemuan tahunannya di Kota Surabaya tahun 1928, Kiai Hasyim memuji pemerintah Belanda yang telah membiarkan aktifitas keagamaan tumbuh subur. Kebijakan akomodatif ini memang sejalan dengan doktrin Islam Sunni yang lebih menekankan kestabilan negara daripada kekacauan politik.
Lathiful Khuluq menulis bahwa pada muktamar NU di Banjarmasin pada 1936, Kiai Hasyim menyatakan bahwa meski negeri Nusantara dikuasai pemerintahan kafir, umat Islam wajib mempertahankannya dari serangan luar. Nusantara dapat dianggap sebagai negeri Muslim karena merupakan tanah air umat Islam dan pernah dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Islam.
Pendirian NU pada 31 Januari 1926 di Surabaya tak bisa dilepaskan dari dua kiai besar dari Jombang: KH Hasyim Asy'ari (Pondok Tebuireng) dan KH Abdul Wahab Chasbullah (Pondok Tambakberas) dilansir dari beritajatim.com.
Baca juga: Pelaku Penusukan Pemuda di Alun-Alun Lumajang Diringkus Resmob Polres Lumajang
Kiai Wahab dapat diposisikan sebagai penggerak lapangan berdirinya NU. Sebagai kiai Islam Tradisional dengan kemampuan membangun solidarity maker yang kuat dan luas, Kiai Wahab mampu mengorganisasi dan mengoordinasi kiai-kiai Islam Tradisional di tanah Jawa dan Madura yang mulai risau dengan serbuan paham baru yang mengancam kelanggengan Islam Sunni di Pulau Jawa.
Di sisi lain, KH Hasyim Asy'ari dengan kapasitas keilmuan dan otoritas keulamaannya yang mumpuni lebih berperan sebagai legitimator dan konseptor kelahiran NU di Surabaya. Pada awal abad 20, Kiai Hasyim menjadi sosok kiai yang sangat mumpuni dalam perspektif keilmuan agama dan kharismanya sangat kuat dan tersebar luas di tanah air. Kiai Hasyim yang merumuskan dasar-dasar ideologis dan perjuangan NU.
Banyak santri dan alumni Pondok Tebuireng Jombang sekembalinya ke daerahnya setelah beberapa tahun nyantri di Pondok Tebuireng, menjadi tokoh masyarakat dan pengurus NU pada fase awal penyebaran NU di tanah air. Hubungan kiai-santri, kekerabatan, perdagangan, dan perkawanan ikut memperkuat kohesitas NU
Kendati sebagai penggagas, pendiri NU, dan tokoh paling penting dari paham Islam Tradisional di Indonesia, Kiai Hasyim tetap menjaga hubungan baik dalam konteks horisontal dengan tokoh Islam dari aliran lain, terutama kiai dan tokoh dari sayap Islam Modernis.
Baca juga: Warga Lumajang Diajak Proaktif Laporkan Aksi Kejahatan
Ketika umat Islam menggelar pertemuan di Yogyakarta pada November 1945 untuk mendirikan partai politik Masyumi, Kiai Hasyim ditempatkan dan diangkat sebagai Ketua Majelis Syuro DPP Partai Masyumi. Ada pengakuan secara moral-politik dan moral-keagamaan bahwa Kiai Hasyim bukan sekadar tokoh dan kiai NU. Tapi, kakek KH Abdurrahman Wahid itu menjadi tokoh umat Islam Indonesia secara keseluruhan.
Kegandrungan Kiai Hasyim akan arti pentingnya Ukhuwah Islamiyah itu dapat dilihat ketika dia menyampaikan pidato saat muktamar NU di Kota Malang pada 1937, yang juga dihadiri kalangan Muslim-Modernis. Kiai Hasyim menyatakan keprihatinannya dengan kondisi umat Islam Indonesia yang tercerai-berai dan saling memaki disebabkan masalah-masalah khilafiyah.
Dalam artikel yang ditulis Lathiful Khuluq antara lain disebutkan bahwa dalam konteks kegandrungan terhadap Ukhuwah Islamiyah, Kiai Hasyim mengatakan: Kepada yang mulia Saudara-saudaraku penduduk Pulau Jawa dan sekitarnya, baik ulama maupun awam... Telah sampai kepadaku kabar bahwa di antara kalian sampai kini ada yang sibuk menyulutkan api fitnah dan pertentangan. Kalian menjadikan saudara-saudara kalian sebagai musuh. Kalian tak bersedia berdamai, tapi malah merusak."
Pada bagian lain pidatonya, saat muktamar NU di Kota Malang tahun 1937, Kiai Hasyim menegaskan, "Wahai para ulama yang fanatik terhadap mazhab atau pendapat tertentu, tinggalkanlah sikap fanatisme kalian terhadap masalah furu' (cabang) yang dalam hal ini ulama terpecah dalam dua pendapat. Tinggalkanlah sikap fanatis, lepaskanlah dan tanggalkanlah kepentingan-kepentingan yang merusak, pertahankan agama Islam." (beritajatim.com/air/red)
Editor : Redaksi