Opini Akademisi

Urban Farming : Gaya Hidup Kekinian dan Masa Depan

Penulis : lumajangsatu.com -
Urban Farming : Gaya Hidup Kekinian dan Masa Depan
* Rio F. Rachman, Dosen Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang. Penerima Beasiswa 5000 Doktor Kementerian Agama di FISIP Universitas Airlangga Surabaya.

Aryf Hermawan bungah. Kangkung hasil panen pekan ini terbilang lumayan banyak. Apalagi, setelah cukup lama dinantikan, cabai yang ditanamnya juga bisa dipanen.

"Sekitar empat bulan ini, saya sudah panen kangkung dan pakcoy empat kali. Cabai satu kali. Jeruk sambal pun sudah bisa mulai dipetik sejak seminggu yang lalu. Ada pohon sawo, tapi mungkin masih agak lama berbuah," ungkap pemuda berusia dua puluh tiga tahun asal Lumajang itu dalam sebuah diskusi pada Senin 27 Juli 2020. “Sebagian hasil panen dikonsumsi orang rumah. Sebagian lagi dijual,” imbuhnya.

Aryf tergerak untuk mulai bercocok tanam saat melihat atap cor-coran (roof top) rumahnya yang baru selesai direnovasi akhir tahun lalu kosong. Luas atap itu sekitar dua puluh lima meter persegi. Bermodal wawasan dari sejumlah kawan yang lebih dulu berkecimpung dalam hal tanam-menanam, menonton video maupun membaca artikel di internet, dia mengondisikan lahan kosong di atap rumah itu untuk kebun sayur dan buah minimalis.

Bisa dibilang, dia tengah mengaplikasikan konsep urban farming. Kangkung dan pakcoy ditanam secara hidroponik. Sedangkan cabai dan jeruk sambal ditanam secara organik. “Beberapa kawan sudah datang ke tempat saya. Beberapa dari mereka sudah mulai mencoba di rumahnya masing-masing. Ada yang menjajal di pekarangan depan, ada yang di samping atau belakangan rumah. Sesuai kondisi,” kata dia.

Hidroponik maupun penanaman organik dalam konsep urban farming bukan barang baru. Di kanal YouTube TV Tani Indonesia yang dikelola Kementerian Pertanian, terdapat sejumlah testimoni dan liputan mengenai topik tersebut. Di antaranya berjudul, Bikin Halaman Rumah Jadi Kebun yang diunggah pada 27 Februari 2020, Petani Hidroponik Di Jakarta Meraih Untung yang diunggah pada 24 April 2020, dan Asyiknya Belajar Berkebun Hidroponik yang diunggah pada 26 Juli 2020.

Semua unggahan tadi berujung pada satu kesimpulan. Urban farming gampang dilakukan oleh siapa saja. Lahan sempit adalah tantangan tersendiri. Bertolak dari banyak informasi, tempat yang tak begitu luas bisa disiasati sehingga tanaman-tanaman tetap bisa tumbuh subur bahkan menghijaukan pekarangan. Menjadikan rumah tampak elok, indah, dan menyegarkan.

Yang tak kalah menarik, posisi Aryf yang di Lumajang, sebuah kabupaten di daerah Tapal Kuda, Jawa Timur, membuktikan kalau semangat urban farming sudah menjalar tak lagi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, dan Surabaya. Cobalah berselancar di internet dengan kata kunci “pemuda dan urban farming”.

Hasil pencarian yang ditemukan akan beragam, dengan tautan yang berasal dari daerah-dearah yang jauh dari episentrum Ibu Kota. Pelaku atau urban farmer, juga dari latar belakang beraneka macam, termasuk, dari kalangan anak muda yang jumlahnya tak sedikit. Urban farming sudah menjadi gaya hidup kekinian, bahkan mungkin sampai di masa mendatang. Pasalnya, urban farming adalah tuntutan kemajuan zaman. Manfaat yang bisa diperoleh dari metode ini pun menjawab kebutuhan modern kekinian.

Urban farming bisa memberi keuntungan baik secara materi maupun non-materi. Hasil panen bisa langsung dinikmati. Hasil menanam sendiri ini tentu punya kualitas yang bisa dipertanggungjawabkan. Pada aspek gizi, kehigienisan, kuantitas maupun kualitasnya terjamin. Terdapat keselarasan dengan cita-cita ketahanan pangan mandiri.

Di sisi lain, ada pula penghematan uang belanja sayur ataupun buah. Lebih dari itu, bila hasil panen relatif banyak, dapat pula dijual pada tetangga atau masyarakat sekitar. Artinya, ada nilai ekonomis yang kongkret dalam aktifitas ini.

Kegiatan urban farming juga dapat menjadi alternatif melepas penat. Optimalisasi lahan yang ada di sekitar rumah, akan membuat perasaan bangga dan menyenangkan. Bahwa di kediaman pribadi tersebut, tidak ada bidang kosong yang terbuang sia-sia. Pada tahap ini, kreatifitas terasah dan jika proses penciptaan tata letak lahan telah berhasil, akan lahir kepuasan batin.

Berkebun dengan baik juga merupakan upaya menggerakkan badan dan dapat dihitung sebagai olahraga ringan. Membesarkan makhluk hidup dengan seksama, seperti halnya penghobi hewan peliharaan, tentu memunculkan keasyikan tersendiri. Mengikuti proses menumbuhkan tanaman, melihat mereka berkembang, lalu memanen, lantas mengulangi rotasi itu lagi, tentu menjadi rutinitas yang bagus bagi kesehatan jiwa.

Kepekaan mental juga dilatih. Kesabaran dan kedisiplinan harus dijaga. Sikap berlapang dada kala ada tanaman yang rusak atau mati juga mutlak dibutuhkan. Proses mengelola mental dan perasaan tersebut, bisa jadi akan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari saat berinteraksi di masyarakat. Artinya, urban farming merupakan salah satu pilihan hobi yang produktif serta berefek konstruktif bagi tiap individu. Imbasnya berkelanjutan bagi kesehatan jiwa dan raga.

Banyak data maupun literatur yang menyebutkan segudang dampak positif urban farming. Baik jika dilihat dari perspektif ekonomis, sosiologis, ekologis, dan lain sebagainya. Tentu, seseorang yang ingin memulai kegiatan ini perlu belajar terlebih dahulu. Juga, menyiapkan mental apabila pada percobaan pertama atau kedua, hasil belum sesuai harapan. Yang terpenting, ada ketekunan dan kesuksesan pun hanya soal waktu.

Belajar urban farming bisa melalui diskusi dengan mereka yang sudah berpengalaman. Bisa belajar melalui artikel atau video di internet. Bisa pula dengan menghubungi dan bergabung dengan komunitas yang berkecimpung di bidang tersebut. Yang jelas, saat ini, bercocok tanam di rumah bukan hal yang rumit, bahkan sebaliknya, bakal memberikan banyak kemudahan bagi pelakunya.

Di era pandemi Covid-19, urban farming menjadi primadona bagi sebagian kalangan. Alasannya, selain punya nilai ekonomis, terdapat semangat “jaga jarak” dalam konsep itu. Analoginya, seseorang yang sudah punya sayur atau buah kegemaran di rumah, dia tidak perlu lagi membeli bahan makanan tersebut. Artinya, dia tidak perlu bertatap muka ataupun berinteraksi secara langsung dengan penjual. Sedangkan bagi mereka yang memang menjadikan ini lahan bisnis, dengan menambah layanan antar langsung ke rumah, omzet bisa ikut melejit.

Kegiatan urban farming juga membuat badan dan pikiran tetap segar saat mesti menjalani masa “di rumah saja”. Saat ini, mungkin kehidupan sudah berjalan sesuai norma baru atau new normal. Meski demikian, di masa Covid-19 yang masih menjadi momok seperti sekarang ini, mengurangi atau membatasi aktifitas di luar rumah tentu merupakan kebijaksanaan tersendiri. Nah, dalam momentum seperti ini, urban farming bisa menjadi pelampiasan yang membahagiakan.

Metode dan teknologi urban farming pun terus berkembang. Sehingga, para pelaku bisa memilih yang paling sederhana, atau yang sudah berada di level selanjutnya. Sebagai contoh, saat ini produksi tanaman sudah bisa dikombinasikan dengan pemeliharaan ikan atau unggas sesuai dengan kebutuhan. Ringkasnya, urban farming kompatibel dengan kondisi sehari-hari masyarakat Indonesia. Penduduk bisa mandiri dan berdaya dari lahan atau rumah masing-masing. (*)

*  Rio F. Rachman, Dosen Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang

Editor : Redaksi

Opini

Euthanasia dan Perawatan Paliatif, Dilema Etik Antara Hak Hidup dan Hak Untuk Mengakhiri Penderitaan

Lumajang - Saat ini dunia ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan sudah sangat maju khusus pada bidang kesehatan. Dengan adanya kemajuan tersebut segala hal akan menjadi lebih mudah untuk dilakukan, seperti dalam hal mendiagnosis penyakit dan menentukan kemungkinan waktu kematian seseorang dengan tingkat akurasi tinggi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan logis. Bahkan para dokter kini pun juga dapat memberikan bantuan dalam mengakhiri kehidupan pasien  dengan kondisi medis yang memiliki tingkat kesembuhan relatif rendah atau dalam kondisi penyakit terminal. Proses ini dikenal dengan istilah Euthanasia (Fahrezi & Michael, 2024).