Jalan Raya

Sirine Hentikan Jalan Raya, Rakyat Lumajang Tegak Hormat di Detik Proklamasi ke-80

Penulis : -
Sirine Hentikan Jalan Raya, Rakyat Lumajang Tegak Hormat di Detik Proklamasi ke-80
Detik Sakral di Perempatan Adipura: Jalan Raya Membisu, Nasionalisme Membara

Lumajang - Perempatan Adipura Lumajang pada Minggu (17/8/2025) pagi berubah menjadi ruang khidmat penuh makna. Bukan sekadar simpang jalan yang identik dengan lalu lintas padat, tempat itu disulap menjadi arena peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80.

 

Tepat pukul 09.57 WIB, sirine panjang dibunyikan. Seketika arus lalu lintas terhenti. Pengendara motor berdiri tegak di samping kendaraannya, sopir angkot turun dari kursi kemudi, hingga pedagang kaki lima ikut menundukkan kepala memberi hormat pada Sang Merah Putih.

 

Lagu *Indonesia Raya* berkumandang, dilantunkan serentak oleh jajaran Satlantas Polres Lumajang, pelajar, pedagang, tukang becak, hingga masyarakat yang melintas. Meski tidak selalu padu, harmoni kebangsaan itu terasa menyentuh.

 

“Peringatan ini digelar di ruang publik agar masyarakat bisa merasakan langsung semangat kemerdekaan. Jalan raya adalah ruang pertemuan semua orang tanpa sekat. Dari sinilah nasionalisme bisa menyala,” ujar Briptu Basofi Abdul Hadi.

 

Antusiasme warga pun tampak jelas. Seorang ibu muda, Tari, menggandeng putrinya sambil mengibarkan bendera kecil. Ia berbisik kepada anaknya, *“Nak, inilah Indonesia. Hormati benderamu, cintai negerimu.”* Sementara seorang tukang becak tampak berdiri tegak, dada membusung, seolah ikut menjadi bagian dari sejarah.

 

Momentum tersebut menjadi pengingat bahwa nasionalisme dapat lahir dari ruang sederhana. Tak perlu panggung megah, cukup kesadaran kolektif untuk berhenti sejenak, mengenang jasa pahlawan, dan meresapi makna kemerdekaan.

 

“Kalau di jalan raya saja kita bisa serentak berhenti, kenapa dalam menjaga bangsa kita tidak bisa bersatu?” ungkap Supratman, salah seorang warga.

 

Bagi banyak pelajar, momen ini juga menjadi ruang edukasi kebangsaan. Mereka belajar menghormati kemerdekaan bukan sekadar dari buku, tetapi melalui tindakan nyata: berdiri tegap, menyanyikan Indonesia Raya dengan lantang, dan menyadari pentingnya melanjutkan perjuangan para pendahulu.

 

Kegiatan ini sekaligus mempererat hubungan aparat dengan masyarakat. Tidak ada jarak antara seragam cokelat dan rakyat kecil. Mereka berdiri berdampingan, menatap bendera yang sama, menyanyikan lagu yang sama—sebuah wujud nyata dari semboyan *Polri Presisi untuk Negeri*.

 

Bendera kecil yang dikibarkan warga menjadi simbol sederhana, bahwa nasionalisme bukan hanya milik elit, tetapi milik semua orang. Dari genggaman tangan rakyat, Merah Putih tetap berkibar di hati bangsa.

 

Saat sirine berakhir dan kendaraan kembali melaju, kesan khidmat itu masih membekas. Perempatan Adipura hari itu tidak hanya menjadi simpang jalan, tetapi juga simpang sejarah, tempat masa lalu, kini, dan masa depan bangsa bertemu dalam satu peringatan penuh makna.

 

Peringatan HUT ke-80 RI di Lumajang membuktikan, bahwa semangat nasionalisme masih hidup dan membara—bahkan di jalan raya yang sehari-hari penuh sesak, kecintaan pada Indonesia tetap menemukan jalannya (Ind/red) 

Editor : Redaksi