Lumajang (lumajangsatu.com) - Kasus pembunuhan terhadap Salim Kancil, dan penganiayaan terhadap Tosan bukan sekedar perkara kriminal biasa. Tindak kejahatan pembunuhan dan penganiayaan tersebut wajib dibaca sebagai upaya pembungkaman terhadap pejuang lingkungan hidup. Kamis, 18 Februari 2016, sidang perdana kasus Salim Kancil dan Tosan digelar di Pengadilan Negeri Surabaya. Sejak awal, tim advokasi telah membaca adanya muatan politik di dalam persidangan kali ini.
Buktinya, tanpa alasan yang jelas persidangan Kasus Salim Kancil dan Tosan dipindah dari Pengadilan Negeri Lumajang ke Pengadilan Negeri Surabaya. Pemindahan lokasi persidangan merupakan kejanggalan tersendiri. Mengingat, tidak ada alasan yang cukup kuat bagi Negara untuk memindah tempat persidangan.
Baca juga: Pelaku Penusukan Pemuda di Alun-Alun Lumajang Diringkus Resmob Polres Lumajang
Persidangan kasus Salim Kancil dan Tosan ini terdiri dari 15 berkas perkara, dengan 35 orang tersangka. Artinya, akan ada 15 persidangan yang digelar di setiap minggunya oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Dengan riwayat kasus yang demikian, tim advokasi melihat banyaknya kepentingan pihak penambang di dalam perkara ini. Oleh karenanya, sidang ini nanti akan dipantau oleh Tim Pemantau Peradilan, yang bekerjasama dengan Komisi Yudisial (KY), agar persidangan berjalan sebagaimana mestinya tanpa adanya penyelewengan hukum, dan keberpihakan majelis hakim pada pelaku.
Upaya Penyederhanaan Perkara
Dalam kasus Salim Kancil dan Tosan, Aparat Penegak Hukum terindikasi berupaya untuk menyederhanakan perkara menjadi 2 hal: Pertama, pembunuhan terhadap Salim Kancil adalah pembunuhan biasa, bukannya pembunuhan berencana. Indikasi kedua terlihat dari upaya Negara yang menyederhanakan Kasus Salim Kancil dan Tosan sebagai sekadar urusan pidana murni. Kejahatan terhadap Salim Kancil dan Tosan adalah rangkaian panjang dari kisah Mafia Tambang di Lumajang.
Salim dan Tosan dibunuh dalam rangka meloloskan kegiatan mafia tambang pasir di pesisir pantai selatan Lumajang. Salim Kancil, Tosan, dan warga Desa Selok Awar-Awar lainnya adalah pejuang lingkungan yang tergabung di dalam FORUM KOMUNIKASI MASYARAKAT PEDULI PESISIR DESA SELOK AWAR AWAR KECAMATAN PASIRIAN KABUPATEN LUMAJANG.
Mereka melakukan upaya penolakan terhadap adanya penambangan pasir di pantai Watu Pecak, Desa Selok Awar-Awar, Kabupaten Lumajang. Dasar penolakannya adalah kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas penambangan. Upaya penolakan ini dimulai sejak awal Januari-September 2015. Mereka berulangkali menyampaikan penolakannya dengan menyurati Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang, dan DPRD Kabupaten Lumajang.
Bukannya mendapatkan tanggapan dari aparat negara, warga penolak tambang justru harus menghadapi pelbagai bentuk ancaman kekerasan dan intimidasi dari penambang. Saat itu, pemilik tambang pasir di Desa Selok Awar-Awar adalah Hariyono, Kepala Desa Selok Awar-Awar sendiri. Dalam menjalankan kejahatannya, Hariyono tidak sendirian. Ia dibantu oleh kaki-tangannya yang biasa disebut Tim 12. Oleh karena Salim Kancil dkk dirasa dapat menganggu aktivitas kejahatannya, maka Hariyono bersama Tim 12 mulai merencanakan pembunuhan. Hingga kemudian pada tanggal 26 September 2015, Tim 12 menganiaya Tosan dan membunuh Salim Kancil.
Akibat aksi pembunuhan dan penganiayaan, 35 orang ditetapkan menjadi tersangka. Sedangkan berdasarkan data tim advokasi kasus Lumajang, 13 orang pelaku pembunuhan dan penganiayaan belum juga ditangkap oleh Polisi. Mereka dibiarkan bebas beraktivitas di Desa Selok Awar-Awar. Tentu keberadaan mereka menjadi teror tersendiri bagi warga penolak tambang di Desa Selok Awar-Awar.
Baca juga: Warga Lumajang Diajak Proaktif Laporkan Aksi Kejahatan
Mafia Tambang Pasir Tak Jua Diungkap
Betapapun praktik penambangan pasir di pesisir selatan pantai Lumajang telah memakan korban jiwa, namun jaringan Mafia Pertambangan tidak juga berhasil diungkap oleh aparat penegak hukum. Berdasarkan hasil investigasi tim advokasi kasus lumajang, setidaknya ada ratusan penambang pasir ilegal di sepanjang pesisir pantai selatan Lumajang. Belum lagi jaringan mafia portal yang melibatkan aparat desa, hingga kini juga belum tersentuh oleh hukum. Setiap harinya, terdapat 5000 truk bermuatan pasir yang berlalu-lalang di jalan raya Kabupaten Lumajang. Truk-truk tersebut melewati portal, dan setiap truk dimintai retribusi sebesar Rp. 35.000,- hingga Rp. 50.000,-.
Anehnya, dalam berkas perkara ilegal mining yang disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya, penegak hukum hanya menetapkan Hariyono, Kepala Desa Selok Awar-Awar sebagai tersangka. Penambang-penambang lain yang jumlahnya hingga ratusan orang tersebut tidak jua ditangkap. Penegak hukum harusnya lebih cermat dan berani mengungkapkan jaringan mafia tambang pasir di Lumajang, dan tidak berhenti pada penetapan Hariyono, Kepala Desa Selok Awar-Awar sebagai tersangka saja. Mafia portal, mafia truk pasir, dan mafia penadah pasir juga wajib ditangkap oleh penegak hukum.
Sehubungan dengan hal itu, maka kami Tim Advokasi Kasus Lumajang, yang terdiri dari WALHI, LBH Surabaya, LBH Disabilitas, Pusham Surabaya, KPPD, UKM Seni Sunan Ampel, Pusham Ubaya, JATAM,Masyarakat Pesisir Selatan Pantai Lumajang, dan Laskar Hijau, mengajukan tuntutan sebagai berikut:
Baca juga: Ini Modus Maling Kerbau Lumajang Jagal Langsung di Lokasi
1. Meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya untuk bertindak imparsial, dan menghukum dengan hukuman maksimal kepada seluruh pelaku kejahatan mafia tambang pasir di Lumajang.
2. Meminta kepada Penuntut Umum untuk mengajukan dakwaan dengan hukuman seberat-beratnya kepada para pelaku kejahatan mafia tambang pasir dalam Kasus Lumajang.
3. Mendorong kepada Komnas HAM, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ikut memantau jalannya persidangan, mengingat potensi pelanggaran HAM dan praktik korupsi sangat kuat dalam kasus ini.
4. Meminta POLRI untuk menangkap 13 pelaku pembunuhan dan penganiayaan terhadap Salim Kancil beserta Tosan yang hingga kini masih bebas berkeliaran di Desa Selok Awar-Awar.
Kontak Tim Advokasi: 31-5024826.(Ls/rilis)
Editor : Redaksi