Opini Akademisi
Mengembalikan Fungsi Opium Agama di Masa Covid-19
Semenjak Direktur Kedaruratan WHO, Dr. Mike Ryan, menyatakan bawah virus COVID-19 ini mungkin tidak akan pernah hilang”pada tanggal 13 Mei lalu. Kemudian direspons oleh Bapak Presiden Ir. Joko Widodo dengan menghimbau untuk bisa berdamai dengan COVID-19. Mulailah banyak bermunculan komentar-komentar dan analisa untuk bagaimana kita berdamai dengan virus ini.
Penulis berusaha untuk mencoba memberikan perspektif dalam bagaimana kita menjalani hari-hari kita ke depan bersama si COVID-19 dan (tetap selalu) bersama Tuhan. Dengan mengembalikan fungsi agama sebagai opium.
Bagaimana mungkin? Tapi, mengapa tidak? Artikel ini tidak pada kapasitas untuk mengkaji apa itu opium secara medis, melainkan lebih kepada pengajuan pandangan bahwa di tengah pandemi yang menyebabkan ketidakstabilan di berbagai lini kehidupan, seharusnya agama bisa berperan memberikan solusi nyata bagi masyarakat saat ini yaitu dengan mengembalikan fungsi agama sebagai penenang jiwa dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup.
Penulis ingin memulai dari pernyataan yang keluar dari seorang sosiolog Jerman (yang sukses menyebarkan faham atas namanya) Karl Marx, ketika ia mendefinisikan agama: Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people.
Jika diterjemahkan secara bebas, “Agama adalah desahan yang keluar dari makhluk yang tertindas, ia adalah hati bagi dunia yang tak berperasaan, dan jiwa dari situasi kondisi yang tak berjiwa. Ia adalah candu rakyat”
Dalam konteks saat dimana argumen itu terucap, agama bisa menjadi penghibur kaum proletar dari berbagai diskriminasi dengan segala janji-janji kehidupan yang lebih baik di sisi Tuhan. Dalam konteks kehidupan normal (yang katanya) baru ini (new normal life) pasca kedatangan Corona,saya kira saat ini kita butuh menghidupkan lagi efek opium agama tersebut bagi kita orang beragama. Tentunya dalam pengertiannya yang positif.
Seiring dengan semakin tak terkondisikannya kondisi kehidupan kita pada masa pandemi Corona ini, penulis justru ingin mengajak pembaca semua untuk membangun optimisme yang lebih kokoh dan lebih dahsyat dari virus apapun untuk kita injeksikan ke dalam ruang terdalam dalam diri kita. Salah satunya dengan menghirup sari pati kedamaian, keimanan, ketawakkalan, yang keluar dari nilai-nilai agama kita. Inilah momentum yang tepat untuk kita benar-benar berusaha mengejawantahkan agama ke dalam diri dan jiwa kita. Mengalirkan nilai-nilai agama ke dalam saluran-saluran jiwa dan raga kita. Saatnya kita benar-benar mempraktekkan dan membuktikan kebenaran firman Allah bahwa “orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (Q.S. Ar-Ra’d, 28).
Secara psikologis, ketentraman diri akan berimplikasi positif pada kesehatan jiwa. Jiwa yang sehat kemudian, secara klinis terbukti meningkatkan imunitas tubuh. Jika memang garda terdepan yang ada dalam tubuh kita dalam melawan Virus Corona ini adalah sistem imunitas diri, maka ketenangan jiwa adalah hal utama yang harus kita usahakan dan jadikan obat pertolongan pertama melawan virus Corona. Obat itu, penulis ingin menekankan, sejatinya ada dalam agama.
Jika kita mengkaji sumber-sumber agama Islam kita, tentu kita akan banyak menemukan pesan-pesan yang mendorong dan membangkitkan optimisme dalam diri kitadalammenghadapikondisi yang sulit. Dalam al-Quran, setidaknya terdapat 2 ayat yang mendorong kita tetap optimis dalam menjalani kehidupan ini; pertama, adalah ayat yang saya yakin kebanyakan orang sudah hafal di luar kepala, yaitu ayat ke-5 dan ke-6 surat al-insyirah yang artinya: sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Para mufassir menjelaskan pengulangan ayat ini menunjukkan penegasan dari Allah atas perkara tersebut. Hal ini berarti bahwa Allah SWT telah menjanjikan dan bahkan menekankan ulang janji-Nya bahwa di setiap kesulitan akan selalu ada kemudahan. Maha benar Allah atas segala firman-Nya.
Bagi mereka yang menganggapbahwa virus Corona ini adalah ujian karena kita telah melampaui batas dalam kemaksiatan, secara khusus Allah memanggil kita dalam firman-Nya "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputusasa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S Az-Zumar, 53).
Selain dari kedua ayat tersebut di atas, terdapat wasiat Rosulullah S.A.W yang menurut penulis dapat dijadikan obat penenang dalam menghadapi kesulitan dunia ini.
Dari Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabishallallahu ‘alaihiwasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dariapa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andai pun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telahdiangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”
Dari hadis di atas kita dapat belajar bahwa segala sesuatu, hal-hal baik dan hal-hal buruk terjadi atas izin Allah S.w.t. Maka satu-satunya cara agar kita dapat selalu mendapatkan kebaikan dan terhindar dari keburukan adalah dengan menjaga Allah. Karena dengan kita menjaga Allah, niscaya Allah akan menjaga kita.
Menjaga Allah menurut penulis adalah selalu berusaha untuk menjaga diri ini untuk selalu mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Menjaga Allah berarti menjaga kelestarian syariat-syariatNya di bumi ini.
Hadis lain yang dapat kita jadikan pegangan untuk memberikan ketenangan hidup di dunia ini adalah sebuah hadist qudsi yang masyhu rtentang berperasangka baik kepada Allah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat).” (Muttafaqun ‘alaih)
Melalui lisan Nabi-Nya yang agung ini, Allah mengajarkan kita untuk selalu berperasang kabaik kepada-Nya. Berhusnuzzhon kepada segala hal yang terjadi di dunia ini berarti berusaha melihat sisi baik dari setiap kejadian yang menimpakita. Dengan begitu, Allah akan memperlakukan kita sesuai dengan prasangka baik kita kepada-Nya. Hal ini berkaitan erat dengan rukun iman ke-enam kita, yaitu iman kepada Qodho dan Qodar Allah S.W.T, yang baik dan yang buruk.
Dari beberapa ayat dan hadist di atas, dan tentunya masih banyak ayat dan hadisr lain yang sesuai, penulis berharap telah dapat menggambarkan bahwa seberat apapun kesulitan yang kita alami, kita harus yakin bahwa sesungguhnya Allah tidak pernah meninggalkan hamba-hambaNya. Bahwa akan selalu ada kemudahan di balikkesulitan. Bahwa selama kita menjaga Allah, maka Allah pasti menjaga kita. Bahwa jika kita berhusnuzzon kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan kebaikan kepada kita.
Terakhir, jika memang opium terbuktiampuhmenenangkanjiwa orang-orang yang tertindas sebagaimana pendapat Marx di awal, maka seharusnya kita harus lebih bisa menjadikan agama Allah sebagai obat yang lebih ampuh dan lebih mujarab dari opium terbaik di dunia ini. *
Wallahua’lambishhowab
Penulis : Dr. Fazlul Rahman, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam, IAI Syarifuddin Lumajang.
Editor : Redaksi