Opini Akademisi
Meneladani Sejarah Kenabian Meneguhkan Aqidah di Era Pandemi
Hari ini 10 Dzul Hijjah, 1441 tahun yang lalu, telah terjadi peristiwa bersejarah dimana sosok panutan kita dan panutan para Nabi, Abul Anbiya, Nabiyyullah Ibrahim a.s diberikan ujian yang sama sekali tidak ringan. Nabiyyullah Ibrahim diperintahkan oleh Allah S.w.t untuk mengorbankan harta tersayangnya, menyembelih darah daging yang lama diidam-idamkan, putra satu-satunya, Ismail a.s yang saat itu baru beranjak dewasa.
Lantas, apa arti peristiwa itu untuk kita hari ini?
Ibnu Khaldun, sejarawan Muslim ternama mengajari kita bahwa sejarah terdiri dari dua sisi: zahir dan bathin. Sisi eksplisit dan implisit. Sisi pertama, sejarah merupakan serangkaian peristiwa yang telah terjadi di masa lampau. Sisi yang kedua, sisi implisit dari sejarah, yaitu sejarah sebagai sebuah nazhr (pemahaman) dan tahqiq (pendalaman).
Peter Stearns, seorang Sejarawan dan professor sejarah dari George Mason University menulis setidaknya ada 3 alasan mengapa kita mempelajari sejarah. Pertama bahwa sejarah membantu kita memahami orang dan masyarakat, kedua, sejarah berkontribusi besar pada pemahaman moral dan ketiga, sejarah memberi kita identitas.
Di tengah keadaan kehidupan masyarakat saat ini, agama seharusnya kita hadirkan sebagai anti-toxic (obat penawar), kompas pemandu kepada jalan yang sudah digariskan oleh Allah dan rasul-Nya. Sebagaimana fungsi sejarah tadi, setidaknya ada tiga hal yang bisa kita pelajari dan ambil hikmah dari sejarah Qurban untuk kita hari ini:
Pertama, sejarah Qurban mengajarkan kita untuk teguh beriman kepada Allah dalam setiap episode kehidupan kita yang berubah-ubah.
Iman merupakan tingkatan tertinggi dari sebuah keyakinan. Keyakinan yang dibuktikan dengan ucapan syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah hanyalah langkah awal keislaman seseorang. Karena keimanan sejatinya tidak hanya qoulun billisan (ucapan di lisan) dan tasdiqun bil qolbi (pembenaran di hati), tetapi juga ‘amalun bil jawarih (pengejawantahan dalam bentuk amal saleh).
Karenanya, dalam perjalanan panjang kehidupan seorang Muslim, dituntut untuk terus membuktikan kebenaran keyakinannya tersebut hingga ia bisa sampai kepada derajat keimanan. Untuk sampai kepada hal tersebut, seorang yang yakin harus mampu melewati berbagai ujian.
Kedua, sejarah Qurban mengajarkan kita untuk memperjelas orientasi kehidupan kita di dunia ini.
Dari ibunda Hajar kita belajar bahwa kehidupan ini harus sesuai dengan perintah Allah. Bahwa segala keputusan dalam kehidupan harus dipastikan sejalan dengan perintah Allah. Bahwa arah perjalanan panjang kehidupan kita di dunia, susah senang, sedih bahagia, miskin kaya, pejabat rakyat jelata, haruslah berorientasi kepada pelaksaan perintah Allah dan pengharapan terhadap ridho-Nya. Karena hanya dengan demikian, maka pertolongan Allah akan datang. Karena hanya dengan demikian, maka segala tindak tanduk kita di dunia ini menjadi tidak sia-sia.
Sebagaimana konteks sembelihan pada hari ini, Allah mengingatkan:
..
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya (Q.S Al-Hajj: 37)
Ketiga, sejarah Qurban mengajarkan kita untuk membentuk karakter generasi anak muda Muslim yang mengerti dan mampu mempertahankan identitas keislaman mereka.
Dari Ismail a.s kita belajar bagaimana peran orang tua sangatlah penting dalam pembentukan karakter seorang anak. Dalam ilmu psikologi kita mengenal konsep modeling yang diperkenalkan oleh Albert Bandura (1961), yang menyatakan bahwa anak belajar dari lingkungan sekitarnya dengan cara mengobservasi dan meniru.
Dan tentunya, lingkungan terdekat dari seorang anak adalah keluarga dan orang tuanya. Anak akan melihat dan kemudian meniru bagaimana orang tua berbicara, bertindak, menyikapi permasalahan, hingga bagaimana orang tua memposisikan agama dalam kehidupan sehari-seharinya. Karenanya, di era dimana tawaran-tawaran ajaran fiktif bertebaran melalui berbagai media, orang tua seharusnya hadir sebagai uswah hasanah.
Orang tua harus berperan menjadi kompas teladan dalam berperilaku, bersikap dan beragama. Karena jika tidak, anak-anak kita akan menjadi anak-anak social media, anak-anak yang over dosis informasi, anak-anak yang alergi dengan hal-hal berbau agama.
Semoga kita digolongkan ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang mampu mengambil ‘ibrah dan diberikan kemampuan untuk dapat senantiasa istiqomah dalam mengabi kepada-Nya. (*)
* Penulis : Dr. Fazlul Rahman, Lc., MA.Hum, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam IAI Syarifuddin, Wonorejo - Kedungjajang, Lumajang - Jawa Timur.
Editor : Redaksi