Klub Tempo Doloe SMA PGRI 1 Lumajang Napak Tilas Sejarah di Gucialit

Penulis : lumajangsatu.com -
Klub Tempo Doloe SMA PGRI 1 Lumajang Napak Tilas Sejarah di Gucialit

Lumajang (lumajangsatu.com) - Mentari pagi menyambut rombongan puluhan siswa-siswi SMA PGRI 1 Lumajang memasuki daerah Gucialit sebuah daerah yang dikenal dengan perkebunan teh dan kopinya dengan udara dingin nan sejuk (25/09/2016). Puluhan siswa tersebut tergabung dalam sebuah ekstrakurikuler bidang studi pencinta sejarah di bawah naungan SMA PGRI 1 Lumajang yang biasa disebut dengan nama Klub Tempo Doloe atau KTD.

Klub Tempo Doloe ini keberadaanya masih di bilang seumur jagung karena baru berdiri pada tanggal 8 Agustus 2016. Kegiatan yang pernah dilakukan adalah ke Museum Lumajang, Situs Candi Agung dan situs-situs di Gucialit ini merupakan kegiatan yang ketiga kalinya.

Klub Tempo Doloe adalah upaya SMA PGRI 1 Lumajang untuk menumbuhkan generasi muda peduli dan cinta akan warisan sejarah khususnya sejarah lokal Lumajang di tengah maraknya berbagai macam permasalahan moral dan apatis sosial yang menerpa pelajar. Hal ini seperti di sinyalir oleh pembina dari Klub Tempo Doloe Yuyun Choirotul Anis, S.Pd Klub Tempo Doloe ini adalah salah satu upaya membangun karakter dan moral pelajar-pelajar Smagrisa melalui sadar akan sejarah, karena sejarah guru kehidupan yang bijaksana. Dengan sejarah kita dapat belajar jatuh dan bangunnya sebuah masyarakat dan peradaban.

Rangkaian kunjungan Klub Tempo Doloe di sekitar daerah Gucialit kali ini memfokuskan pada sejarah pra aksara dan Kolonial. Napak Tilas pertama adalah kunjungan ke Situs Watu Lumpang (Batu Lumpang) Desa Kertowono yang terletak di depan rumah bapak Karyawanto seorang tokoh lokal penyelamat Watu Lumpang. Menurut Karyawanto,Watu Lumpang adalah alat tumbuk berupa benda yang memiliki lubang berbentuk bulat cekung pada permukaannya.

Karyawanto mengidentifikasi 21 bentuk Watu Lumpang di sekitar Desa Kertowono dengan berbagai macam bentuk dan fungsi salah satunya Watu Lumpang berbentuk bulat Cakra Manggilingan yang memiliki makna manusia tidak akan lepas dari lingkaran kehidupan, Watu Lumpang segitiga Tri Hita Kirana yang memiliki makna kesinambungan antara manusia, hewan dan tumbuhan.

Bulatan Watu Lumpang sebagai simbol gua garba ibu yang mengisyaratkan bahwa kita lahir dari rahim ibu sehingga harus menghargai dan menghormati orang tua. Pengarahan Bapak Karyawanto di akhiri oleh antusias oleh para siswa dengan berbagai pertanyaan seputar Watu Lumpang dan koleksi pusaka miliknya.

Semangat  para anggota KTD dengan iring-iringan motor mengantarkan langkah selanjutnya menuju area perkebunan dan pabrik teh Kertowono meskipun dengan medan jalan yang sangat tidak laik dengan dipandu dari komunitas GOWA (Gucialit Organisasi Wisata Alam) yang dipimpin oleh Irawan, perintis dari komunitas ini.

Irawan mengajak kawula KTD berkeliling memutari bangunan-bangunan area perkebunan di antaranya kawasan rumah dinas dan villa dengan gaya kolonial yang arsitekturnya masih tetap seperti awal berdirinya bangunan tersebut. Pengarahan selanjutnya oleh Rudi yang merupakan perwakilan dari pihak Pabrik Teh Kertowono.

Perkebunan Teh ini Kertowono ini dibuka pada tahun 1857 oleh perusahaan perkebunan Belanda  N.V. Tiedeman van Kerchem yang awalnya merupakan komiditi Kina kemudian baru tahun 1910 mulai ditanami teh beserta pembibitannya, saat ini perkebunan Kertowono tidak hanya ditanami teh tetapi juga kopi. Pak Rudi menuturkan bahwa  tidak  hanya bangunan pabrik yang masih asli seperti sedia kala tapi mesin-mesin pabrik juga memiliki usia yang di atas manusia saat ini.

Antusiame peserta masih nampak sampai penghujung acara dari Napak Tilas Situs Gucialit Klub Tempo Doloe yang di kemas  dalam bentuk acara outbond Kami senang dengan acara klub sejarah seperti ini karena tidak hanya bisa mengetahui lebih dalam mengenai peninggalan sejarah Lumajang, kami dapat refresh dari padatnya aktivitas belajar di sekolah dan kami harapkan sekolah lain bisa mengadakan kegiatan yang sama sebagai upaya pelestarian sejarah Lumajang, ujar Holila peserta dari Napak Tilas Gucalit ini.

Hal senada juga diungkapkan Fahim, ketua panitia acara napak tilas ini bahwa acara Napak Tilas Situs Gucialit Klub Tempo Doloe ini bertujuan agar pelajar Smagrisa mengetahui dan peduli terhadap peninggalan warisan sejarah yang ada di Lumajang serta mengemas belajar sejarah dengan cara menyenangkan.(Red)

Jurnalis warga: Yuyun Choirotul Anis, S.Pd Guru SMA PGRI Lumajang Bidang kajian ilmiah KTD

Editor : Redaksi

Lumajang Maju dan Makmur

Bak Lautan Manusia di Lapangan Jokarto Lumajang Sholawat Doa Bersama Cak dan Ning

Lumajang - Dalam rangka membangun kedamaian dan persatuan di wilayah Lumajang, relawan paslon 01 (Cak Thoriq – Ning Fika) bersama Gus Hafidzul Ahkam dari Probolinggo dan jamaah Riyadhul Jannah Lumajang mengadakan acara Sholawat & Do’a Bersama. Acara ini berlangsung di Lapangan Desa Jokarto Kecamatan Tempeh Kabupaten Lumajang Kamis, (21/11/2024) malam.

Dibuat Dari Bambu Muda

Jadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, Krecek Bung Kuliner Asli Lumajang Bertekstur Daging Empuk

Lumajang - Kabupaten Lumajang, Jawa Timur kembali menorehkan kebanggaan di kancah nasional. Salah satu kuliner tradisional khasnya, Krecek Rebung, resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Menteri Kebudayaan Republik Indonesia pada 16 November 2024. Pengakuan ini menjadi bukti keunikan dan kekayaan budaya lokal Lumajang yang terus dilestarikan.

Hikmah Kehidupan

Urgensi Tasawuf Dalam Menghadapi Krisis Spiritual di Era Modern

Lumajang - Di tengah gemerlapnya dunia yang serba digital dan material, manusia semakin terjerat dalam pusaran kehidupan yang cepat dan penuh tekanan. Keberhasilan diukur dengan angka, kebahagiaan dinilai dengan kepemilikan, dan kedamaian seolah menjadi barang langka yang hanya bisa diraih oleh segelintir orang. Namun, meskipun segala kemajuan teknologi dan inovasi telah memberikan kenyamanan fisik, banyak yang merasakan kekosongan jiwa yang mendalam, kehilangan arah, dan semakin jauh dari makna hidup yang sejati. Krisis spiritual ini bukan hanya sekedar fenomena individu, tetapi sebuah bencana sosial yang mengancam dasar-dasar kemanusiaan kita.