Belajar dari Kartini Kita, Diera Kemajuan Jaman
Kartini, nama yang sudah menjadi bunga nusantara ini tak hanya familiar di bumi pertiwi ini. Bersahabat dengan teman di belahan bumi yang berbeda menjadikan kemajuan cara berpikirnya yang menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai moral leluhur bangsa. Tidak sedikit orang yang memaknai tentang isi surat-suratnya yang terangkai dalam “Habislah Gelap Terbitlah Terang,” hingga meluncurlah istilah emansipasi.
Emansipasi wanita pada khususnya dan emansipasi semua orang tanpa melihat suku, ras, gender,kasta atau pun yang lain. 21 April yang sekaligus hari R.A. Kartini menjadi media empuk untuk memperbincangkan tentang segala hal yang berbau emansipasi. Sekolah, kantor, atau instansi-instansi baik pemerintah maupun swasta menggelar kehormatan pahlawan emansipasi ini. Anak-anak dan guru-guru TK, PAUD, SD, SMP, maupun SMA pun berbondong-bondong menyerbu salon kecantikan buat sekedar berdandan ala Kartini Tempo Doeloe. Ibu-ibu pegawai kantor dan wanita karir pun tak mau ketinggalan.
Dunia maya tak luput menjadi sarana penyebar informasi “emansipasi.” Beraneka kemasan wartanya. Tak ketinggalan pula media cetak dalam negeri yang secara serempak memberi apresiasi tentang topik ini. Tak garing(kering/kekurangan) ide sepertinya.
Namun, adakah di antara kita yang melihat impian besar R.A. Kartini dari versi yang berbeda? Yaa... Pastilah ada. Menurut kita perjuangan Kartini yang begitu besar untuk wanita Indonesia adalah berkisar tentang kesetaraan peran wanita dengan pria. Ini adalah hasil randezvous penulis tentang R.A. Kartini semasa belajar sejarah perjuangannya ketika masih duduk di bangku sekolah.
Bapak Ibu guru kita sudah memberi penjelasan secara garis besar bahwa berkat Kartinilah wanita Indonesia dapat belajar, bersekolah, berkarir, atau menduduki jabatan yang lebih tinggi dari pada pria. Alhasil, di dunia masa kini hadirlah Ibu Kepala Sekolah, Ibu Kades/Lurah, Ibu Camat, Ibu Bupati, Ibu Walikota, bahkan Ibu Presiden. Apakah hanya sebatas itu perjuangan wanita kelahiran Jepara ini?
Ada beberapa hal yang perlu dipelajari, diteliti dan dipetik hikmahnya dari pahlawan emansipasi kita R.A. Kartini. Pertama, Kartini kita mengajarkan kepada para wanita untuk menjadi wanita cendekia (pintar), terus menuntut ilmu, sampai raga memisahkan. Pintar memanfaatkan segala kompetensi yang dimilikinya baik untuk dirinya sendiri, keluarga, agama dan nusa bangsanya.
Kedua, Kartini kita memberi contoh kepada kita untuk memanjangkan tali persaudaraan, tak peduli kebhinnekaan latar belakangnya, selama masih dapat memberi manfaat untuk menuju progresitas kehidupan kenapa tidak? Di era masa kini lebih tepatnya, kita memiliki pertemanan dengan semua orang melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Line, WA, BBM, atau media sosial lainnya. Dengan tetap meneladani sikap beliau yang menjalin sistem pertemanan dengan saling memberi motivasi (moodbooster), saling menimba ilmu pengetahuan, pengalaman positif yang semakin dapat meningkatkan kualitas hidup pribadi kita(bukan malah semakin merusak pribadi).
Menangislah beliau jika sarana pertemanan yang kita jalin melalui jejaring saat ini justru malah menjerumuskan ke jalan yang salah.Ketiga, Kartini meneladani wanita Indonesia untuk lebih kreatif. Dengan begitu banyaknya teman memudahkan akses wanita untuk dapat lebih berkarya. Berpikir inovatif, mencari peluang untuk kemajuan masa depan mereka.
Seorang Kartini yang pendiam, tidak pernah pelesir ke mancanegara di zamannya, tetap kreatif melalui goresan tangannya (dikumpulkan oleh Mr. J.H. Abendanon dengan judul “Door Duisternis tot Licht” atau “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”) Kartini memiliki pandangan luar biasa, yang sangat menarik sebagai wanita pribumi terhadap dunia edukasi wanita pribumi. Semua kisah, pemikiran, pandangan dan curahan hatinya tetap terkenang dan tak lekang oleh segala perkembangan zaman. Inilah R.A. Kartini yang terpandang melalui sisi kreativitasnya.
Mari kita tunjukkan kreativitas wanita Indonesia, apa pun itu. Boleh segi komersiil maupun nonkomersiil. Selama bisa memberi manfaat kenapa tidak? Ingatlah, pahala ilmu yang bermanfaat akan mengalir sepanjang masa. Yang terakhir, Kartini sudah memberi sebuah contoh realita kehidupan. Meski ditakdirkan sebagai seorang wanita yang selalu dikorelasikan dengan situasi yang lemah dan pasrah Kartini tetap bersemangat untuk melanjutkan hidup. Menikah, menjadi istri (K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat), melahirkan, menyusui, dan menjadi ibu.
Hal inilah yang saat ini menjadi trend pemaknaan emansipasi wanita. Memilih melajang, menjomblo, tidak mau menikah, atau pun punya anak tetapi tidak berkenan untuk menyusui buah hatinya, itu mereka anggap sebagai implementasi emansipasi kartini masa kini. Ini semua berlebihan dan kebablasan.
Kartini tidak demikian. Beliau istri yang berbakti, meski di awal kisahnya Kartini mengkritisi tradisi wanita Jawa yang harus menikah muda dengan jodoh pilihan keluarga. Ternyata di perjalanan hidupnya Kartini berhasil dan mensyukuri situasi hidupnya dengan tetap meneruskan misi besar hidupnya dengan restu dan dukungan suami tercinta.
Hingga pada akhirnyamerubah sikap dan mindsetnya tentang adat pernikahan wanita Jawa. Kartini sukses menjadi istri yang setia, menemani suami di kala susah dan senang, setia sampai ajal membentang dan juga telah berhasil menghadirkan seorang buah hati mereka Soesalit Djojohadiningrat (Panglima Divisi III/Diponegoro di kota Yogjakarta dan Magelang perode 1 Oktober 1946- 1 Juni 1948). Wanita Indonesia, Mari Belajar dari Kartini kita.(Red)
Oleh: Ari Fanti Rahayu, S.Pd
(Guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 3 Lumajang)
Editor : Redaksi