Ditulis oleh : Derek Manangka
Jakarta(lumajangsatu.com)- Dari berbagai hal, jika Singapura dibandingkan atau disandingkan dengan Indonesia, akan selalu nampak kecil, agak kecil bahkan sangat kecil.
Baca juga: BBM Naik Atau Turun, Wong Majang Gak Ngurus
Lihat saja penduduknya. Hanya 5,4 juta, tidak sampai separuh dari total penduduk DKI Jakarta, 12 juta jiwa. Sudah begitu, pulau yang didiami, luasnya hanya separuh dari luas Danau Toba di Sumatera Utara.
Jangan bandingkan dengan kepemilikan pulau. Sebab sangat tidak sebanding. Indonesia memiliki 17.000-an buah. Singapura, selain pulau utama, hanya punya dua pulau kecil, Sentosa dan Bukom. Sentosa untuk keperluan wisata: resort, judi/kasino dan padang golf, Bukom tempat penyulingan minyak mentah.
Demikian kecilnya ukuran Singapura, membuat otoritasnya harus putar otak. Untuk tempat latihan bagi Angkatan Udara-nya. Singapura terpaksa harus menyewa lahan di Provinsi Riau Daratan, wilayah Indonesia.
Yang menarik, kendati hanya menyewa lahan tempat berlatih, Angkatan Udara Singapura mampu berkembang menjadi yang terkuat di Asia Tenggara. Persenjataan yang mereka miliki juga termodern di antara 10 negara anggota ASEAN. Kemodernan AU Singapura antara lain terletak pada kemampuan pesawat tempurnya. Mampu mendarat di jalan raya utama Orchard Road Singapura jika keadaan memaksanya.
Kontras dengan ukuran yang serba kecil, dalam menghadapi Indonesia yang serba besar dan berpenduduk 240 juta jiwa, Singapura menyusun strategi dan cetak biru agar posisinya yang serba kecil itu, harus mampu mengimbangi Indonesia.
Lee Kwan Yeuw dan Singapura secara konsisten selama kurang lebih 30 tahun, terus menunjukkan sikap bersahabatnya dengan Indonesia. Mulai dari menghindari konflik, pura-pura membantu pembangunan Pulau Batam sampai dengan kebijakan membeli pasir dan air dari Kepulauan Riau.
Kebijakan Singapura yang membeli pasir dan air dari Indonesia, setidaknya menimbulkan dampak psikologis positif. Indonesia merasa berada di atas angin. Persepsi di kalangan penguasa Indonesia, bahwa ketergantungan Singapura pada pasir dan air Indonesia sangat tinggi.
Saking kuatnya perasaan "berada di atas angin", pembelian pasir dan air oleh Singapura, menjadi bahan candaan. Yang intinya Indonesia menyepelekan Singapura. Yang pasti bagi Indonesia, Singapura bukanlah negara saingan apalagi negara yang harus ditakuti.
Ditambah dengan keputusan Lee Kwan Yeuw sebelumnya yang bersedia menabur bunga di pusara Usman dan Harun, pada 28 Mei 1973, sikap negarawan itu semakin meyakinkan Indonesia bahwa memang benar Singapura tidak sekadar sebuah negara yang tidak punya apa-apa. Tetapi lebih dari itu, Singapura dinilai sangat memperhitungkan kekuatan Indonesia.
Sadar bahwa kharisma Presiden Soeharto sangat kuat bahkan cenderung ditakuti sebagai invader seperti yang dilakukan terhadap Timor Timur pada 1975, pemimpin Singapura itu selalu menempatkan pemimpin Indonesia sebagai sosok yang harus diberi penghormatan.
Invasi Indonesia ke Timor Timur - wilayah Portugal yang luasnya lebih besar dari Singapura, cukup menimbulkan kekuatiran bagi Singapura. Kalau-kalau kebijakan serupa bisa dilakukan oleh rezim Soeharto.
Lee Kwan Yeuw secara implisit menegaskan pengakuannya terhadap Soeharto. Dalam salah satu bukunya, Lee menulis ia sering berkomunikasi, lewat telepon dengan Mbak Tutut, putri tertua dan kesayangan Pak Harto.
Pesan moral politiknya, Lee Kwan Yeuw tidak hanya dekat dengan Soeharto tetapi juga keluarganya. Penghormatan yang diberikan Lee kepada keluarga Soeharto, sangat diterima.
Baca juga: Tahun 2015, Saatnya Bersatu Jadi Terbaik Rek!
Kebijakan atau pendekatan Singapura terhadap Indonesia, sangat berbeda dengan Malaysia. Dengan negara yang juga tetangga terdekatnya Malaysia, Lee sangat tegas. Terutama kalau sudah menyangkut isu "Malay Chinese", etnik Cina di Malaysia yang memiliki hubungan darah dengan masyarakat Singapura.
Perubahan sikap Singapura mulai nampak pada pasca-turunnya Jenderal Soeharto dari kekuasaan. Berbarengan dengan itu, pada saat kerusuhan Mei 1998, Singapura membuka pintunya lebar-lebar bagi "Indonesian Chinese" yang mencari perlindungan di Singapura.
Ketika warga keturunan asal Indonesia sedang dalam kepanikan, berusaha lari dari Indonesia, hanya Singapura yang memberikan formula penyelamatan. Ribuan penumpang asal Jakarta yang ingin lari ke luar negeri tapi kemudian terjebak di Bandara Soekarno Hatta, karena ketidak tersediaan pesawat pengangkut, akhirnya diselamatkan oleh maskapai Singapore Airlines.
Perusahaan penerbangan milik pemerintah Singapura ini mengerahkan armadanya sebanyak mungkin sesuai jumlah penumpang yang memerlukan tumpangan. Hasilnya pada Mei 1998 itu, tak satupun penumpang keturunan di Bandara Soekarno Hatta yang tidak terangkut oleh Singapore Airlines.
Persitiwa yang terjadi hampir 16 tahun lalu itu bagi Indonesia boleh jadi merupakan sebuah bencana. Akan tetapi buat Singapura justru merupakan sebuah berkah. Sebab sejak itu banyak konglomerat asal Indonesia - yang rata-rata keturunan Cina, memilih Singapura sebagai negara alternatif. Mereka mengajukan permohonan menjadi pemegang kartu penduduk tetap (permanent resident), membeli apartemen bahkan tidak sedikit membuka bisnis baru di Singapura. Di luar skenario, terjadi capital outflow, pelarian modal.
Hingga awal 2000, menurut seorang diplomat yang tidak bersedia diungkap identitasnya, di Singapura terdapat 150 ribu orang Indonesia yang memiliki status penduduk tetap. Angka ini cukup fantastis, bila dikalikan dengan nilai dolar yang harus dibayarkan mereka kepada pemerintah Singapura. Angka ini juga sangat berarti bagi kepentingan data intelejen dan perang dagang.
Produk lain yang menguntungkan Singapura pasca-turunnya Pak Harto, keberhasilan Temasek, BUMN Singapura yang membeli sejumlah saham perusahaan telekomunikasi (Telkomsel dan Indosat) dan perbankan (Danamon dan BII).
Baca juga: Tahun 2015, 26 Ribu Fasilitator PNPM Mandiri Jadi Pengangguran
Selain itu Singapura juga mampu menempatkan diri sebagai pusat perdagangan dan transasksi bisnis perminyakan dan energi. Sehingga Indonesia yang mengkonsumsi minyak cukup besar, tanpa disadari menjadi terikat atau memiliki ketergantungan pada Singapura.
Pelan tapi pasti, Singapura dalam waktu 30 tahun, mampu membalikkan posisinya. Dari sebuah negara kecil yang tidak punya apa-apa, berubah menjadi negara kecil yang kaya, kuat dan modern. Sementara Indonesia yang merupakan negara besar tetapi dilanda oleh krisis berkepanjangan, menyisakan sebuah negara besar tetapi lemah.
Posisi kedua negarapun otomatis berubah. Oleh sebab itu, ketika pekan lalu Singapura tiba-tiba memprotes Indonesia, protes yang dalam bahasa vulgarnya bisa ditafsirkan sebagai sebuah 'tantangan', protes itu bukan sembarang protes.
Protes itu harus dibaca sebagai sebuah sikap dari sebuah negara kecil yang punya determinasi yang tinggi. Ibarat Israel di Timur Tengah, negara kecil, tapi terlalu kuat bagi negara-negara besar tetangganya, Singapura juga kurang lebih demikian. Kecil namun bernyali besar.
Kini terpulang kepada para ahli dari berbagai bidang di Indonesia. Sanggupkah menyusun konsep dan cetak biru baru yakni mengembalikan Indonesia sebagai negara besar yang benar-benar besar dan disegani negara besar?
Bukan seperti sekarang, besar tapi ..........! (mdr/inl)
sumber : inilah.comĀ
Editor : Redaksi