Opini Mahasiswa

Metaverse; Tantangan Mahasiswa dalam Mengahadapi Realitas Sosial Baru

lumajangsatu.com
Arifudin Mahasiswa IAI Syarifuddin Lumajang

Perkembangan teknologi semakin menjadi-jadi di zaman modern ini. Berbagai macam teknologi terus dikembangkan demi merubah peradaban manusia menjadi lebih baik. Dari teknologi uap, listrik, hingga perkembangan media digital canggih yang dapat memudahkan aktivitas manusia hampir di semua lini. Gaya hidup manusia berubah dari serba manual ke serba digital.

Salah satu kemajuan teknologi yang menyumbang banyak perubahan dalam kehidupan manusia adalah teknologi di bidang informasi dan komunikasi. Zaman dahulu seseorang rela menunggu berhari-hari hanya demi sebuah kabar dari seorang yang jauh dari jangkauan, kedatangan tukang pos selalu dinanti demi sepucuk surat dari sang pujaan hati.

Baca juga: Kunci Keluarga Sakinah, Harmoni Psikologi dan Nilai Islami

Seiring berjalannya waktu, teknologi informasi dan komunikasi terus mengalami perkembangan, hingga pada zaman sekarang sebuah kabar dapat dengan mudahnya tersampaikan dalam hitungan detik walau sejauh apapun keberadaan pengirimnya seolah menembus dimensi ruang dan waktu. Memang tidak secanggih pintu kemana saja milik Doraemon, tapi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi patut diapresiasi.  

Salah satu kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat fenomenal adalah lahirnya ruang sosial untuk berinteraksi jarak jauh di luar dunia nyata yang sering kita sebut dengan media sosial. Media sosial merupakan ruang publik yang memudahkan manusia berinteraksi sosial dengan manusia lainnya tanpa bertatap muka secara langsung. Kini interaksi sosial tidak hanya ditemui di kehidupan nyata, namun juga dapat terjadi di ruang media sosial yang berada di dimensi berbeda dengan dunia nyata. Dewasa ini interaksi sosial lebih sering dilakukan di dalam media sosial.

Dilansir data dari We are Social Jumlah pengguna media sosial di Indonesia pada tahun 2017 telah mencapai angka 2,51 miliar. Angka tersebut terus meningkat cukup drastis dibandingkan pada tahun 2010 yang pada saat itu belum mencapai 1 miliar pengguna. Ditambah lagi dalam dua tahun terakhir ini kita mengalami perubahan gaya hidup besar-besaran akibat adanya pandemi covid-19. Hingga saat ini terhitung sejak Januari 2021, pengguna sosial media di Indonesia telah mencapai angka 170 juta jiwa dimana angka tersebut merupakan lebih dari setengah jumlah populasi yang ada di Indonesia.

Secara tidak langsung, media sosial telah membentuk dunia kedua bagi peradaban umat manusia. Media sosial tidak lagi menjadi dunia maya bagi manusia melainkan telah membentuk dunia nyata atau realitas baru bagi kehidupan sosial. Media sosial seolah telah menjadi kehidupan ke dua bagi peradaban umat manusia. Setiap kegiatan dalam media sosial merupakan cerminan dari realita atau kegiatan yang terjadi di dunia nyata.

Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa keberadaan media sosial saat ini bukan hanya sebagai dunia maya yang terpisah dari realita sosial dalam dunia nyata, melainkan media sosial telah menjadi ruang nyata ke dua bagi manusia untuk menjalankan aktivitas sehari-harinya. Meski berada pada dimensi yang berbeda, sosial media sebagai realitas baru tidak dapat dianggap remeh. Karena bagaimanapun juga, aktivitas sosial yang terjadi di sosial media dapat memberikan pengaruh terhadap kehidupan sosial di dunia nyata.

Aktivitas yang terjadi dalam media sosial bukan hanya menjadi aktivitas maya belaka namun telah menjadi kenyataan yang dapat memberi pengaruh pada kehidupan di dunia nyata. Kedua realitas tersebut memang berbeda dan berada pada ruang dan dimensi yang tidak sama. Namun antara realitas satu dengan realitas dua memiliki hubungan timbal balik dan dapat mempengaruhi antara satu dengan lainnya.

Kenyataan atau aktivitas yang terjadi di dalam media sosial seringkali berawal dari aktivitas yang terjadi dalam dunia nyata begitu juga sebaliknya. Konflik sosial yang terjadipun juga demikian, konflik yang terjadi di dalam media sosial seringkali merambah ke dunia nyata dan konflik sosial yang terjadi di dunia nyata juga akan menyebabkan perseteruan dalam realitas baru.

Adanya media sosial sebagai salah satu produk industri teknologi informasi dan komunikasi menjadi salah satu ciri kehidupan di era industri 4.0 dimana teknologi informasi dan komunikasi sudah menajamah kehidupan manusia di berbagai sektor. Memasuki era Society 5.0 dimana manusia dan teknologi (terutama teknologi kecerdasan buatan) hidup berdampingan dan melengkapi serta menjadi bagian satu sama lain, Bos perusahaan raksasa Facebook Mark Zuckerberg menggaungkan konsep metaverse dimana seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain secara virtual dan dapat merasakannya seolah bertemu langsung.

Konsep Metaverse

Konsep metaverse ini menggunakan teknologi Augmented Reality (AR) yang dikembangkan sehingga seseorang dapat menyentuh dan merasakan sesuatu di dunia virtual layaknya dunia nyata. Konsep Metaverse sebenarnya sudah muncul sejak lama. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi istilah tersebut mendapatkan popularitas dan menarik minat banyak perusahaan teknologi terkemuka.

Dalam metaverse seseorang memungkinkan bertemu, bermain, bekerja, dan berinteraksi dengan orang lainnya secara virtual dengan menggunkan avatar masing-masing namun terasa seperti bertemu secara langsung di dunia nyata. Berubahnya nama perusahaan Facebook menjadi Meta menjadi indikasi keseriusan Mark Zuckerberg dalam mewujudkan dunia metaverse ini.

Baca juga: Urgensi Keseimbangan Usaha Dan Tawakal

Adanya dunia baru metaverse tentu memungkinkan terbentuknya realitas sosial kedua yang lebih nyata dan menyaingi kehidupan sebenarnya. Realitas sosial baru tentunya memberikan dampak perubahan perilaku sosial masyarakat secara masif terutama kepada masyarakat kaum millenial dan generasi Z yang lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam dunia digital.

Dinamika perubahan sosial yang terjadi di realitas kedua tentunya berbeda dan mungkin lebih sulit untuk ditangani dibandingkan dengan perubahan sosial dalam kehidupan nyata. Bagaimana tidak, dunia Metaverse memiliki cakupan massa yang luas dan tidak dibatasi dimensi ruang dan waktu sepertihalnya dunia nyata. Dunia virtual seperti Metaverse dapat menghubungkan banyak orang tanpa memandang seberapa jauh jarak antara orang-orag tersebut.

Mahasiswa Social Control

Dengan begitu metaverse pastinya akan membuka banyak kemungkinan perubahan tingkah laku sosial manusia. Batas antara dunia nyata dengan dunia maya menjadi semakin kabur dan seolah hampir tidak ada perbedaan antara keduanya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi kaum intelektual terutama mahasiswa yang memang memiliki tugas mengawal dan mengontrol perubahan sebagai seorang agent of change dan social control.

Mahasiswa memiliki peran penting dalam kehidupan sosial sebagai Agent of Change yang berarti Mahasiswa hendaknya dapat melopori dan megawal sebuah perubahan positif di tengah kehidupan masyarakat. Mahasiswa diyakini memiliki ilmu pengetahuan dan pemikiran yang mumpuni untuk mengawal perubahan menuju tatanan masyarakat yang lebih baik. Mahasiswa hendaknya mendedikasikan hasil belajarnya untuk memperjuangkan kepentingan bersama dan bukannya untuk kepentingan pribadi.

Selain itu, mahasiwa juga memiliki peran sebagai Agent of Social Control yang berarti seorang mahasiswa hendaknya dapat melakukan kontrol terhadap perubahan sosial yang ada agar tidak mengarah terhadap sesuatu yang negatif dan mengakibatkan masalah sosial bermunculan. Mahasiswa hendaknya menjadi pelopor solusi dari masalah sosial yang ada dan bukannya menjadi pemasok masalah sosial baru. Sebelum itu, mahasiswa hendaknya dapat bertahan menghadapi arus perubahan zaman bukannya hanyut dalam hingar bingar perubahan sosial yang negatif.

Baca juga: Al-Quran Kitab Suci Yang Istimewa

Dewasa ini masih sering kita menemui seorang pemuda bahkan tidak sedikit juga yang dari kalangan mahasiswa yang diperbudak oleh teknologi dan lebih-lebih mereka telah mabuk teknologi. Sebagai mahasiswa yang bertanggung jawab dalam mengemban amanah agent of change and social control hendaknya membentengi diri dari pengaruh buruk teknologi, bukannya terlarut dan tunduk dibawah kekuasaan teknologi.

Mahasiswa hendaknya dapat memanfaatkan dan mengendalikan teknologi untuk peradaban manusia yang lebih baik, karena sejatinya teknologi sepertihalnya pedang dengan dua mata, teknologi dapat memberi kejayaan bagi orang yang berhasil menguasainya dan dapat membawa kehancuran bagi orang terlena dan diperbudak olehnya.  

Meneladani sejarah perjuangan mahasiswa dari masa ke masa tentunya kita sadar bahwa setiap masa memiliki tantangan dan masalah yang berbeda-beda. Jika mahasiswa era 90 an berhadapan dengan pemerintahan yang otoriter, mahasiswa masa kini menghadapi tantangan yang cukup sulit karena berhadapan dengan perkembangan teknologi dan ancaman penjajahan budaya yang sekilas seolah terasa nyaman namun sebenarnya mematikan.

Munculnya realitas baru dari konsep metaverse hendaknya menjadi perhatian serius bagi kalangan mahasiswa. Mahasiswa harus lebih peka terhadap perubahan sosial yang muncul dari realitas baru tersebut dengan tidak mengesampingkan kepekaannya terhadap perubahan sosial yang terjadi di dunia nyata. Pada intinya, mahasiswa harus memiliki cakupan kepekaan dan pemahaman yang lebih luas terlebih dalam hal kemajuan teknologi.

Mahasiswa hendaknya lebih bijak dalam menggunakan teknologi, menjadi pelaku produktif bukan hanya konsumtif terhadap perkembangan teknologi, bergerak bersama terknologi dan bukan hanya digerakkan oleh teknologi, dapat berdiri tegak menghadapi dan melawan arus pengaruh negatif dari budaya mabuk teknologi. Dalam mengawal dan mengontrol perubahan sosial dari realitas baru, Mahasiswa harus siap dan sigap membaca dan merespon dinamika sosial yang terjadi di dalamnya. Bukan hanya menjadi penonton, mahasiswa harus aktif menjadi pelaku didalam perubahan sosial di dalam realitas baru, pun juga di dunia nyata. Sudah bukan zamannya mahasiswa hanya membaca buku dan aksi manual saja. Literasi dan pemahaman terkait dunia digital hendaknya menjadi orientasi utama mahasiswa saat ini. Bukan hanya kematangan intelektual namun juga kecakapan digital. (*)

* Oleh: Moch. Arifudin, Presiden Mahasiswa IAI Syarifuddin Lumajang dan Peserta Diklatpimnas II 2021

Editor : Redaksi

Politik dan Pemerintahan
Berita Populer
Berita Terbaru