Opini Akademisi

Refleksi Menyambut New Normal Ritual Keagamaan di Indonesia

Penulis : lumajangsatu.com -
Refleksi Menyambut New Normal Ritual Keagamaan di Indonesia
Dr. Fazlul Rahman, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam, IAI Syarifuddin Lumajang.

 

Kedatangan Virus COVID 19 di Indonesia sejak 2 bulan terakhir telah banyak merubah tatanan kehidupan masyarakat, termasuk tatanan kegiatan keberagamaan masyarakat yang notabene mayoritas beragama Islam. Perubahan tatanan ini semakin jelas terlihat dengan kedatangan Bulan Suci Ramadan di mana kaum Muslimin melakukan ritual-ritual ibadah yang sejatinya sangat lekat dan tumbuh mengakar bersama kebudayaan khas masyarakat Indonesia. Suka atau tidak suka, fenomena perubahan ini pun berlanjut hingga pada ritual Idul Fitri yang lekat dengan budaya berlebaran di Indonesia.

Menarik untuk melihat fenomena "new normal" ritual lebaran yang terjadi pada hari H lebaran di Indonesia. Mulai dari pelaksanaan ibadah sholat Idul Fitri di rumah bersama keluarga inti,postingan ucapan selamat lebaran dari paling sederhana (hasil copy paste) hingga yang sedikit menguras skill edit foto dan video, penggunaan masker atau cadar (sebagai pengganti masker) ketika berfoto bersama, hingga silaturrahim online menggnunakan video call. Kesemua potret baru berlebaran tersebut, bagi penulis, mengundang rasa penasaran besar tentang fenomena kenormalan baru ritual keagamaan masyarkat Muslim di Indonesia.

Banyak pertanyaan bermunculan, lantas bagaimana jika kita memang harus selalu sholat dengan menjaga jarak di masjid, tidak lagi rapat? Atau bahkan, bagaimana jika kita memang harus terus beribadah di rumah saja? Bagaiamana jika kita memang harus selalu menggunakan masker bahkan ketika beribadah? Bagaiamana dengan pelaksanaan ritual keagmaaan yang memang memiliki ketentuan ruang dan waktu yang sudah ditetapkan dan dalam skala yang besar seperti haji? Bagaimana jika kita memang harus selalu melaksanakan pengajian, khataman al-Quran, istighotsah, secara online?

Dalam menghadapi COVID 19, selain membangun optimisme dari sisi medis, penulis melihat optimisme dalam beribadah justru adalah hal yang tidak boleh dikesampingkan. Artikel ini bermaksud untuk mengajak pembaca ke arah tersebut dengan mengajukan beberapa argumen tentang urgensi aspek non fisik dalam ritual keagamaan Islam.

Pertama, bahwa dalam beribadah selain kesesuaian dengan fiqh masing-masing ritual ibadah, aspek filosofis ibadah adalah hal yang juga harus diperdalam.

Jika kita memfokuskan pada Ibadah-ibadah yang termasuk dalam rukun Islam, menurut penulis, banyak mengandung nilai-nilai filosofis agung yang patut kita ungkap dalam kehidupan kita di dunia ini.Contoh sederhana, setelah kita memastikan kebenaran tata cara sholat kita dengan fiqh sholat yang memang sudah ditetapkan oleh para fuqaha terdahulu, maka hal yang selanjutnya kita lakukan adalah merenungkan mengapa Allah menurunkan perintah sholat,mengapa kita diperintahkan untuk “mendirikan” sholat bukan hanya “mengerjakan” sholat, apa “buah” sholat kita selama ini, dan lain-lain.Bukankah itu yang disinggung oleh Imam Ibnu Rajab dalam perkataannya yang masyhur tentang perayaan Idul Fitri sebagai puncak dari ibadah puasa, bahwa

“Tidaklah(kemuliaan) Idul Fitri diperuntukkan bagi mereka yang memakai pakaian baru. Tetapi (kemuliaan) Idul Fitri diperuntukkan bagi mereka yang takwanya bertambah”

 Kedua, bahwa standar ketakwaan seorang Muslim sejatinya tidak dilihat dari ibadah fisik melainkan ibadah hati.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim r.a, Rasulullah S.a.w bersabda, “Takwa itu terletak di sini”, sambil beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk ke dada/hati beliau tiga kali. Jika memang “inna akramakum ‘inda Allah atqakum” bahwa sebaik-baik kalian adalah yang paling bertakwa, makasebaik-baik makhluk adalah ia yang tidak hanya fisiknya yang beribadah tetapi juga hatinya. Karena esensi ibadah adalah ketakwaan, maka seseorang yang hatinya bertakwa dapat dipastikan fisiknya pun turut bertakwa. Setidaknya itulah yang bisa disimpulkan dari hadis Rosulullah yang lain yang berbunyi “bahwa di di dalam jasad ada segumpal darah. Kalau ia baik maka seluruh jasad menjadi baik, dan kalau ia rusak maka seluruh jasad menjadi rusak. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati” (H.R. Bukhari)

 Ketiga, bahwa kualitas ritual ibadah seorang Mulsim harus dibuktikan dengan kualitas ibadah sosialnya di masyarakat.

Urgensi pembuktian kualitas ibadah seorang Muslim dalam interkasinya dengan sesama tergambar jelas dari ayat-ayat al-Quran yang mempergandengkan kata iman dengan amal shaleh. Begitu juga, urgensinya dapat terlihat jelas dari sebuah hadis tentang “al-muflis” orang yang merugi di akhirat, dari Abu Hurairah radhyallahu anhu, suatu ketika Rasulullah s.a.w bertanya kepada para sahabat

“Tahukah kalian, siapakah muflis (orang yang bangkrut) itu ?” Para sahabat menjawab : “Di kalangan kami, muflis itu adalah seorang yang tidak mempunyai dirham dan harta benda”. Nabi bersabda :    

"Muflis di antara umatku itu ialah seseorang yang kelak di hari kiamat datang lengkap dengan membawa pahala ibadah shalatnya, ibadah puasanya dan ibadah zakatnya. Di samping itu dia juga membawa dosa berupa makian pada orang ini, menuduh yang ini, menumpahkan darah yang ini serta menyiksa yang ini. Lalu diberikanlah pada yang ini sebagian pahala kebaikannya, juga pada yang lain. Sewaktu kebaikannya sudah habis padahal dosa belum terselesaikan, maka diambillah dosa-dosa mereka itu semua dan ditimpakan kepada dirinya. Kemudian dia dihempaskan ke dalam neraka" (H.R Abu Hurairah)

 Berdasarkan ketiga argument di atas, penulis ingin kembali menekankan bahwa kehadiran Virus COVID 19, suka atau tidak suka, telah memaksa kita untuk beradaptasi dalam banyak hal. Termasuk dalam hal keagamaan kita. Kita harus mulai menyiapkan mental keagamaan kita dalam menyambut new normal ritual keagamaan. Hal ini, menurut penulis, tidak lah untuk membatasi apalagi merusak unsur-unsur ibadah ritual keagamaan kita. Namun, justru fenomena ini menjadi momentum bagi umat Islam untuk meningkatkan kualitas ibadahnya dari sekedar pemenuhan pelaksaanaan ritual, menjadi penggalian makna dan nilai-nilai ibadah. Untuk kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan nyata kita dalam bermasyarakat. Wallahu a’lam bishshowab. *

 

* Penulis : Dr. Fazlul Rahman, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam, IAI Syarifuddin Lumajang

 

 

 

 

 

Editor : Redaksi

Opini

Euthanasia dan Perawatan Paliatif, Dilema Etik Antara Hak Hidup dan Hak Untuk Mengakhiri Penderitaan

Lumajang - Saat ini dunia ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan sudah sangat maju khusus pada bidang kesehatan. Dengan adanya kemajuan tersebut segala hal akan menjadi lebih mudah untuk dilakukan, seperti dalam hal mendiagnosis penyakit dan menentukan kemungkinan waktu kematian seseorang dengan tingkat akurasi tinggi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan logis. Bahkan para dokter kini pun juga dapat memberikan bantuan dalam mengakhiri kehidupan pasien  dengan kondisi medis yang memiliki tingkat kesembuhan relatif rendah atau dalam kondisi penyakit terminal. Proses ini dikenal dengan istilah Euthanasia (Fahrezi & Michael, 2024).