Budaya dan Teknologi

STKIP PGRI Lumajang Latih Guru MTs Buat Bahan Ajar Etnomatematika Berbasis Augmented Reality

Penulis : -
STKIP PGRI Lumajang Latih Guru MTs Buat Bahan Ajar Etnomatematika Berbasis Augmented Reality
STKIP PGRI Lumajang dan berfokus pada pelatihan guru dalam pengembangan bahan ajar etnomatematika berbasis Augmented Reality (AR).

Lumajang  — Upaya menghadirkan pembelajaran matematika yang kontekstual dan menarik dilakukan oleh tim dosen dan mahasiswa STKIP PGRI Lumajang melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat bertajuk “Pelatihan dan Pendampingan Bahan Ajar Etnomatematika Berbasis Augmented Reality (AR) bagi Guru MTs di Kabupaten Lumajang.”

 

Kegiatan ini berangkat dari keresahan atas pandangan bahwa matematika adalah pelajaran yang abstrak dan sulit dipahami. Padahal, di balik simbol dan rumus, terdapat nilai-nilai budaya yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Pendekatan inilah yang disebut etnomatematika sebuah cara mengaitkan konsep matematika dengan budaya lokal agar pembelajaran terasa lebih bermakna.

 

Guru-guru Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Kabupaten Lumajang menghadapi tantangan ganda: menerapkan pembelajaran berbasis kearifan lokal sekaligus mengintegrasikan teknologi digital di kelas. Melalui kegiatan ini, tim pengabdian STKIP PGRI Lumajang berupaya menjembatani dua kebutuhan tersebut dengan menggabungkan etnomatematika dan teknologi Augmented Reality (AR).

 

Teknologi AR memungkinkan peserta didik melihat objek tiga dimensi dari bahan ajar melalui ponsel atau tablet. Dengan cara ini, siswa dapat berinteraksi langsung dengan bentuk bangun ruang, pola batik, atau struktur arsitektur tradisional yang ditampilkan secara digital.

 

Kegiatan yang didanai oleh Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRTPM) Kemendikti Saintek melalui skema Pemberdayaan Berbasis Masyarakat Tahun 2025 dengan total anggaran Rp 23.375.000 ini melibatkan guru-guru Matematika MTs yang tergabung dalam **MGMP Matematika MTs Negeri/Swasta Wilayah Kerja 3 Kabupaten Lumajang.

 

Ketua tim pengabdian masyarakat, Mohammad Ridho’i, M.Pd., menjelaskan bahwa etnomatematika merupakan upaya menemukan konsep matematika dalam kehidupan dan budaya sehari-hari masyarakat.

 

“Batik Lumajang, anyaman bambu, hingga pola ukiran rumah adat memiliki unsur matematika seperti simetri dan geometri. Jika ini kita angkat ke kelas, siswa akan melihat bahwa matematika itu nyata dan dekat dengan kehidupan mereka,” ujarnya.

 

Antusiasme peserta terlihat sejak awal pelatihan. Para guru diminta mencari contoh etnomatematika di sekitar mereka, seperti pola ladang pertanian yang mengandung konsep luas dan keliling, atau simetri dalam seni anyaman bambu.

 

Pada sesi berikutnya, peserta diperkenalkan pada teknologi Augmented Reality (AR). Dengan bimbingan tim dosen, para guru belajar mengubah gambar dua dimensi menjadi objek tiga dimensi interaktif melalui aplikasi ponsel.

 “Awalnya kami kira sulit, tapi ternyata bisa kami pelajari dengan mudah. Sekarang siswa bisa memindai gambar lalu melihat bangun ruang muncul dalam bentuk 3D. Itu pengalaman belajar yang luar biasa,” ujar Anisatur Rofiqoh, S.Pd., salah satu peserta pelatihan.

 

Menurut pemateri AR, Nimas Dian Fitriya, M.Pd., integrasi teknologi dalam pembelajaran bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan.

 

“Siswa hidup di era digital. Kalau kita ingin mereka mencintai matematika, kita harus mengajarkannya dengan cara yang relevan dan menarik,” tegasnya.

 

Tak berhenti di pelatihan, kegiatan ini juga dilanjutkan dengan pendampingan berkelanjutan. Tim dosen membuka ruang konsultasi daring dan kunjungan lapangan untuk membantu para guru menyempurnakan bahan ajar berbasis AR. Dari hasil pendampingan, sejumlah produk inovatif lahir, seperti modul geometri berbasis cagar budaya, video interaktif bangun ruang 3D, serta lembar kerja siswa (LKS) dengan unsur budaya lokal.

 

Dampaknya mulai terasa. Guru-guru yang semula ragu kini lebih percaya diri mengembangkan media pembelajaran digital. Mereka juga lebih bersemangat mengaitkan matematika dengan budaya setempat, sehingga pembelajaran terasa lebih hidup dan kontekstual.

 

Kegiatan ini menjadi bukti bahwa inovasi pendidikan tidak harus menjauh dari akar budaya. Melalui integrasi antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan kearifan lokal, STKIP PGRI Lumajang menunjukkan bahwa kampus dapat berperan aktif sebagai jembatan antara budaya dan kemajuan zaman (Red).

Editor : Redaksi