Senduro - Tak hanya menikmati keindahan alam, para pengunjung dapat melihat tanda yang menjadi bagian sakral bagi warga suku Tengger, yakni Tri Padma Mandala. Ada tiga tokoh besar suku Tengger, Joko Noto, Joko Niti, dan Eyang Sapu Jagat, pernah berada di sana.
Edi menjelaskan, ketiganya termasuk 25 anak dari Roro Anteng dan Joko Seger, leluhur suku Tengger. Di waktu tertentu seperti saat Jumat Legi, banyak warga Tengger pemeluk Hindu menggelar ritual dan penghormatan terhadap leluhur di Tri Padma Mandala. Mereka biasanya meminta doa restu kepada leluhur, soal perjodohan hingga kelancaran usaha atau hasil panen.
Baca juga: Beredar Foto Mesra Mirip Ketua DPRD Lumajang, Masyarakat Peduli Moral dan Pendekar Lapor ke BK Dewan
Joko Niti yang ditugaskan oleh Joko Seger di puncak B29. Hingga kini, terdapat tugu pemujaan Joko Niti di puncak B29. Kendati demikian, Eyang Sapu Jagat yang juga anak Roro Anteng dan Joko Seger dihormati pula oleh warga suku Tengger. Bahkan, ada bangunan kecil di dekat puncak B29 yang diyakini sebagai petilasan Empu Sapu Jagat.
"Bagi yang percaya dengan supranatural, mereka biasanya memohon suatu permintaan kepada Eyang Sapu Jagat," tutur Edi yang berjualan di Bukit B29
Bila doa diucapkan dengan tulus, Eyang Sapu Jagat bakal menjawab secara kebatinan pula. Dia menegaskan, aura mistis dari leluhur ini hanya dapat dirasakan oleh warga suku Tengger dan orang yang mendalami ihwal kebatinan.
Adapun mata pencaharian warga suku Tengger umumnya sebagai petani sayur kembang kol atau kubis, daun bawang, dan kentang. Warga Tengger menganggap bertani bukan sekadar profesi, bertani menjadi bentuk kepatuhan kepada ajaran leluhur, welas asih pepitu.
Baca juga: Euthanasia dan Perawatan Paliatif, Dilema Etik Antara Hak Hidup dan Hak Untuk Mengakhiri Penderitaan
Salah satu ajarannya cinta kasih kepada tumbuh-tumbuhan. Warga Tengger percaya hidup harmoni dengan alam menjadi kunci. Merusak alam sama artinya membinasakan diri sendiri.
Suku Tengger di Bromo diyakini sebagai keturunan orang-orang Majapahit, yang menyingkir saat kerajaan Hindu tersebut mengalami kemunduran ketika menyebarnya agama Islam.
Disebut Tengger karena berasal dari keturunan Roro Anteng dan Joko Seger, suami istri yang dipercaya sebagai keturunan Brahmana dan mendapat amanat dari Sang Hyang Widhi Wasa untuk mendiami dan meneruskan keturunannya di wilayah Tengger.
Baca juga: Badan POM Jember Evaluasi Program Keamanan Pangan di Kabupaten Lumajang
Orang Tengger tidak memiliki candi-candi, namun peribadatan diadakan di poten, punden-punden atau danyang. Sifat masyarakatnya cenderung tertutup, karena untuk menjaga garis keturunan Majapahit.
Secara turun-temurun mereka bekerja dan bermukim di kawasan Tengger dan jarang yang keluar dari wilayahnya. Kekerabatannya sangat erat dan mereka memelihara tradisi, aturan adat maupun petuah-petuah secara lisan secara turun-temurun.
Sekalipun menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari, mereka mempunyai dialek turunan bahasa Kawi. Penduduk Tengger bahkan mempertahankan sejumlah kalimat kuno yang tidak lagi digunakan dalam bahasa Jawa modern. (ind/ls/red)
Editor : Redaksi