Pronojiwo - Sosok yang cantik, biasanya susah didekati. Perlu perjuangan ekstra dan kesabaran untuk bisa menyentuhnya, Ini juga berlaku bila Anda ingin merasakan dari dekat keindahan air terjun Tumpak Sewu.
Ingin menikmati air terjun sambil berjibaku dengan alam, ala-ala para petualang alam liar? Anda bisa datangi Tumpak Sewu di Lumajang, Jawa Timur. Pemandangannya indah, tetapi yang jauh lebih menarik menurut saya tantangannya untuk mendekati Tumpak Sewu.
Baca juga: Asosiasi BPD se-Lumajang Bertemu H. Rofiq Anggota DPRD Jatim
Bagi mereka yang menyandang predikat anak gunung atau pencinta alam, meniti di tebing terjal di Tumpak Sewu mungkin biasa saja. Berlebihan bila mengategorikannya wisata ekstrem.
Tetapi untuk yang awam, petualangan di Tumpak Sewu dijamin membuat jantung berdegub, dan kadang-kadang lutut jadi lemas. Ini keseruannya, selain pemandangan alam yang indah di Tumpak Sewu!
Ada momen-momen ketika Anda harus menyusuri aliran air yang keluar dari celah-celah tebing, atau berdiri di atas batang-batang bambu, karena tidak ada lagi tanah yang bisa dipijak. Meski menguras tenaga dan nyali, tetapi asyiknya perjalanan naik atau turun relatif bisa dilakukan dengan aman.
Ada pemandu yang siap menjaga perjalanan anda menuruni tebing. Di titik-titik tertentu yang cukup rawan, Anda juga tidak perlu terlalu khawatir karena pengelola wisata di Tumpak Sewu sudah melengkapinya dengan sejumlah pengaman seperti tali, jembatan bambu atau pegangan kayu. Jalurnya sudah dimodifikasi untuk keamanan.
Air terjun Tumpak Sewu berbentuk setengah lingkaran dengan ketinggian sekitar 120 meter. Anda bisa menikmati dari dua tempat dari bawah air terjun atau dari tanah datar yang diberi nama Pos Panorama. Pos Panorama berada hanya sekitar 10 menit jalan kaki dari pintu masuk.
Ada sebidang tanah yang luasnya tidak lebih dari setengah lapangan bulutangkis, untuk menikmati pemandangan Tumpak Sewu. Saat pertama memandang Tumpak Sewu setelah sampai di Pos Panorama, saya langsung terbayang film-film petualangan.
Biasanya ada adegan pemeran utama tersesat dan kemudian setelah melewati hutan-hutan lebat, tiba-tiba ia sudah berdiri di depan jurang yang berhadapan dengan air terjun yang megah. Begitu kira-kira.
Tapi sayang kalau sudah datang ke Tumpak Sewu hanya menghabiskan waktu dengan mematung di sana. Sebaiknya Anda nikmatinya dari bawah air terjun itu. Caranya tidak ada lain hadapi tantangan meniti jalur curam untuk sampai ke tujuan.
Saya bukan tipe petualang, atau anak gunung, tetapi saat masih di bangku sekolah, waktu-waktu liburan kerap saya pakai untuk kemah di dekat curug-curug terutama yang ada di Jawa Timur. Nah, terus terang pengalaman berkunjung ke Tumpak Sewu menurut saya cukup unik.
Saya belum pernah menemui jalur yang securam di Tumpak Sewu, hanya untuk sekadar menikmati curug (air terjun). Di tempat-tempat lain yang pernah saya kunjungi, untuk mencapai curug, biasanya hanya jalan setapak yang dapat dilalui dengan berjalan lenggang kangkung. Di Tumpak Sewu tidak bisa begitu.
Asyiknya, Anda tak perlu masuk-masuk ke pelosok hutan untuk menikmati petualangan ini. Dari jarak parkir lokasi wisata anda tinggal berjalan sekitar 10 menit sebelum mulai menyusuri jalur yang membuat Anda harus bergelantungan, melompat, merangkak atau merayap. Ini menurut saya nilai lebih Tumpak Sewu.
Baca juga: MPM Desak BK DPRD Segera Clearkan Beredarnya Foto Mesra Mirip Ketua Dewan Lumajang
Menuruni tebing, bisa dilakukan dengan waktu tempuh sekitar 40 menit sampai 1,5 jam. Bisa lebih lama, bisa lebih cepat tergantung stamina dan keterampilan Anda meniti jalurnya.
Jangan harap bisa menemui tanah datar sebelum sampai dasar lembah. Paling-paling di satu titik ada satu bidang tanah seluas tidak lebih dari dua meter persegi, yang lumayan buat rehat.
Ketika sudah sampai di bawah, kelelahan Anda akan terbayar dengan pemandangan tebing tinggi dan megahnya Tumpak Sewu. Waktu yang ideal tentu saat pagi atau siang hari, ketika keadaan masih terang.
Selain terdapat kolam air terjun dan sungai, di bagian kaki tebing juga terdapat sebuah gua. Gua tersebut tidak terlalu terlihat karena tertutup rumput dan pepohonan.
Mas Karim sang pemandu yang gondrong dan ramah itu mengajak Saya. "Itu gua bidadari, mau ke sana enggak? " kata Karim sambil cengengesan mungkin agak meledek.
Suara gemuruh air, pemandangan tebing tinggi yang tampak suram karena suasana menjelang magrib, bukan perpaduan yang menarik buat saya memutuskan mampir mengintip gua yang gelap. Mungkin lain kali, kalau Karim dan kelompok sadar wisatanya sudah pasang Wi-Fi dan lampu disko di dalam gua.
Di bawah lembah udaranya cukup basah. Meski masih berjarak sekitar puluhan meter dari jatuhnya air terjun, Anda akan seperti merasa seperti diguyur gerimis.
Baca juga: KPU Mulai Distribusikan Logistik Pilkada Lumajang 2024
Kalau mau aman, bawa kantong plastik untuk menyimpan benda-benda berharga seperti handphone. Untuk kenyamanan, saran saya pergunakan sandal gunung, jangan sepatu, sandal jepit apalagi sandal refleksi.
Tempat selfie yang paling top, ada di undakan yang langsung berhadapan dengan air terjun. Banyak yang bilang Tupak Sewu Niagara-nya Indonesia.
Sepanjang tahun, debit air yang terjun tidak berkurang. Itu kata Karim. Saran saya datanglah saat pagi atau cuaca masih cerah, supaya dapat momen selfie yang cakep untuk dipajang di instagram.
Setelah puas foto-foto, selfie-selfie, jangan lupa ambil nafas panjang untuk naik pulang. Perjalanan menanjak dijamin lebih menguras stamina. Kalau kurang kuat, bisa saja pandangan jadi kabur dan kunang-kunang. Nafas juga susah, mau berhenti takut dan malu sama yang lain.
Mau lanjut dengkul gemetaran kalau lagi begini, mungkin Anda agak menyesal ikut turun ke bawah.Tapi jangan menyerah, Teman-teman saya saja bisa kok akhirnya, walau kalau lihat tampangnya sudah kayak orang paling menderita sedunia.
Yang perlu Anda ingat, ada balasan yang setimpal kalau Anda bersabar melalui ujian hidup ala Tumpak Sewu itu. Saat berhasil sampai di atas dan minum jahe hangat di tempat beristirahat, Anda pasti tersenyum puas. Pengalaman menikmati kecantikan dan keliaran Tumpak Sewu pasti sulit dilupa. Coba saja!
Editor : Redaksi