Faktor X jadi Faktor Keterpilihan

Pengamat : Pemilu 2019 Kegagalan Komunikasi Politik Verbal Politisi

lumajangsatu.com
Pengamat Komunikasi Politik dari Institut Agama Islam (IAI) Syariffudin Lumajang, Achmad Arifulin Nuha, S.Sos.I, M.Ikom

Lumajang (lumajangsatu.com) - Pemilu 2019 adalah pesta demokrasi untuk mencari pemimpin dan wakil rakyat. Masih adanya transaksi simbolik di konstelasi politik di era dubia modern dan kemajuan teknologi informasi dianggap sebuah kegagapan komunikasi politik verbal.

Hal ini disampaikan oleh pengamat politik dari Institut Agama Islam (IAI) Syariffudin Lumajang, Achmad Arifulin Nuha, S.Sos.I, M.Ikom.

Baca juga: Dirut Perumdam Lumajang Pastikan Pelayanan Hingga Turun Langsung

"Pemilu di Lumajang penuh dengan traksaksi simbolik dari tabu menjadi tidak," ungkap Kepala Jurusan Komunikasi Ilsam IAI Syarifudiin pada lumajangsatuc.com, Senin (22/4/2019).

Arif melihat para politisi sangat gagap dalam komunikasi politik verbal. Ditengah era kemajuan dunia modern yang mengagungkan nalar texts dan bahasa ditenggelamkan oleh transaksi simbolik untuk keterpilihan.

Akibatnya, banyak politisi yang tidak mampu menyampaikan pesan politik untuk keadialan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga, lebih mengutamanan transaksi politik dalam bentuk material.

"Kita bisa merasakan itu," paparnya.

Baca juga: Gelapkan Uang Pelanggan, Karyawan Perumdam Lumajang Diberhentikan

Dari pengamatan banyak caleg dipilih disebabkan faktor material untuk meraup suara. Akibatnya, simbol ketokohan, intelektual dan negarawan tidak lagi dipandang sebagai jalan suci politik.

"Faktor X, mau ngomong money politik terlalu kasar, nantinya," papar pria lulusan Magister Universitas Dr. Soetomo Surabaya itu.

Arif melihat Pemilu 2019 bukan menjadi ajang pendidikan politik yang baik. Karena masyarakat oleh pelaku politik selalu diming-iming material dalam sebuah pusaran kekuasanan.

Baca juga: Dirut Perumdam Lumajang Blusukan ke 3 Sumber Mata Air Utara

"Harus berjalan pendidikan politik sesuai pancasila, bukan malah menjadi ideologi kapitalisme," paparnya.

Politisi diharapkakan mampu menjadi relasi budaya bangsa "Gotong Royong", bukan malah ajang jual beli suara. Nantinya, politik kebangsaan berjalan tanpa kepentingan kelompok dikekuasaan. (ls/red)

Editor : Redaksi

Politik dan Pemerintahan
Berita Populer
Berita Terbaru