Intelektual Pemberontak Roda Pembangunan Lumajang

Penulis : lumajangsatu.com -
Intelektual Pemberontak Roda Pembangunan Lumajang

Lumajang memiliki sejarah panjang perlawanan terhadap para kaum penindas rakyat. Bahkan, sejumlah peristiwa heroik belum banyak tercatat oleh pemangku kebijakan dan penguasa di kaki Gunung Semeru, bahkan kisah kepahlawanan di Bumi Lumajang hanya bisa jadi sebuah Dogeng, cerita, legenda atau kisah tutur tinular. Ya, ini ironi sebuah kota dengan nilai sejarah yang besar dan tinggi, didiamkan atau memang mendiamkan diri.

Penulis kerap mendengar kata "Pemberontak", bagi setiap anak Lumajang yang memiliki intelektualitas dalam berjuang dari kekejaman dan penidasan dari golongan sendiri atau dari luar. Bahkan, mereka bergerak disaat penguasa lalai dan bersekutu dengan kaum kapitalis modern.

Kata Pemberontak muncul pertama kali dilayangkan pada putra daerah Lamajang di jaman Majapahit berdiri saat kekuasaan dipegang Jayanegera. Adipatih Nambi yang saat itu menjabat orang nomor dua di Kerajaan Majapahit hendak menjengguk orang tuanya yang sakit di Lamajang. Ternyata difitnah dengan dituduh hendak memberontak oleh Ramapatih, disampaikan ke Raja Jayanegara. Kemudian, sang raja kedua Majapahit menuduh Nambi sang pemberontak mulai dari pengikutnya hingga rakyatnya. 

Jayangera dan Ramapatih menyiapkan puluhan ribu pasukan untuk menyerang ke Lumajang, cap pemberontak memantik emosi sang Adipatih Nambi. Akibatnya perang panjang Lamajang melawan Majapahit tak terelakan, hingga patih Nambi tewas.

Lumajang juga memiliki cerita sejarah perjuangan Kemerdekaan, yang mana tokoh seperti Kyai Ilyas, Kyai Ghozail, M. Seruji, Kamari Sampurno, Imam Sujai'i adalah sosok pejuang Lumajang melawan Belanda yang agresi di kaki Gunung Semeru. Mereka melawan belanda yang hendak menjajah kembali Indonesia khususnya Lumajang. Oleh Kompeni belanda para pahlawan lokal kita dianggap pemberontak, bahkan perjuangan mereka bisa dilihat di Buku DHC 45.

Kisah heroik kepahlawanan tokoh-tokoh Lumajang ini, jarang kita dengar. Bahkan, banyak sekali anak muda yang tidak tahu bagaimana kebesaran dari sejarah pendahulunya yang merupakan sosok pejuang untuk memerdekakan rakyatnya dari penindasan. Dulu mereka dikenal sebagai pemberontak, bukan pahlawan yang kini oleh sebagian kelompok masyarakat teringat dengan ke-ikhalasan dalam berjuang.

Di cabang olah raga, Lumajang punya Ester Suma yang merupakan atlet lari jarak menengah dan jauh bisa mengharumkan nama bangsa dan Lumajang dieven ASEAN Games.Bahkan, para atlet yang meraih mendali di PORPROV 2015 di Banyuwangi, hingga Lumajang nyaris masuk 10 besar tingkat Jawa Timur meski dengan Anggaran yang dianggap masih sangat wajar dibanding Jember dan Probolinggo lebih besar. Jiwa semagat perjuangan atlet Lumajang bukan hanya soal materi, tapi identitas sebagai pahlawan dan pemberontak dari tatanan ketidak nyamanan.

Meminjam pendapat dari Edwar W. Said, Bungkam pada Penindasan adalah Penghianatan Terbesar Kaum Intelektual. para kaum terpelajar di Lumajang senantiasa bergerak bila dalam tatanan kemasyarakat ada sebuah penindasaan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, budaya dan dalam hal. Aktivis Muda Soe Hok Gie yang meninggal dunia saat menjadi Gunung Semeru, sosok yang melontarkan gagasan kritis dan mau membongkar represif penguasaa dizamannya. Dia mamu keluar dari seorang mainstream intelektual saat ini yang lebih melakukan persekutuan dengan  kekuasan.

Cherrie Moraga melihat sosok pejuang yang kerap disebut pemberontak, karena memiliki energi yang sangat besar dalam dirinya baik dalam pengalaman dan pendidikan. Dipun menyatakan "Aku tidak memunyai Imajinasi katamu, salah. Aku tidak mempunyai bahasa, bahasa untuk menjernihkan perlawananku terhadap yang terpelajar".  Kata pemberontak digunnakan oleh kaum penguasa terpelajar terhadap sebuah kebenaran perjuangan. Sehingga, kata-kata pemberontak diucapkan oleh para kaum intelektual terpelajar yang ada ditubuh penguasa, padahal mereka adalah pelayan masyarakat.

Kisah heroik kekinian yang mudah diingat, perlawanan masyarakat Wotgalih dalam menolak pasir besi, pilkades tertunda, pembangunan jalan Lumajang-Tempeh, penghijauan mengembalikan hutan Lemongan, Hutan Sumber Mujur, bersih sungai Kali Asem, perjuangan sejarah Situs Biting dan Museum, Supporter PSIL The Bless Mania, serta Komunitas anak muda yang kini bergerak dalam pengawalan sosial kemasyarakatan. Kisah ini, bila tidak dicatat dalam kemajuan pembangunan Lumajang, hanya sebuah dogeng atau cerita tutur tinular.

Lumajang memang harus dibangun bersama-sama, bukan harus menjadi  paling depan dalam pembangunan mensejahterakan dan memartabatkan rakyatnya. Bupati, As'at Malik dan Ketua DPRD, Agus Wicaksono sudah memperlihatkan bagaimana dalam pembangunan Lumajang harus dijadikan bersama-sama. Bukan lagi soal siapa yang berkuasa, memimpin dan menang di Pilkada lalu. Keduanya, melupakan apa yang dikatakan sebuah kompetisi politik. Marilah segenap elemen masyarakat Lumajang bersatu menjadi terbaik. Bukan terbaik bersatu, jika masih ada dusta diantara kita. Lumajang milik bersama. (ls/red)

Editor : Redaksi