Founder dan Kepala Sekolah Perempuan Jember

Kekerasan Seksual Nenek Lumajang Sebabkan Trauma Fisik dan Mental

lumajangsatu.com
Wiwin Riza Kurnia Founder dan Kepala Sekolah Perempuan Jember

Lumajang - Wiwin Riza Kurnia (Founder dan Kepala Sekolah Perempuan Jember) angkat bicara soal kasus pemerkosaan sang cucu, Riduwan (20) pemuda asal Maluku yang pulang kampung dan memperkosa neneknya KY (62).Menurut Komnas Perempuan, rata-rata 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia setiap harinya. Hampir 70 persen dari kasus kekerasan terhadap perempuan, baik fatal maupun nonfatal, dilakukan oleh anggota keluarga atau pasangan (pacar atau suami).

Meski konsekuensi dari setiap kejahatan dan pengalaman korban berbeda, ada bukti yang berkembang tentang hubungan antara korban kekerasan seksual dengan kesehatan mental dan fisik. Cedera fisik dan kematian adalah konsekuensi paling jelas dari kasus kekerasan.

Baca juga: Dam Boreng Hampir Rampung, Air Akan Aliri Ratusan Hektar Persawahan di Lumajang

Berbagai macam reaksi dapat mempengaruhi korban. Efek dan dampak kekerasan seksual (termasuk perkosaan) dapat mencakup trauma fisik, emosional, dan psikologis.

Apa yang menyebabkan trauma?
Ketika bahaya fisik mengancam otoritas tubuh kita, kemampuan untuk melarikan diri adalah suatu naluri yang tidak dapat dikendalikan untuk dapat bertahan hidup. Kondisi ini termasuk tubuh mencurahkan begitu banyak energi untuk mengeluarkan reaksi kabur atau balik melawan.

BACA JUGA : 

Sirkuit pendek ini memantul dalam tubuh dan pikiran seseorang, yang dapat menyebabkan syok, disosiasi, dan berbagai jenis lain dari tanggapan bawah sadar sementara aksi kekerasan terjadi.Korslet ini tetap berada dalam individu tersebut lama setelah kekerasan itu berakhir, dan dapat hinggap melekat dalam pikiran, tubuh, dan jiwa seseorang dalam berbagai cara.

Trauma yang dialami korban kekerasan seksual sejumlah efek tidak selalu mudah untuk ditangani, tetapi dengan bantuan yang tepat dan dukungan, mereka dapat dikelola dengan baik. "Mempelajari lebih dalam dapat membantu menemukan bentuk perawatan terbaik untuk memulai proses penyembuhan" tandas Wiwin

Korban akan Despresi ada dua jenis penyalahan diri, berdasarkan tindakan dan karakter. Penyalahan diri berdasarkan tindakan merasa mereka seharusnya dapat melakukan sesuatu yang berbeda, yang dapat menghindari mereka dari kejadian naas tersebut, dan karena itu merasa bersalah.

Penyalahan diri berdasarkan karakter terjadi saat ia merasa ada sesuatu yang salah dalam diri mereka, yang menyebabkan mereka merasa layak untuk menjadi korban.Depresi adalah gangguan mood yang terjadi ketika perasaan yang diasosiasikan dengan kesedihan dan keputusasaan terus terjadi berkelanjutan untuk jangka waktu yang lama hingga mengganggu pola pikir sehat.

Lima cara depresi dan menyalahkan diri dapat merusak seseorang: minimnya motivasi untuk mencari bantuan, kurang empati, mengisolasi diri dari orang lain, kemarahan, dan agresi termasuk melukai diri sendiri dan/atau upaya bunuh diri.

Sindrom trauma perkosaan (Rape Trauma Syndrome/RTS) adalah bentuk turunan dari PTSD (gangguan stres pasca trauma), sebagai sesuatu kondisi yang mempengaruhi korban perempuan,muda dan dewasa dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual, termasuk perkosaan, dipandang oleh wanita sebagai situasi yang mengancam nyawa, memiliki ketakutan umum akan mutilasi dan kematian sementara serangan terjadi.

Segera setelah perkosaan, penyintas sering mengalami syok. Mereka cenderung merasa kedinginan, pingsan, mengalami disorientasi (kebingungan mental) gemetar, mual dan muntah. Pasca insiden, umum bagi korban mengalami insomnia, kilas balik, mual dan muntah, respon mudah kaget dan terkejut, sakit kepala tensi, agitasi dan agresi , isolasi, dan mimpi buruk, serta gejala disosiatif atau mati rasa dan peningkatan rasa takut dan kecemasan.

Baca juga: Diterjang Ombak, Akses Jalan Alternatif Pasirian-Tempursari Lumajang Putus Total

Meski beberapa dari gejala ini dapat mewakili deskripsi gejala yang timbul pada veteran perang, korban perkosaan dan kekerasan seksual mengalami masalah unik setelah serangan, seperti nyeri bagian perut atau punggung bawah, iritasi tenggorokan akibat oral seks paksaan, masalah ginekologis (menstruasi berat dan tidak teratur, keputihan atau keluar cairan lain dari vagina, infeksi kandung kemih, penyakit kelamin menular, hingga kehamilan tidak diinginkan  yang diikuti oleh preeklampsia), berperilaku seperti kekerasan tidak pernah terjadi (disebut penolakan), ketakutan akan seks, bahkan kehilangan gairah dan minat seksual.

Sangat penting untuk dicatat bahwa RTS adalah tanggapan alami dari seseorang yang sehat secara psikologis dan fisik terhadap trauma perkosaan, jadi tanda dan gejala di atas bukan merupakan representasi dari gangguan atau penyakit kejiwaan.


Disosiasi adalah salah satu dari banyak mekanisme pertahanan yang digunakan otak untuk mengatasi trauma kekerasan seksual. Banyak pakar percaya bahwa disosiasi ada pada sebuah spektrum. Di salah satu ujung spektrum, disosiasi dikaitkan dengan pengalaman melamun. Di ujung bersebrangan, disosiasi kompleks dan kronis dapat membuat penderitanya sulit berfungsi dalam dunia nyata.

Disosiasi sering digambarkan sebagai pengalaman “ruh keluar dari tubuh”, di mana seseorang merasa tidak terikat dengan jasmaninya, merasa sekitarnya tampak tidak nyata, tidak terlibat dengan lingkungan tempat ia berada seperti sedang menonton kejadian tersebut di televisi.

Sebagian pakar kesehatan mental percaya bahwa penyebab gangguan disosiatif adalah trauma kronis yang terjadi saat masa kanak-kanak. Individu yang mengalami kejadian traumatik akan sering mengalami beberapa derajat disosiasi amnesia sebagian, berpindah-pindah tempat dan memiliki identitas baru, hingga yang terparah, kepribadian ganda di saat mengalami kejadian tersebut atau berhari-hari, minggu setelahnya.

Mungkin menakutkan menyaksikan seseorang yang mengalami pemisahan diri dari dunia nyata (untuk dibedakan dengan isolasi), namun kondisi ini merupakan reaksi alami terhadap trauma.

Baca juga: Maling Motor Asal Lumajang Beraksi 15 Lokasi di Kabupaten Jember

Wanita yang memiliki dyspareunia mungkin mengalami rasa sakit superfisial dalam vagina, klitoris, atau labia (bibir vagina), atau rasa sakit yang lebih melumpuhkan saat penetrasi semakin dalam atau dorongan penis.

Dyspareunia disebabkan oleh beragam kondisi, salah satunya termasuk trauma dari riwayat kekerasan seksual. Adanya riwayat kekerasan seksual pada wanita yang memiliki dyspareunia dikaitkan dengan peningkatan stres psikologis dan disfungsi seksual, namun tidak ditemukan kaitan antara dyspareunia dengan riwayat kekerasan fisik.

Beberapa wanita dapat mengalami pengetatan ekstrim pada otot vagina saat penetrasi, sebuah kondisi yang disebut vaginismus

Ketika seorang wanita memiliki vaginismus, otot-otot vaginanya meremas atau mengejang dengan sendirinya saat sesuatu memasuki dirinya, seperti tampon atau penis — bahkan saat pemeriksaan panggul rutin oleh ginekolog. Hal ini dapat sedikit terasa tidak nyaman atau sangat menyakitkan.

Seks yang menyakitkan sering menjadi pertanda awal seorang wanita mengidap vaginismus. Rasa sakit yang dialami hanya terjadi saat penetrasi. Biasanya akan menghilang setelah penarikan, namun tidak selalu. Wanita yang memiliki kondisi ini menggambarkan rasa sakitnya sebagai sensasi robekan atau seperti pria menghantam dinding.

Dokter tidak tahu persis apa yang menyebabkan vaginismus. Namun, dugaan biasanya terkait dengan kecemasan atau ketakutan ekstrim untuk berhubungan seks termasuk dari trauma riwayat kekerasan seksual. Akan tetapi, tidak jelas mana yang datang pertama kali, vaginismus atau kecemasan. (ind/ls/red)

Editor : Redaksi

Politik dan Pemerintahan
Berita Populer
Berita Terbaru