KH Wahab Chasbullah, Pendiri NU yang Lebih Banyak Berbuat Dibanding Berbicara

lumajangsatu.com

Baca juga: Denny Caknan Sukses Menghibur Pendukung Paslon 02 Indah-Yudha di Stadion Semeru Lumajang

Lumajang (lumajangsatu.com) - Di kalangan warga Nahdliyyin (NU) dikenal adanya tiga (3) kiai serangkai: KH Hasyim Asy'ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan KH Bisri Syansuri. Ketiganya penggagas, pendiri, dan rais am pertama PBNU. Ketiganya pula memegang jabatan rais am hingga meninggal dunia. Bahkan, Kiai Hasyim diberi gelar Rais Akbar. 

KH Hasyim Asy'ari (Pondok Tebuireng) adalah rais am pertama, posisinya digantikan KH Abdul Wahab Chasbullah (Pondok Tambakberas Jombang) dan yang ketiga adalah KH Bisri Syansuri, pendiri dan pimpinan Pondok Denanyar, Jombang. 

KH Abdul wahab Chasbullah--yang akrab dipanggil Kiai Wahab--bisa dikatakan merupakan implementator dan administrator dari gagasan dan garis perjuangan NU yang digagas KH Hasyim Asy'ari. Antara kedua kiai ini dwitunggal yang sulit dikotomikan dalam perspektif pemikiran keagamaan dan tindakan keorganisasian. Kiai Wahab yang gigih dan konsisten memperjuangkan kepentingan mahzab keagamaan kaum Islam Tradisional di Indonesia tak mungkin dilepaskan dari Kiai Hasyim. Misalnya, dalam pendirian NU di Surabaya pada 31 Januari 1926, Kiai Wahab adalah administrator tangguh yang menggalang dan mengorganisasi para kiai Islam Tradisional berpaham Ahlussunnah Wal Jamaah di Pulau Jawa dan Madura, menghadapi serbuan pemikiran mahzab Moderisme Islam dan puritan yang mulai berkembang di kawasan Timur Tengah di akhir abad 19. 

Sebagai ketua Komite Hijaz, dia membawa pesan ulama-ulama Islam Tradisional di Nusantara tentang diizinkan dan diberikannya perlindungan praktek keagamaan bermahzab di Tanah Suci Makkah dan Madinah bagi umat Islam oleh otoritas kekuasaan Bani Ibnu Saud yang belum lama berkuasa di Arab Saudi. Komite Hijaz yang dipimpin Kiai Wahab dan Syaikh Ghanaim berhasil mengegolkan misinya dengan paripurna.

Sebagai ulama yang lebih banyak berbuat, bertindak dibanding berbicara, Kiai Wahab sekalipun berpikiran modern, tapi tak pernah meninggalkan nilai-nilai dan akar Tradisionalisme Islam di Nusantara dari 4 mahzab (Syafi'i, Maliki, Hambali, dan Hanafi) yang diikuti dan diyakini sebagian besar umat Islam Nusantara. 

Menurut Greg Fealy (2003), Kiai Wahab adalah penggerak utama pembentukan jam'iyyah NU. Sejak sebelum kelahiran NU di Surabaya pada 31 Januari 1926, Kiai Wahab pada 1924 juga mengusulkan perlunya dibentuk semacam perhimpunan ulama untuk memberikan respon yang lebih terkoordinasi, terorganisasi, dan berkelanjutan atas serangan-serangan kalangan Modernis. 

Gagasan tersebut belum memperoleh restu dari Kiai Hasyim, mengingat pendiri Pondok Tebuireng Jombang itu tak menginginkan terjadinya pembelahan yang lebih mendalam antarumat Islam Indonesia. Menyadari bahwa tanpa restu dan legitimasi Kiai Hasyim, kecil kemungkinan pembentukan organisasi wadah ulama Islam Tradisional bakal meraih sukses, Kiai Wahab sadar dan sabar bahwa gagasannya tak mungkin bisa diwujudkan dalam tempo cepat. 

Menyadari bahwa serangan dan kritikan dari kalangan modernis makin kencang dari waktu ke waktu, gagasan Kiai Wahab untuk pembentukan organisasi yang mewadahi dan mengonsolidasikan kekuatan kaum ulama Islam Tradisional Indonesia memperoleh reasoning dan legitimasinya. Kiai Hasyim memberikan restu dan legitimasi moral dan Kiai Wahab diposisikan sebagai Katib Syuriah PBNU yang pertama. 

Dalam buku KH Wahab Chasbullah, Biografi Singkat 1888-1971, yang ditulis Muhammad Rifai (2010), antara lain disebutkan bahwa meskipun hanya bertindak sebagai Katib Syuriah, nafas pergerakan NU hampir tak bisa terlepas dari peran serta Kiai Wahab. Menurut Idham Khalid, Kiai Wahab berkeinginan menjadikan NU sebagai sebuah pesantren, yakni tempat beribadh, menuntut ilmu, bergotong royong, dan mengabdikan dirinya kepada masyarakat dengan menyumbangkan karya- karyanya yang bermanfaat. 

"Kiai Wahab merupakan wujud NU dalam praktek. Suatu kombinasi integral antara ketakwaan, keilmuan, akhlak, dedikasi, dan karya baik besar maupun kecil. Organisasi ini lahir dari aspirasi pesantren, di antara kiai, dan di antara santri- santrinya yang terpencil jauh dari jangkauan penguasa dan pemimpin politik. Karena itu, kelahirannya tak menggetarkan kaum pergerakan serta politisi," tulis Muhammad Rifai. 

Bagaimana peran dan kiprah politik Kiai Wahab perjalanan politik NU (Partai NU)? Dalam buku "Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967" yang ditulis Greg Fealy (2003), jelas-jelas disebutkan bahwa tokoh yang sangat penting dalam kampanye penarikan NU dari Partai Masyumi adalah Abdul Wahab Chasbullah. Sebagai pejuang yang gigih membela kepentingan umat Islam Tradisional di Indonesia dan membentengi otoritas ulama, Kiai Wahab memandang peminggiran NU dalam Masyumi sebagai pengulangan serangan kaum Modernis yang pernah terjadi pada 1920-an dan awal 1930-an. 

"Pada masa itu, Wahab sebagai kiai muda, telah sebagai arsitek yang merancang tanggapan-tanggapan ulama terhadap ancaman modernisme. Kini, sebagai rais am, Kiai Wahab bertekad mengerahkan umat Islam Tradisional untuk mempertahankan kepentingan mereka. Tekad Wahab diperkuat ketersinggungan pribadinya atas langkah-langkah yang diambil Masyumi. Sebagai Ketua Majelis Syuro, dia menolak keras anggaran dasar baru yang mengurangi peranan politiknya, suatu langkah yang menurutnya bertujuan membatasi campur tangan yang kerap dilakukannya terhadap pengambilan keputusan dewan pengurus (DPP Masyumi)," tulis Greag Fealy. 

Langkah dan keputusan Kiai Wahab yang menilai NU lebih baik mufaraqah dari Masyumi pada awal 1950-an didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman yang kuat atas potret sosiologis, politik, kultural, dan psikologis warga NU. Sebagai ulama yang berakar urat dari bawah, bersifat populis, dan seringkali bersentuhan kalangan akar rumput, Kiai Wahab mampu memotret secara pas dan presisi kegelisahan umat Islam Tradisional atas polemik dan tarik-menarik antarunsur di Masyumi, terutama antara kalangan Islam Tradisional dengan Islam Modernis. 

"Sebagai politisi ulama, Kiai Wahab percaya bahwa dengan basis dukungan massanya NU mampu menjadi kekuatan politik besar. Jika hal itu tak dapat dicapai melalui Masyumi, maka NU harus menciptakan partainya sendiri. Kiai Wahab mulai tak suka kepada Natsir (Ketua Umum DPP Masyumi) setelah tokoh ini, di depan umum, mendebat pandangannya tentang hukum Islam. Meskipun Kiai Wahab adalah seorang yang ahli dalam berdebat, dia merasa tersinggung karena seseorang yang lebih muda dengan pendidikan utama sekuler berani menentang tafsiran- tafsirannya," kata Greg Fealy dalam bukunya. 

Keyakinan Kiai Wahab atas potensi politik dari waktu ke waktu makin kokoh dan mengental. Insting dan intuisi politiknya menyatakan bahwa NU sebenarnya memiliki potensi kekuatan politik luar biasa. Kiai Wahab mulai tak sabar dengan sikap ekstra hati-hati yang ditunjukkan rekan-rekannya menyikapi sikap dan langkah politik ke depan NU: Apakah tetap bergabung ke Masyumi atau mufaraqah dengan mendirikan partai baru. 

Pada muktamar NU tahun 1950, Kiai Wahab menegaskan perlunya NU melakukan penarikan diri dari Masyumi. Dengan kelugasan dan penuh semangat, Kiai Wahab menyampaikan pandangan kepada utusan muktamar: Banyak pemimpin-pemimpin NU di daerah-daerah dan juga di pusat yang tak yakin akan kekuatan NU, mereka lebih meyakini kekuatan golongan lain. Orang-orang ini terpengaruh bisikan orang lain yang menghembuskan propaganda agar orang NU tidak yakin akan kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan NU ibarat senjata adalah meriam, betul-betul meriam. Tapi digoncangkan hati mereka oleh propagandanya... gelugu alias batang kelapa sebagai meriam tiruan...! Pemimpin NU yang tolol itu tidak sadar akan siasat lawan dalam menjatuhkan NU melalui cara membuat pemimpin NU ragu-ragu akan kekuatan sendiri.

Di bawah kendali utuh, keberanian luar biasa, dan legitimasi sosial keagamaan dan sosial politik yang kukuh dari Kiai Wahab, pada 31 Juli 1952, NU menyatakan keluar dan berpisah dengan Masyumi dan menjadikan NU sebagai parpol mandiri. Hal itu sejalan dengan keputusan muktamar Palembang. 

Awal menjadi parpol, stok SDM berkualitas di ranah politik oleh NU sangat minim. Pola politik outsourching telah diterapkan Kiai Wahab dalam konteks pengisian jabatan-jabatan politik-pemerintahan sekiranya Partai NU memperoleh suara signifikan pada Pemilu 1955. 

Dalam konteks ini, Kiai Wahab sebagaimana ditulis Greg Fealy, mengatakan, "Jika saya membeli sebuah mobil baru, penjualnya tak bertanya: 'Pak, bapak bisa menyetir?' Pertanyaan semacam itu tak perlu, karena jika saya tidak bisa menyetir saya dapat memasang iklan di koran 'Dicari Sopir'. Tidak bisa diragukan, akan segera ada antrean calon (sopir) di depan pintu (rumah) saya.". (beritajatim.com/red)

Editor : Redaksi

Politik dan Pemerintahan
Berita Populer
Berita Terbaru