Gunung Semeru terletak di wilayah administrasi Kabupaten Lumajang, dengan posisi geografis antara 8°06' LS dan 120°55' BT. Gunung Semeru atau Sumeru adalah gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa, dengan puncaknya Mahameru, 3.676 meter dari permukaan laut (mdpl). Kawah di puncak Gunung Semeru dikenal dengan nama Jonggring Saloko (Wikipedia bebas).
Penelitian pertama kali tahun 1838 oleh Clignet seorang ahli geologi berkebangsaan Belanda dengan melakukan pendakian dari sebelah barat daya lewat Widodaren. Legenda gunung Semeru.
Baca juga: Asosiasi BPD se-Lumajang Bertemu H. Rofiq Anggota DPRD Jatim
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa yang ditulis pada kitab kuna Tantu Pagelaran yang berasal dari abad ke-15, pada dahulu kala Pulau Jawa mengambang di lautan luas, terombang-ambing dan senantiasa berguncang. Para Dewa memutuskan untuk memakukan Pulau Jawa dengan cara memindahkan Gunung Meru di India ke atas Pulau Jawa.
Dewa Wisnu menjelma menjadi seekor kura-kura raksasa menggendong gunung itu dipunggungnya, sementara Dewa Brahma menjelma menjadi ular panjang yang membelitkan tubuhnya pada gunung dan badan kura-kura sehingga gunung itu dapat diangkut dengan aman.
Dewa-Dewa tersebut meletakkan gunung itu di atas bagian pertama pulau yang mereka temui, yaitu di bagian barat Pulau Jawa. Tetapi berat gunung itu mengakibatkan ujung pulau bagian timur terangkat ke atas. Kemudian mereka memindahkannya ke bagian timur pulau Jawa. Ketika gunung Meru dibawa ke timur, serpihan gunung Meru yang tercecer menciptakan jajaran pegunungan di pulau Jawa yang memanjang dari barat ke timur. Akan tetapi ketika puncak Meru dipindahkan ke timur, pulau Jawa masih tetap miring, sehingga para dewa memutuskan untuk memotong sebagian dari gunung itu dan menempatkannya di bagian barat laut. Penggalan ini membentuk Gunung Pawitra, yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Pananggungan, dan bagian utama dari Gunung Meru, tempat bersemayam Dewa Shiwa, sekarang dikenal dengan nama Gunung Semeru.
Pada saat Sang Hyang Siwa datang ke pulau jawa dilihatnya banyak pohon Jawawut, sehingga pulau tersebut dinamakan Jawa. Lingkungan geografis pulau Jawa dan Bali memang cocok dengan lambang-lambang agama Hindu. Dalam agama Hindu ada kepercayaan tentang Gunung Meru, Gunung Meru dianggap sebagai rumah tempat bersemayam dewa-dewa dan sebagai sarana penghubung di antara bumi (manusia) dan Kayangan.
Banyak masyarakat Jawa dan Bali sampai sekarang masih menganggap gunung sebagai tempat kediaman Dewata, Hyang, dan mahluk halus. "Ajang" PeribadatanDan Menuntut Ilmu Pengetahuan. Para pendeta dan cendikiawan melakukan persembahyangan dan olah diri untuk menuntut ilmu pengetahuan di Gunung semeru sdh sejak masa Prasejarah. Mereka mempercayai bahwa Gunung Semeru adalah tempat berastana roh suci. Keyakinan akan suatu tempat semakin tinggi semakin suci berkembang pada masa Prasejarah.
Menurut Ahli Arkeologi spesialisasi Prasejarah Gunadi Kasnowihardjo bahwa Kepercayaan tempat tinggi terkait dengan Kepercayaan Mountain Of God (Aries Purwantiny, 2012:12). Sedangkan Masa perkembangan agama Hindu Bahwa Gunung Semeru adalah simbol Acala atau simbol Lingga permanen yang tidak dapat dipindahkan dan merupakan astana Dewa Acalapati yang merupakan simbol dari Dewa Siwa. Banyaknya yang menganut aliran Siwa dihubungkan dengan keaktifan gunung Semeru,sehingga masa perkembangan Hindu bangunan persembahyangan dan pahatan pada bangunan diperuntukan Dewa perusak tersebut yang fungsinya sebagai penolak bala.
Tetapi keaktifan Gunung Semeru yang terus berlanjut sampai sekarang menyebabkan banyaknya bukti Arkeologi yang hancur bahkan hilang.
Baca juga: MPM Desak BK DPRD Segera Clearkan Beredarnya Foto Mesra Mirip Ketua Dewan Lumajang
Bukti Arkeologis berkembangnya Tradisi Megalithik Pada Masa Prasejarah banyak ditemukan di lereng Gunung Semeru di daerah Candipuro, Pasrujambe, Senduro dan Gucialit, Antara lain:
1.Bangunan Berundak yang digunakan sebagai media persembahan bagi roh leluhur.Bangunan berundak ini adalah duplikasi gunung atau bangunan bertangga di mana pada puncak bangunan adalah tempat yang paling suci.
2.Menhir yaitu media persebahan bagi roh leluhur yang berbentuk Batu tegak.
3.Lumpang Batu sebagai simbol kesuburan, keyakinan karena material yang dikeluarkan Gunung Semeru merupakan berkah bagi petani, serta hasil tambang pasir besi yang sangant bermanfaat bagi masyarakat sejak masa lampau.
Baca juga: KPU Mulai Distribusikan Logistik Pilkada Lumajang 2024
Gunung Semeru merupakan sarana peribadatan dan pembelajaran bagi para pendeta dan cendikiawan dibuktikan dengan Prasasti antara lain :
1.Prasasti Ranu Kumbolo yang berangka tahun 1162 M dan 1185 m disebutkan bahwa Raja Kameswara (Raja Kediri) pernah melakukan Tirtayatra atau Ziarah ke tempat-tempat suci. Ranu Kumbolo adalah sebuah danau yang terletak di Lereng Gunung Semeru, Prasasti ini terbuat dari batu andesit dan menggunakan huruf Jawa Kuno.
2.Prasasti Tesirejo Pasrujambe yang berangka tahun 1131 S diperkirakan dibuat pada masa kekuasaan Raja Srenggo atau Raja Kertajaya yang merupakan raja terakhir Kerajaan Kediri. isi Prasasti berupa Sengkalan atau Kronogram (kata-kata pendek) seperti menyebutkan nama pendeta dan cendikiawan seperti Bagawa Citragotra, Bagawan Caci, Sang Purusa, Sang Kusika. kemudian menyebutkan para dewa-dewa persembahan seperti Batara Mahisora atau Maheswara, Batara Whisnu, Batara Prtiwi. Juga tempat-tempat yang diperkirakan para pendeta melakukan persebahyangan atau pembelajaran contoh Rabut Macan Petak (Bukit Macan Petak), Rabut Walangtaga (Bukit Walangtaga), Rabut Liwa (Bukit Liwa).
Penyebutan kata "Lumajang" berdasarkan etimologis yang berkembang di masyarakat yaitu Lumah dari kata Lemah artinya tanah atau dan ajang dari kata wejang adalah nasehat yang diartikan bahwa Lumajang adalah tempat memberi wejangan atau tempat berguru. Selain itu disebutkan juga bahwa Lumah diartikan sebagai rumah dan jang : Yang : Hyang artinya Dewa sehingga disebut Rumah Para Dewa. Penyebutan itu berkaitan dengan Gunung Semeru yang memiliki arti penting bagi masyarakat untuk peribadatan dan tempat menuntut ilmu pada masa Prasejarah hingga sekarang. (Penulis Aries Purwantiny, Seorang Arkeolog yang kini Bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lumajang)
Editor : Redaksi