Salim Kancil Pejuang Jiwa Marhaenisme Soekarno Penguncang Dunia

lumajangsatu.com

Lumajang (lumajangsatu.com) - Salim Kancil adalah sosok petani yang tidak menonjol di Desa Selok Awar-awar Kecamatan Pasirian. Namun, setelah lahan oloran yang sebelumnya rawa menjadi sawah hasil kerjasama dengan pemilik diganggu tambang illegal pasir pesisir oleh sang Kades.

Salim Kancil tiba-tiba menjadi seorang aktivis dalam memperjuangkan hak hidupnya dan menjadi seorang penolak tambang yang idealis. Salim kancil petani yang buta huruf, namun untuk memperjuangan hidupnya sebagai warga negara tak lepas dari sosok Presiden RI pertama Soekarno.

Baca juga: Lumajang Sharing Peningkatan Kapasitas Perhutanan Sosial Bersama Pemkab Garut dan Madiun

"Bapak tidak sekolah, tapi dimemiliki jiwa perjuangan pak Soekarno yang dia sebelum Bung Karno," ujar Tija, istri Salim Kancil ditemui dirumahnya.

Sosok soekarno sudah mendarah daging dalam setiap lakunya Salim Kancil sebagai sosok petani yang disebut Bung Karno Marhaen. Bahkan, Soekarno melihat rakyat Indonesia jiwa Marhaenisme, sosok petani yang sederhana dalam memperjuangkan hak hidupnya di masa penjajaran kaum kapitalis VOC.

"Bapak bilang, kalau yang diperjuangkan juga dilakukan Bung Karno dan Orang Indonesia akan tahu manfaat perjuanganya," jelas Tija yang mengaku keyakinan untuk berjuang suaminya sudah tidak bisa dihentikan lagi.

Untuk memperjuangkan hak hidup dari penindasan tambang pasir illegal dengan dikuasi birokrat kapitalis sang kades dibelakangnya ada kelompok keamanan. Ternyata, tak membuat ciut nyali dari Salim Kancil bersama kawan-kawannya.

"Bapak sering mengeluh, sebagai orang kecil yang sering dipingpong dalam perjuangannya mengadu. Namun, dia memiliki keyakinan bahwa perjuanganya akan dikenang oleh bangsa Indonesia sebagai orang kecil memperjuangkan kemerdekaan sebagai warga negara di negeri yang sudah merdeka," jelas perempuan dengan dua anak itu, mengingat memori dengan suaminya.

Soekarno pernah berkata "Tuhan tidak meroba nasib suatu bangsa, sebelum bangsa itu merubah nasibnya,". Siapa sih tidak mau merubah hidupnya, saat penindasan yang dilakukan penambang illegal minning. Salim melawan bukan takut pada penguasa, dia takut melawan kebenaran.

Salim kancil bukan warga negara yang membangkang pada pemimpinnya. Namun, saat pemimpinya menindas dan menyengsarakan hidupnya, Salim Kancil melawan meski nyawa taruhanya dan siap menjadi santaman tukang pukul sang Kades.

Kini Salim Kancil sudah meninggalkan kita semua. Namun, semangat perjuangannya dalam menuntut hak hidup, akan dikenang oleh Bangsa Ini. Dia melawan karena Benar, Dia dibunuh Karena Benar. Kini menunggu apakah negara benar-benar meneggakan hukum bagi salim kancil si petani Marhaenisme Soekarno.

Baca juga: Lumajang Luncurkan Roadmap Penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium

Bung Karno menyampaikan "Orang tidak bisa mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemanyam di gubuknya si miskin,". Sang proklamator tahu bahwa tuhan selalu berada di orang-orang yang tertindas dan miskin. Karena hanya dijadikan obyek politik, ekonomi serta kekuasaan.

Disadur dari wikidepdia bebas, Marhaenisme adalah ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Untuk masa sekarang, ideologi ini telah berkembang dan dikenal dengan nama Marhaenisme Kekinian[butuh rujukan]. Ideologi ini dikembangkan dari pemikiran presiden pertama Indonesia, Soekarno. Ajaran ini awalnya bermaksud mengangkat kehidupan rakyat/orang kecil. Orang kecil yang dimaksud adalah petani dan buruh yang hidupnya selalu dalam cengkeraman orang-orang kaya dan penguasa.

Marhaenisme pada esensinya adalah sebuah ideologi perjuangan yang terbentuk dari Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa versiBung Karno.

Menurut marhaenisme, agar mandiri secara ekonomi dan terbebas dari eksploitasi pihak lain, tiap orang atau rumah tangga memerlukan faktor produksi atau modal. Wujudnya dapat berupa tanah atau mesin/alat. Dalam konteks modern, kendaraan, perangkat teknologi informasi, alat dapur dan barang elektronik bisa saja diberdayakan dengan tepat guna sebagai modal atau faktor produksi. Meskipun tidak besar, kepemilikan modal sendiri ini perlu untuk menjamin kemandirian orang atau rumahtangga itu dalam perekonomian.

Berbeda dengan kapitalisme, modal dalam marhaenisme bukanlah untuk ditimbun atau dilipatgandakan, melainkan diolah untuk mencukupi kebutuhan hidup dan menghasilkan surplus. Petani menanam untuk mencukupi makan keluarganya sendiri, barulah menjual surplus atau kelebihannya ke pasar. Penjahit, pengrajin atauburuh memproduksi barang yang kelak sebagian akan dipakainya sendiri, walau selebihnya tentu dijual. Idealnya, syarat kecukupan-sendiri ini harus dipenuhi lebih dulu sebelum melayani pasar. Ini artinya ketika buruh, pengrajin atau petani memproduksi barang yang tak akan dikonsumsinya sendiri, ia cuma bertindak sebagai faktor produksi bagi pihak lain, yang menjadikannya rawan untuk didikte oleh pasar atau dieksploitasi. Secara agregat (keseluruhan) dalam sistem ekonomimarhaenisme, barang yang tidak/belum diperlukan tidak akan diproduksi, sebab setiap orang/rumahtangga tentu memastikan dulu profil dan taraf kebutuhannya sendiri sebelum membuat apapun. Inovasi kelahiran produk baru akan terjadi manakala kebutuhannya sudah kongkret betul.

Baca juga: RAKI Lumajang Laporkan Dugaan Pelanggaran Kampanye Paslon 02 Ditempat Ibadah

Cara ini mendorong tercapainya efisiensi, sekaligus mencegah pemborosan sumber daya serta sikap konsumtif. Dan karena hanya difungsikan sekadar menghasilkan surplus, modal yang tersedia juga mustahil ditimbun atau diselewengkan untuk menindas tumbuh-kembangnya perekonomian pihak lain.

Marhaenisme yang dimaksud Soekarno bisa dibandingkan dengan formulasi pendekatan teori kewirausahaan yang baru diperkenalkan pada tahun 70-an oleh David McCleland yaitu hampir 50 tahun kemudian. Bedanya, jika McCleland lebih menekankan opsi pada upaya penanaman virus N.ach (Need for Achievement) atau kehendak untuk maju dari kalangan rakyat atau pengusaha kecil, sehingga notabene didominasi oleh pendekatan fungsional, maka pendekatan Soekarno atas marhaen (petani dan pedagang kecil), justru bersifat struktural, yaitu melalui penanaman sikap progresif revolusioner.[2]

Dalam pidato di depan Sidang PBB, 30 September 1960, Sukarno tegas menyatakan, bahwa Pancasila (baca: Marhaenisme) pada hakekatnya adalah sublimasi dari Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat) dan Manifesto of Communism dari Uni Soviet. Artinya Pancasila justru merupakan alternatif ketiga dari kedua kubu yang bertentangan dalam Perang Dingin di antara Blok Barat dengan Blok Timur saat itu. Secara ideologis, pemikiran Soekarno mirip sekali dengan apa yang dirumuskan oleh Anthony Giddens 20 tahun kemudian, sebagai '"The Third Way.[2](ls/red)

 

Editor : Redaksi

Politik dan Pemerintahan
Berita Populer
Berita Terbaru