Pemberdayaan Perempuan

Wiwin Managemen Sekolah Perempuan Jember Angkat Bicara Soal Psikis Si Korban Pencabulan di Lumajang

lumajangsatu.com
Wiwin Riza Kurnia Founder dan Kepala Sekolah Perempuan Jember

Lumajang (Lumajangsatu.com)-Menurut Komnas Perempuan, rata-rata 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia setiap harinya. Hampir 70 persen dari kasus kekerasan terhadap perempuan, baik fatal maupun nonfatal, dilakukan oleh anggota keluarga atau pasangan (pacar atau suami).

Meski konsekuensi dari setiap kejahatan dan pengalaman korban berbeda, ada bukti yang berkembang tentang hubungan antara korban kekerasan seksual dengan kesehatan mental dan fisik. Cedera fisik dan kematian adalah konsekuensi paling jelas dari kasus kekerasan. Dalam 4 bulan pertama tahun 2019, ada 44 perempuan indonesia, anak remaja dan dewasa, yang tewas di tangan pasangan atau mantan pasangan seksual setelah mendapatkan penganiayaan seksual, tetapi ada konsekuensi lain yang ternyata lebih lazim ditemukan kini semakin diakui.

Baca juga: Dam Boreng Hampir Rampung, Air Akan Aliri Ratusan Hektar Persawahan di Lumajang

Berbagai macam reaksi dapat mempengaruhi korban. Efek dan dampak kekerasan seksual (termasuk perkosaan) dapat mencakup trauma fisik, emosional, dan psikologis.

Wiwin Riza Kurnia (Founder dan Kepala Sekolah Perempuan Jember) angkat bicara soal kekerasan perempuan di Lumajang tentang pencabulan dibawah umur. Sebaiknya ada pendampingan lembaga bantuan perempuan untuk advokasi, biar ada naungan wadah pusat pengaduan.

"Itu masuk undang-undang perlindungan anak, Bkkbn juga harus turut ikut serta dalam penanganan ini.Supaya si korban mendapat pendampingan yang kuat kalau mau naik banding" ujar perempuan berhijab itu saat di hubungi Tim Lumajangsatu.com

Akibatnya lebih dahsyat menyerang psikis korban. Adapun beberapa hal yang akan menjadi momok psikis bagi korban.

"Psikis anak lebih sulit dipulihkan dari pada orang dewasa" tandasnya.

Apa yang menyebabkan trauma?

Ketika bahaya fisik mengancam otoritas tubuh kita, kemampuan untuk melarikan diri adalah suatu naluri yang tidak dapat dikendalikan untuk dapat bertahan hidup. Kondisi ini termasuk tubuh mencurahkan begitu banyak energi untuk mengeluarkan reaksi kabur atau balik melawan. Sirkuit pendek ini memantul dalam tubuh dan pikiran seseorang, yang dapat menyebabkan syok, disosiasi, dan berbagai jenis lain dari tanggapan bawah sadar sementara aksi kekerasan terjadi.

"Korslet ini tetap berada dalam individu tersebut lama setelah kekerasan itu berakhir, dan dapat hinggap melekat dalam pikiran, tubuh, dan jiwa seseorang dalam berbagai cara" Kata Founder dan Kepala Sekolah Perempuan Jember.

Apa yang mendorong terjadinya perilaku seksual menyimpang ini? Bagaimana dampak psikologis anak yang menjadi korban kekerasan seksual biadab itu? Bagaimana upaya memutus kekerasan seksual pada anak-anak kita, generasi peradaban negeri ini? Tulisan ini mengupasnya.

Psikolog besar Amerika, William James meyakini bahwa sesungguhnya manusia memiliki naluri-naluri yang dimiliki hewan plus naluri-naluri yang khas manusia. Dengan adanya naluri-naluri hewan tersebut, manusia bisa mengungkapkan tingkah laku yang biasa dilakukan oleh hewan. Bahkan perilaku tersebut bisa lebih intens dan sistematis dibandingkan hewan. Manusia adalah pemangsa paling hebat yang mampu memangsa sesamanya secara sistematis.

Naluri (maaf) hewan yang tak bisa diatasi itulah yang menyebabkan predator-predator seks tega berbuat bejat terhadap anak-anak. Padahal perbuatan terkutuk tersebut tidak hanya melukai hati (batin) anak-anak),  tetapi juga seisi keluarga, keluarga besar, bahkan masyarakat.

Luka Batin

Anak-anak malang yang mendapat perlakuan biadab tersebut akan mengalami luka batin akut dan fisik yang paling buruk. Kekejaman seksual yang mereka alami, bagaimanapun, akan membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan psikologis dan fisik anak-anak tersebut, khususnya pada saat mereka berkeluarga. Itulah sebabnya, David Field dalam bukunya Family Personalities mengingatkan, anak yang menderita kekejaman seksual cenderung mengalami kesulitan seksual setelah dewasa.

Tak hanya sampai di situ, sejumlah referensi mengungkapkan pengalaman seksual yang buruk dalam keluarga akan membuat mereka ingin balas dendam. Aspek kekejaman seksual bisa menimbulkan trauma yang mendalam pada si korban dan merasakannya sebagai hukuman bila ia tidak bisa menceritakan pengalaman getirnya atau berbuat sesuatu karena pengalaman tersebut. Menurut Field, biasanya mereka akan dibayangi oleh kekejaman-kekejaman sehingga menimbulkan mimpi-mimpi buruk dalam hidupnya.

Anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami betapa hancur perasaan dan betapa kelam hidup mereka. Tak hanya siksaan badan, mereka pun akan mengalami tekanan batin seumur hidup bahkan menjadi manusia terluka sepanjang hidupnya.

Mengingat betapa parah dampak kekerasan/kejahatan seksual terhadap perkembangan psikologis anak yang menjadi korban, penanganan khusus yang komprehensif-holistik-manusiawi menjadi tuntutan, tidak saja bagi anak-anak malang yang menjadi korban tetapi juga bagi si pelaku yang mengidap penyakit psikoseksual (menyimpang).

Di antara sejumlah solusi, penguatan nilai-nilai iman (agama) diyakini bisa memberi andil terhadap sikap tobat orang-orang yang perilaku seksualnya menyimpang. Psikolog-psikolog besar macam Carl Gustav Jung dan Erich Fromm meyakini hal itu. Mereka meyakini ada hubungan yang sangat positif antara agama dan kesehatan jiwa manusia.

Menurut ahli etika Dr. K. Bertens dalam Maria Etty (2004), penderita gangguan jiwa yang berat-termasuk mereka yang mempunyai kelainan seksual (bahkan korban tindakan seksual)-pada hakikatnya adalah manusia-manusia terluka yang tetap dicintai Tuhan (dan harusnya juga sesama).

Oleh sebab itu, mereka perlu dikasihani. Kutukan, disingkirkan, dan bahkan dikebiri belum tentu menjadi solusi arif. Lebih dari itu, mereka harus ‘dimanusiakan’ agar perilaku durjana tak lagi terjadi pada anak-anak generasi peradaban negeri ini. Semoga!

Trauma yang dialami korban kekerasan seksual.

Sejumlah efek di bawah ini tidak selalu mudah untuk ditangani, tetapi dengan bantuan yang tepat dan dukungan, mereka dapat dikelola dengan baik. Mempelajari lebih dalam dapat membantu Anda menemukan bentuk perawatan terbaik untuk memulai proses penyembuhan, bagi Anda maupun orang terkasih.

1. Depresi

Menyalahkan diri sendiri adalah salah satu efek jangka pendek dan jangka panjang paling umum, berfungsi sebagai keterampilan naluriah untuk mengatasi masalah dengan penghindaran yang mengambat proses penyembuhan.

Ada dua jenis penyalahan diri, berdasarkan tindakan dan karakter. Penyalahan diri berdasarkan tindakan merasa mereka seharusnya dapat melakukan sesuatu yang berbeda, yang dapat menghindari mereka dari kejadian naas tersebut, dan karena itu merasa bersalah. Penyalahan diri berdasarkan karakter terjadi saat ia merasa ada sesuatu yang salah dalam diri mereka, yang menyebabkan mereka merasa layak untuk menjadi korban.

Menyalahkan diri sendiri erat kaitannya dengan depresi. Depresi adalah gangguan mood yang terjadi ketika perasaan yang diasosiasikan dengan kesedihan dan keputusasaan terus terjadi berkelanjutan untuk jangka waktu yang lama hingga mengganggu pola pikir sehat.

Normal bagi korban kejahatan merasa sedih, marah, tidak bahagia, dan putus asa. Depresi dan menyalahkan diri sendiri merupakan isu kesehatan mental serius dan tidak menandakan kelemahan, serta bukan pula sesuatu yang diharapkan akan sembuh dengan sendirinya semudah membalikkan telapak tangan. Lima cara depresi dan menyalahkan diri dapat merusak seseorang: minimnya motivasi untuk mencari bantuan, kurang empati, mengisolasi diri dari orang lain, kemarahan, dan agresi— termasuk melukai diri sendiri dan/atau upaya bunuh diri.

2. Sindrom Trauma Perkosaan

Sindrom trauma perkosaan (Rape Trauma Syndrome/RTS) adalah bentuk turunan dari PTSD (gangguan stres pasca trauma), sebagai sesuatu kondisi yang mempengaruhi korban perempuan — muda dan dewasa — dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual, termasuk perkosaan, dipandang oleh wanita sebagai situasi yang mengancam nyawa, memiliki ketakutan umum akan mutilasi dan kematian sementara serangan terjadi.

Baca juga: Diterjang Ombak, Akses Jalan Alternatif Pasirian-Tempursari Lumajang Putus Total

Segera setelah perkosaan, penyintas sering mengalami syok. Mereka cenderung merasa kedinginan, pingsan, mengalami disorientasi (kebingungan mental) gemetar, mual dan muntah. Pasca insiden, umum bagi korban mengalami insomnia, kilas balik, mual dan muntah, respon mudah kaget dan terkejut, sakit kepala tensi, agitasi dan agresi , isolasi, dan mimpi buruk, serta gejala disosiatif atau mati rasa dan peningkatan rasa takut dan kecemasan.

Meski beberapa dari gejala ini dapat mewakili deskripsi gejala yang timbul pada veteran perang, korban perkosaan dan kekerasan seksual mengalami masalah unik setelah serangan, seperti nyeri bagian perut atau punggung bawah, iritasi tenggorokan akibat oral seks paksaan, masalah ginekologis (menstruasi berat dan tidak teratur, keputihan atau keluar cairan lain dari vagina, infeksi kandung kemih, penyakit kelamin menular, hingga kehamilan tidak diinginkan  yang diikuti oleh preeklampsia), berperilaku seperti kekerasan tidak pernah terjadi (disebut penolakan), ketakutan akan seks, bahkan kehilangan gairah dan minat seksual.

Sangat penting untuk dicatat bahwa RTS adalah tanggapan alami dari seseorang yang sehat secara psikologis dan fisik terhadap trauma perkosaan, jadi tanda dan gejala di atas bukan merupakan representasi dari gangguan atau penyakit kejiwaan.

3. Disosiasi

Dalam istilah yang paling sederhana, disosiasi adalah pelepasan dari realitas. Disosiasi adalah salah satu dari banyak mekanisme pertahanan yang digunakan otak untuk mengatasi trauma kekerasan seksual. Banyak pakar percaya bahwa disosiasi ada pada sebuah spektrum. Di salah satu ujung spektrum, disosiasi dikaitkan dengan pengalaman melamun. Di ujung bersebrangan, disosiasi kompleks dan kronis dapat membuat penderitanya sulit berfungsi dalam dunia nyata.

Disosiasi sering digambarkan sebagai pengalaman “ruh keluar dari tubuh”, di mana seseorang merasa tidak terikat dengan jasmaninya, merasa sekitarnya tampak tidak nyata, tidak terlibat dengan lingkungan tempat ia berada seperti sedang menonton kejadian tersebut di televisi.

Sebagian pakar kesehatan mental percaya bahwa penyebab gangguan disosiatif adalah trauma kronis yang terjadi saat masa kanak-kanak. Individu yang mengalami kejadian traumatik akan sering mengalami beberapa derajat disosiasi — amnesia sebagian, berpindah-pindah tempat dan memiliki identitas baru, hingga yang terparah, kepribadian ganda — di saat mengalami kejadian tersebut atau berhari-hari, minggu setelahnya.

Mungkin menakutkan menyaksikan seseorang yang mengalami pemisahan diri dari dunia nyata (untuk dibedakan dengan isolasi), namun kondisi ini merupakan reaksi alami terhadap trauma.

4. Gangguan makan

Kekerasan seksual dapat mempengaruhi penyintasnya dalam berbagai cara, termasuk persepsi diri terhadap tubuh dan otonomi pengendalian diri dalam kebiasaan makan. Beberapa orang mungkin menggunakan makanan sebagai pelampiasan mengatasi trauma, untuk merasa kembali memegang kendali atas tubuhnya, atau mengimbangi perasaan dan emosi yang membuatnya kewalahan. Tindakan ini hanya memberikan suaka sementara, tetapi memiliki kemampuan untuk merusak tubuh dalam jangka panjang.

Ada tiga tipe gangguan makan, yaitu: anorexia nervosa, bulimia nervosa, dan binge eating. Namun demikian, masih mungkin untuk penyintas terlibat dalam gangguan pola makan di luar dari ketiga kondisi ini yang terhitung sama berbahayanya,

Dilansir dari Medical Daily, bulimia dan anoreksia umum ditemukan pada wanita dewasa penyintas kekerasan seksual saat anak-anak. Dalam sebuah studi dari University of Melbourne, peneliti menelaah keterkaitan antara kekerasan seksual saat kanak-kanak (sebelum usia 16 tahun) dan awal dari timbulnya dua gangguan makan ini pada wanita. Terhitung 1,936 partisipan — yang terlibat dalam penelitian berkelanjutan selama 11 tahun — berusia rata-rata 15 -24 tahun, mereka yang mengalami dua atau lebih serangan seksual memiliki peningkatan hampir lima kali lipat menunjukkan sindrom bulimia daripada mereka yang hanya mengalami satu kali kekerasan seksual, dengan peluang 2,5 kali lipat.

5. Hypoactive sexual desire disorder

Hypoactive sexual desire disorder (IDD/HSDD) adalah kondisi medis yang menandakan hasrat seksual rendah. Kondisi ini juga umum disebut apatisme seksual atau keengganan seksual.

HSDD dapat menjadi kondisi primer atau sekunder, yang bisa memberikan perbedaan besar dalam perencanaan pengobatan. Kondisi primer adalah jika seorang individu tidak pernah mengalami atau memiliki hasrat seksual, dan jarang (jika pernah) terlibat dalam hubungan seksual — tidak memulai dan tidak merespon terhadap rangsangan seksual dari pasangannya.

Baca juga: Maling Motor Asal Lumajang Beraksi 15 Lokasi di Kabupaten Jember

HSDD menjadi kondisi sekunder saat orang tersebut memiliki gairah seksual yang normal dan sehat pada awalnya, namun kemudian menjadi tidak tertarik sama sekali dan tidak acuh akibat faktor penyebab lain, misalnya dimunculkan dalam bentuk trauma nyata akibat dari pelecehan seksual. Hubungan seks, untuk para penyintas kasus kejahatan seksual, dapat menjadi sebuah pelatuk yang mengingatkan mereka terhadap peristiwa tersebut dan memunculkan kilas balik serta mimpi buruk — maka dari itu mereka memilih untuk tidak terlibat, dan pada akhirnya kehilangan nafsu seksual seluruhnya.

6. Dyspareunia

Dyspareunia adalah nyeri yang dirasakan selama atau setelah berhubungan seksual. Kondisi ini dapat menyerang pria, namun lebih sering ditemukan pada wanita. Wanita yang memiliki dyspareunia mungkin mengalami rasa sakit superfisial dalam vagina, klitoris, atau labia (bibir vagina), atau rasa sakit yang lebih melumpuhkan saat penetrasi semakin dalam atau dorongan penis.

Dyspareunia disebabkan oleh beragam kondisi, salah satunya termasuk trauma dari riwayat kekerasan seksual. Adanya riwayat kekerasan seksual pada wanita yang memiliki dyspareunia dikaitkan dengan peningkatan stres psikologis dan disfungsi seksual, namun tidak ditemukan kaitan antara dyspareunia dengan riwayat kekerasan fisik.

Beberapa wanita dapat mengalami pengetatan ekstrim pada otot vagina saat penetrasi, sebuah kondisi yang disebut vaginismus.

7. Vaginismus

Ketika seorang wanita memiliki vaginismus, otot-otot vaginanya meremas atau mengejang dengan sendirinya saat sesuatu memasuki dirinya, seperti tampon atau penis — bahkan saat pemeriksaan panggul rutin oleh ginekolog. Hal ini dapat sedikit terasa tidak nyaman atau sangat menyakitkan.

Seks yang menyakitkan sering menjadi pertanda awal seorang wanita mengidap vaginismus. Rasa sakit yang dialami hanya terjadi saat penetrasi. Biasanya akan menghilang setelah penarikan, namun tidak selalu. Wanita yang memiliki kondisi ini menggambarkan rasa sakitnya sebagai sensasi robekan atau seperti pria menghantam dinding.

Dokter tidak tahu persis apa yang menyebabkan vaginismus. Namun, dugaan biasanya terkait dengan kecemasan atau ketakutan ekstrim untuk berhubungan seks — termasuk dari trauma riwayat kekerasan seksual. Akan tetapi, tidak jelas mana yang datang pertama kali, vaginismus atau kecemasan.

8. Diabetes tipe 2

Orang dewasa yang mengalami segala bentuk pelecehan seksual saat masih kanak-kanak berada pada risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan kondisi medis serius, seperti penyakit jantung dan diabetes.

Dalam sebuah penelitian terbitan The American Journal of Preventive Medicine, peneliti menyelidiki hubungan antara pelecehan seksual yang dialami oleh remaja dan diabetes tipe 2. Temuan melaporkan 34 persen dari 67,853 partisipan wanita yang melaporkan mengidap diabetes tipe 2 pernah mengalami kekerasan seksual.

Terkait Undang-Undang

Undang-undang yang baru belum disahkan penghapusan kekerasan seksual.  Itulah yang menyebabkan kasus di Lumajang putusan hakim sangat ringan untuk pelaku pencabulan.

"Kita tidak bisa memperkirakan yang lebih paham itu dari LBH, sedangkan yang mendampingi lebih baik dari KPI" tutupnya.(Ind/red)

Editor : Redaksi

Politik dan Pemerintahan
Berita Populer
Berita Terbaru