Opini

Ayuningtyas Pegiat Sosial dan Pemerhati Perempuan Jember Angkat Bicara Soal Kasus Pencabulan di Lumajang

lumajangsatu.com
Ayuningtyas Saptarini,SH.,MH Pegiat Sosial dan Pemerhati Perempuan Jember.

Lumajang (Lumajangsatu.com)-Di Indonesia, hampir 80% pemerkosaan dilakukan oleh orang yang dekat dengan kita. Seperti kasus pencabulan yang baru-baru ini terjadi di Lumajang. Dialami oleh cucu seorang dokter terkemuka di daerah Lumajang. Pelakunya tak lain juga menantu dari kakek korban. Beberapa hari yang lalu, pengadilan telah memvonis pelaku dengan kurungan 2 tahun penjara. Keluarga korban yang tak terima dengan vonis itu, meminta kejaksaan negeri Lumajang melakukan banding atas kasus tersebut. Polemik RUU PKS  oleh beberapa kalangan dianggap akan meliberalisasi gerakan perempuan, Melegalkan seks bebas. Padahal jika ditelaah, undang-undang itu lebih masif atau lebih intens perhatiannya terhadap konteks kekerasan seksual dan mengatur kekerasan seksual yangg terjadi.

Menurut Ayuningtyas Septarini,SH. MH pegiat sosial dan pemerhati perempuan Jember. Ada asas Lex specialis derogat legi generali, yang mana asas tersebut merupakan penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)

Baca juga: Dam Boreng Hampir Rampung, Air Akan Aliri Ratusan Hektar Persawahan di Lumajang

"Asasnya ga ngawur itu dibikin undang-undang" pungkasnya

Dari pernyataan  tersebut, kenapa harus diberlakukan undang-undang khusus? Karena undang-undang khusus tersebut akan lebih maksimal memberikan perlindungan terhadap korban, juga memberikan hukuman maksimal terhadap pelaku. Namun, berbeda dengan perundang-undangan yang diberlakukan kepada pelaku pencabulan berinisial RBW tersebut, Kasi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Lumajang menyatakan ada 2 pasal dalam kasus tersebut. UU KDRT karena pelaku dan korban masih satu keluarga dan UU perlindungan anak karena korban masih anak-anak.Dalam fakta persidangan,  Pihak jaksa berfikir agar rumah tangga pelaku tetap terjaga dengan baik, maka pasal yang digunakan hanya KDRT dan ingin memberikan efek jera.

Tetapi pegiat sosial dan pemerhati perempuan Jember berpendapat lain. Menurutnya, pelaku bisa dipidana tindak pencabulan dan dijelaskan di pasal 81 yg melanggar 6D yaitu melakukan kekerasan seksual terhadap anak dihukum minimal 5 tahun maksimal 15 tahun dan denda 5 juta rupiah. Jika itu dilakukan oleh keluarga atau pendidik, hukumannya akan lebih tinggi lagi yaitu ditambah 1/3 nya. Jadi misal hukumannya 15 tahun ditambah 1/3 nya, 15 ditambah 6. Bisa 21 tahun. Nah kalau pada anak-anak akan ada diversi. Diversi itu pengurangan. Separuh atau tidak sama sekali jika pelakunya anak-anak.

Nah, jika pelakunya orang dewasa apalagi dalam lingkup keluarga, dapat   dikenakan pasal KDRT juga. Kekerasan dalam rumah tangga. Yang dihukum siapa? Pamannya.
Beberapa pendapat mengatakan, hukumannya lebih ringan karena si korban ternyata jatuh cinta terhadap pelaku yg tak lain adalah pamannya. Tetapi, sarjana magister hukum ini membantah pendapat tersebut,

"Ada namanya pemerkosaan dengan tipu muslihat ada yg dengan kekerasan. Kalau dengan kekerasan dibius, dibekap, ditali, dipukuli itu baru diperkosa. Tapi ada juga yg menggunakan tipu muslihat. misalnya, dirayu-rayu, dikasih uang jajan, dijemput setiap hari lalu diancam, kalau kamu kutidurin terus ngomong sama orang tuamu, tak bunuh kamu. Misalnya. Bagiku itu juga tindak pemerkosaan" ujar dia

Menggunakan tipu muslihat juga termasuk dalam tindakan pemerkosaan. Bukan masalah saling suka atau sama-sama mau melakukannya.  Susahnya, kasus pemerkosaan  jarang ada saksi mata, satu-satunya saksi adalah korban. Disebutnya saksi korban. Dalam penyidikan, ada namanya visum et repertum. Visum ini biasa dilakukan oleh kepolisian, kepolisian bertanggung jawab meminta laporan hasil visum kepada puskesmas pemerintah/ rumah sakit pemerintah yg bertanggung jawab atas visum. Ketika visum tidak menunjukan hasil luka robek atas tindak pemerkosaan, maka tidak dianggap kasus pemerkosaan.

" Itu salah, harusnya ketika korban mengaku saya diperkosa karena dipaksa dan sebagainya, itu
boleh dianggap UU permulaan adanya tindak pemerkosaan" tandas Ayuningtyas

Baca juga: Diterjang Ombak, Akses Jalan Alternatif Pasirian-Tempursari Lumajang Putus Total

Bisa saja memang si korban dan pelaku saling suka. Tetapi coba pikirkan secara logis,  Anak dibawah 18 tahun masih dianggap belum dewasa secara hukum karena belum bisa melakukan tindak kejahatan. Kasus tindak pencabulan ini memang tengah menjadi highlight. Apalagi, dengan adanya vonis rendah yg hanya menguntungkan pihak pelaku. Belum lagi adanya pernyataan karena pelaku dan korban saling suka.

Menyikapi hal tersebut, Ayuningtyas Septarini mengungkapkan" Apapun yg terjadi antara dia dan pamannya, ketika pemerkosaan. Entah anaknya membuka baju sendiri dan mau, tetep orang ini predator".

Selanjutnya, ada lex spesialis derogat legi priory. Yaitu UU baru mengalahkan UU lama. Jika sebelumnya diberlakukan UU yang lama, maka dengan Lex spesialis derogat Legi priory,  UU yg baru dapat mendominasi sekaligus mengganti UU yang lama.

Ayuningtyas juga mengingatkan bahwa pemerkosaan di Indonesia ini, fakta dan terjadi, hampir 80% dilakukan oleh orang yg dikenal. Dengan mengetahui kebiasaan si korbannya yang sudah ditelisik lebih dulu. Dari pihak korban, wajar dengan adanya putusan dan hukuman serendah itu membuat  keluarga korban meminta banding. Banding adalah hal yg sangat wajar karena itu adalah upaya hukum dari keluarga korban untuk mencari keadilan. Maka korban sebagai pencari keadilan, akan mengajukan banding kepada pengadilan tinggi untuk memberikan hukuman yg lebih tinggi/ lebih maksimal kepada pelaku.

Baca juga: Maling Motor Asal Lumajang Beraksi 15 Lokasi di Kabupaten Jember

Diharapkan dengan banding ini, maka rasa keadilan dan rasa jera akan tercipta dan perlindungan hukum terhadap anak dilakukan secara maksimal oleh penegak hukum. Sehingga diharapkan, rasa jera akan dialami oleh pelaku. Karena hukumannya tinggi, maka akan memberikan respon yg baik pada penegak hukum yg bersih dan bebas dari faktor x.

Ayuningtyas menyarankan agar aliansi masyarakat lumajang peduli kekerasan seksual. Karena masyarakat dapat menginisiasi/ mempengaruhi putusan hakim kedepannya. Dengan memberikan hukuman sebesar-besarnya untuk korban dan memberikan masukan yg bagus  untuk penegak hukum kedepannya.
Kepada masyarakat, dengan diangkatnya kasus ini, diharapkan untuk lebih berhati-hati kedepannya. Karena  pelaku pemerkosaan bisa oleh siapa saja.  Baik yg bergelar tinggi ataupun tidak bergelar sekalipun. Baik orang kaya atau orang miskin. Semua bisa jadi pelaku pemerkosaan. Hal itu harus dijadikan warning keras. Dan korban pemerkosaan bisa dialami oleh seluruh keluarga yg mempunyai anak perempuan. Jangan mengentengkan bahwa orang yg berpendidikan tidak akan pernah bisa menjadi pelaku pemerkosaan, ataupun sebaliknya. Pelaku pemerkosaan tidak memandang profesi, semua bisa menjadi pelaku, terutama saat ada kesempatan.

Penegak hukum harusnya membuat hukum yg inhern, sistematis dan masif. Bahwa pengadilan hukum tidak hanya akan memberi efek pada pelaku dan korban, tapi juga pembelajaran hukum terhadap masyarakat. Kalau penegakan hukumnya lemah, memberikan hukuman ringan pada pelaku pemerkosaan, maka masyarakat tidak akan punya kepercayaan terhadap pengadilan. Marwah keadilan dan martabat peradilan itu ada di penegak hukum yg memberi rasa adil kepada masyarakat, jika tidak, maka kepercayaan masyarakat akan terkikis.(Ind/red)

Editor : Redaksi

Politik dan Pemerintahan
Berita Populer
Berita Terbaru