Lumajang - Memasuki kalender Jawa Bulan Sapar. Masyarakat Lumajang memiliki adat istiadat membuat jenang sapar untuk dibagikan ke sanak family dan tetangga terdekat.
Dalam membuat jenang sapar ini, biasanya kaum perempuan mulai dari ibu dan anak serta tetangga berkumpul. Dengan membuat adonan dari tepung ketan dijadikan bola kecil.
Baca juga: Gerindra Menang, Ada Perubahan Peta Politik di Lumajang
Bulatan kecil tepung dimasukan dalam santan mendidik yang sudah dikasih gula pasir atau gula kelapa. Santan bisa berwarna coklat atau putih, tergantung selera si pembuatnya.
Tradisi Jenang Sapar ini masih dilestarikan oleh keluarga Pondok Pesantren Manarul Qur'an di Desa Kutorenon Kecamatan Sukodono dibawah pengasuh, KH. Dr. Abdul Wadud Nafis, Lc., MEI. Tak ketinggal Anggota DPRD Jawa Timur dari Fraksi PKB, Nyai Lailatul Qodriyah ikut membuat jenang sapar.
"Saya ini orang desa, sebelum jadi anggota dewan biasa membantu membuat jenang sapar," ujar Neng Laila, sapaan akrab politik PKB asal Lumajang itu.
Baca juga: Junaidi, Caleg PKB Lumajang Dapil 7 Mundur Karena Sakit Hati
Bagi dia, jenang sapar ini memiliki nilai luhur luar biasa bagi Islam Nusantara. Karena akulturasi budaya jawa dengan agama islam.
"Jenang sapar ini adalah bentuk rasa syukur dan menjaga ikatan tali silaturahim keluarga beserta tetangga dekat," jelas Ketua Fatayat Lumajang.
Baca juga: Muhaimin Sapa dan Dengar Aspirasi Warga Lumajang
Dilansir dari berbagai sumber, jenang sapar merupakan kuliner hasil kebudayaan masyarakat Indonesia, yang mengakar sejak zaman Hindu dan era Wali Songo. Hingga kini, jenang selalu hadir sebagai simbol ungkapan rasa syukur atas karunia hasil ciptaan Tuhan.
Teksturnya yang kenyal dan lengket dapat diartikan sebagai sarana yang mampu membangun hubungan kebersamaan antarkerabat dan tetangga. (ls/red)
Editor : Redaksi