Lumajang (lumajangsatu.com) - Menyimak perhelatan Konferensi Cabang (Konfercab) NU Lumajang yang sebentar lagi digelar 14 Juli 2018, namun sudah ramai diperbincangkan di media, secara prinsip syah syah saja. Gawe besar lima tahunan sekali ini, selalu menjadi perhelatan yang menarik bagi siapapun. Bukan hanya Pemerintah Kabupaten, namun juga para partai politik yang akan mendulang suara di pileg 2019.
Pemkab Lumajang yang baru saja "nahkodanya" bergeser dari pak As'at ke Thoriqul Haq memiliki kepentingan untuk menjalin sinergi yang simbiosis mutualisma, mau tak mau akan memperhatikan cuaca pemilhan nahkoda NU. Kebetulan Bupati yang baru adalah terlahir dari rahim NU tulen. Jadi sanagat wajar saja bila Pemkab Lumajang akan memantau para kandidat yang sudah beredar dan an itu adalah hal yang lumrah.
Demikian juga dengan partai politik, 2019 adalah momentum besar dalam rangka mendongkrak suara partai. Dengan Konfercab NU Lumajang, mau tak mau akan sedikit banyak mengeluarkan keringat untuk ikut andil dalam meramaikan suasana ini. Bagaimanapun, para kader NU sudah menyebar disegala lini parpol. Baik PKB, PPP, PDIP, GOLKAR, Nasdem, Hanura, Gerindra dan Demokrat, semua ada disitu. Meski harus diakui PKB dan PPP adalah yang terbanyak bercokol kader-kader NU.
Terlepas dari hal itu, saya berharap NU Lumajang nahkoda di Tanfidziyah kembalikan pada pengasuh pesantren. Karena ada dua alasan pokok.
Pertama, aspek historis, NU didirikan oleh para Ulama pesantren dengan penguatan aqidah islam ahlusunnah wal jama'ah dengan berpedoman 4 Madzhab.
Kedua, kondisi kekinian, dengan gempuran paham radikal yang bercokol dimana mana, yang menggerogoti pemahman keagamaan pada generasi muda, dengan merujuk pada google maka diperlukan sosok kiai pesantren yang paham kitab kuning. Kitab turats yang menjadi kebanggaan dan karakteristik NU sebagai khasanah kekayaan Islam NUSantara yang menjadi bahan wajib bagi para ulama NU dan ini hanya dimiliki oleh Kiai pemangku dan pengasuh pesantren.
Bagaimana cara menyeleksi kapasitas kualitas para kandidat sebagi tolak ukur dalam memahami kitab kuning?. Sederhana, syuriah NU terpilih melakukan uji publik pada kandidat ketua tandfidziyah NU yang disaksikan peserta Konfercab. Dengan menyodorkan kitab kuning secara acak. Kemudian peserta mengajukan pertanyaan dan akhirnya biarkan hati yang menilai.
Masalahnya, siapkah para kandidat ketua tanfidziyah untuk menjalani hal ini? Saya kira, namanya kyai/gus pasti siap lah kecuali yang tak berlebel kiai pasti kagak siap. Karena sebenarnya dia bukan kyai tapi Ikiyae.(Red)
Oleh : Musthofa Zuhri Pembina IKA-PMII Lumajang
Baca juga: Diterjang Ombak, Akses Jalan Alternatif Pasirian-Tempursari Lumajang Putus Total
Editor : Redaksi