opini dunia covid-19

Corona adalah Lonceng Kematian Kapitalisme

Penulis : lumajangsatu.com -
Corona adalah Lonceng Kematian Kapitalisme
Quotes Safi'i Kamamang/ VA Safi'i, Mantan Aktivis Reformasi dan Pencipta Lagu Kebebasan/ Buruh Tani

Virus corona (mahkota), dari persoalan biologis (baca: kesehatan) menjadi persoalan ekonomis, dan telah bertransformasi menjadi persoalan politis. Dan semua itu, merupakan hal yang sifatnya ideologis.

Sebelumnya, kita dijanjikan “hidup bersama dalam masyarakat tanpa batas”. Faktanya, hari ini, kita "tinggal di rumah" dan tidak bergaul dengan orang lain. Inilah hasil dari globalisme ala kapitalisme!

Menyakitkan! Karena pola hidup kita berubah. Pola hubungan sosial kita berubah. Kita yang terbiasa berhubungan secara langsung dengan orang lain, bersenda-gurau, berjabat tangan, berpelukan, cium pipi kanan dan pipi kiri, berboncengan motor, ramai-ramai naik dalam satu mobil, bersembahyang bersama-sama, dan sebagainya, pun menjadi hilang. Pupus hanya dalam waktu sesaat. Virus corona telah membalik peradaban umat manusia yang dibangun selama ribuan tahun lamannya hanya dalam hitungan hari dan bulan. Menyakitkan dan sekaligus mengerikan!

Tentunya, kita masih teringat bagaimana narasi-narasi miring dibangun di saat awal munculnya virus corona. Ada yang bilang bahwa ini bagian dari “kutukan Tuhan” terhadap umat komunis di Cina. Ada yang bilang bahwa ini gara-gara orang Wuhan (Cina) makan atau mengkonsumsi hewan-hewan liar. Ada yang bilang bahwa ini virus organik (alamiah) dan ada yang berpandangan ini virus hasil rekayasa. Dan, masih banyak narasi-narasi lain yang berseliweran di media sosial.

Terkait dengan narasi “kutukan Tuhan”, saya tidak mau membicarakannya. Di samping tidak produktif, juga dikarenakan saya kurang memahami perihal dunia “kutuk-mengkutuk”. Jangankan saya, yang jelas-jelas tidak memahami, orang-orang yang selama ini bergelut dalam dunia “perkutukan” pun tidak berani berhadapan dengan virus corona.

Sementara itu, berkaitan dengan narasi bahwa virus corona ini muncul gara-gara orang Wuhan (Cina) makan atau mengkonsumsi hewan-hewan liar, saya memiliki logika yang sederhana. Bayangkan jika orang-orang Wuhan tersebut disuruh berhenti makan hewan-hewan liar dan diganti dengan menyuruh mereka untuk makan jenis hewan jinak (kerbau, sapi, kuda, ayam, dan sebagainya), kira-kira apa yang bakal terjadi dalam hidup mereka? Bisa saya pastikan, kalau orang-orang Wuhan akan mengalami sakit perut (biologis), perubahan ekonomi (perdagangan), dan perubahan pola makan (sosial). Sama halnya dengan diri kita yang sudah terbiasa makan beras, tiba-tiba disuruh makan jagung dan singkong. Maka yang terjadi adalah MENCRET!

Sedangkan berkaitan dengan teori konspirasi mengenai asal-usul virus corona (alamiah atau rekayasa), saya juga tidak seberapa percaya. Pertama, karena saya bukan penganut teori konspirasi. Kedua, saya tidak memiliki data-data yang kuat tentang hal tersebut. Meskipun begitu, bukan berarti konspirasi tidak ada. Dengan belajar dari sejarah, praktek konspirasi ada dimana-mana. Bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Jepang tahun 1945 adalah hasil konspirasi. Peristiwa 1965 di Indonesia adalah juga hasil konspirasi. Isu senjata pemusnah massal yang dimiliki oleh Saddam Husein (Irak) yang dihembuskan oleh Amerika Serikat guna melakukan invasi ke negeri 1001 malam tersebut, juga adalah konspirasi. Terbunuhnya seorang jenderal Iran di Irak pada bulan Desember 2019 lalu oleh Amerika Serikat, juga merupakan produk konspirasi.

Sejarah masyarakat manusia adalah sejarah yang sifatnya terbuka, karena bisa diketahui oleh semua orang, dan meskipun begitu, sejarah tidak bisa diprediksi. Namun, dalam kondisi tertentu, sejarah perkembangan masyarakat manusia bisa lebih mudah untuk “dilihatnya” dalam jangka menengah dan panjang tetapi sangat susah dilihat dalam jangka pendek, contohnya adalah sebagaimana yang ditunjukkan oleh pandemi atau wabah virus corona ini. Dalam jangka pendek, dengan kasat mata kita bisa mengetahui betapa buruk dan mengerikannya pergerakan virus corona karena berhasil meruntuhkan sistem kesehatan nasional yang dianut oleh sebuah negara, berhasil membunuh ratusan ribu, bahkan bisa jadi jutaan orang mati (data hari ini, 4/14/2020 dilaporkan bahwa total kasus berjumlah 1.929.227 orang, meninggal dunia sebanyak 119.759 jiwa), mengganggu roda perekonomian, memicu terjadinya kecemasan dan kepanikan sosial, serta tidak menutup kemungkinan bisa memicu terjadinya kerusuhan, kekacauan sosial dan segala sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang. Sederhananya, hari ini, kita seperti didorong oleh gelombang atau ombak dan tidak ada yang tahu ke mana arah tujuannya atau kapan ini akan berakhir. Meskipun begitu, bukan berarti kita tidak bisa memprediksinya. Bisa. Dan satu-satunya senjata meramal yang paling ampuh adalah MARXISME khususnya berkaitan dengan Filsafat Materialisme Dialektika Historis-nya (MDH).

Seperti yang sudah saya tulis dalam artikel-artikel pendek sebelumnya, bahwa virus corona cepat mengglobal atau mendunia sebagai konsekuensi dari pergerakan bebas manusia, barang dan modal. Sebuah pergerakan bebas yang dikenal dengan istilah pasar bebas dan perdagangan bebas atau liberalisme. Contoh kasusnya adalah ketika wabah ini mulai keluar dari Wuhan (Cina), justru pihak Indonesia masih dengan “kesombongannya” membuka pintu lebar-lebar sektor pariwisata, misalnya dengan menurunkan harga tiket pesawat. Konsekuensinya apa? Konsekuensinya adalah arus keluar masuk para turis, barang dan modal pariwisata yang sudah terkontaminasi virus corona tersebut adalah hasilnya bisa kita lihat saat ini, dimana jumlah kasus meningkat yang diikuti dengan peningkatan angka kematian.

“Jangan melupakan sejarah!” kata Bung Karno. Tentu kita masih ingat, ketika sistem Uni Soviet bubar pada tahun 1990-an, semua pendukung kapitalisme ramai-ramai menyatakan bahwa akan lahir sistem “globalisasi yang penuh dengan kebahagiaan” di bawah pimpinan Amerika Serikat. Dalam bukunya, Francis Fukuyama meyakini bahwa demokrasi liberal dan sistem pasar pasti menang. Bumi akan diubah menjadi pusat perbelanjaan besar dengan cara menghilangkan segala bentuk rintangan demi pertukaran bebas. Selain itu, “dihapuskannya” batas negara sebagaimana yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan menciptakan negara-negara dengan "kawasan" serta untuk membangun "perdamaian umum" sebagaimana yang dibayangkan oleh Imanuel Kant. Efek selanjutnya adalah menghapus identitas kolektif dengan mengkampanyekan bahwa konsep kedaulatan dan kemandirian sebuah negara sudah menjadi sesuatu yang usang atau kadaluwarsa.

Tapi sekarang, RUNTUH! Konsep negara “kawasan” seperti Uni Eropa tidak bisa berbuat banyak. Mereka bingung mengenai bagaimana caranya membatasi arus pergerakan manusia guna meminimalisir dampak penyebaran virus corona. Mereka bingung “apakah harus menerapkan konsep perbatasan” negara kembali. Lain Uni Eropa, lain pula ASEAN. Organisasi kawasan Asia Tenggara ini justru tidak terdengar suaranya sama sekali berkaitan dengan wabah virus corona. Satu-satunya konsep negara sekawasan yang aktif hanyalah ALBA, yakni kumpulan negara-negara yang berideologi kiri yang berada di Amerika Latin. ALBA bergerak relative efektif dengan mengedepankan prinsip solidaritas saling membantu antara sesama anggota ALBA.

Uni Eropa babak belur. Komisi Uni Eropa mirip dengan manusia yang mandul. Mereka bingung dan kacau seperti kelinci yang ketakutan: bingung, tertegun, dan lumpuh. Mereka tidak siap menghadapi angka kematian yang tinggi, yang dialami oleh Italia, Spanyol, Perancis, dan negara Uni Eropa lainnya. Ya, walaupun mereka melalui Bank Sentral Eropa kemudian mengeluarkan uang sebesar 750 miliar euro, yang konon untuk menanggapi situasi darurat corona tersebut, tetapi pada kenyataannya hanya untuk menyelamatkan mata uang euro. Fakta kebenaran di lapangan adalah bahwa dalam keadaan darurat, setiap negara memutuskan dan bertindak untuk dirinya sendiri.

Ya, setiap negara akhirnya bertindak sendiri-sendiri guna menyelamatkan dirinya sendiri. Standart umum yang biasa didengung-dengungkan oleh pengikut globalisme ala kapitalisme tidak dipakai lagi. Masing-masing negara memilih “stay at home” alias “tinggal di rumah” dengan kegiatan utama baring-baring dan rebahan semata. Solidaritas antar tetangga sudah tidak ada lagi!

Berdasarkan kebijakan “stay at home”, masing-masing negara mengalami perbedaan dalam menangani wabah virus corona. Ada yang menggunakan kekerasan fisik sebagaimana yang dilakukan di Chili, Bolivia, Filipina, India, Indonesia, Timor Leste, dan sebagainya. Ada juga yang tetap menggunakan pendekatan humanisme seperti yang dilakukan oleh Cuba, Iran, Venezuela, dan lainnya.

Masing-masing negara dihadapkan pada persoalan sistem kesehatan nasional yang mengalami keruntuhan. Sebuah sistem kesehatan kapitalistik dengan mengedepankan profit atau keuntungan pribadi. Hari ini, runtuh! Bingung dengan persoalan laboratorium untuk menge-test penyakit, bingung dengan obat-obatan, bingung dan kekurangan tempat tidur, bingung dengan kemampuan tenaga medisnya, dan seterusnya.

Masing-masing negara juga dihadapkan pada persoalan perekonomian nasionalnya. Akhir-akhir ini, setiap negara harus memeras otak mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat selama berlangsungnya lockdown atau karantina. Kebijakan import pangan yang ditempuh oleh suatu negara (seperti Indonesia) akan dipanen dalam beberapa waktu ke depan. Apakah kebijakan import tersebut akan membuat perut rakyat stabil atau tidak. Belum lagi ditambah dengan berhentinya produksi barang dan jasa nasional, termasuk pemecatan-pemecatan terhadap buruh. Sudah pasti ini akan menimbulkan keguncangan politik di satu negara.

Dan sekarang, apa yang ada di depan mata kita? Pertama-tama, tentu saja krisis ekonomi, yang akan memiliki konsekuensi sosial paling parah. Semua orang mengantisipasi resesi yang sangat kuat, yang akan mempengaruhi Eropa dan Amerika Serikat. Ribuan perusahaan akan bangkrut, jutaan pekerjaan terancam, dan PDB diperkirakan akan turun hingga 20%. Negara harus berhutang lagi, yang akan membuat tatanan sosial semakin rapuh.

Krisis ekonomi dan sosial ini dapat menyebabkan krisis keuangan baru yang bahkan lebih besar daripada tahun 2008. Virus corona tidak akan menjadi faktor kunci, seperti krisis yang telah diperkirakan selama bertahun-tahun, tetapi pasti akan menjadi katalisator. Pasar saham mulai runtuh dan harga minyak jatuh. Keruntuhan pasar saham tidak hanya memengaruhi para pemegang saham, tetapi juga mempengaruhi bank-bank yang nilainya tergantung pada kepemilikan aktif mereka.

Maka risikonya adalah harus merespons secara simultan krisis kesehatan, krisis ekonomi, krisis sosial, krisis keuangan dan, yang tidak boleh dilupakan, krisis ekologis dan migrasi. Badai yang sempurna: ini adalah TSUNAMI berikutnya!

Editor : Redaksi