Esai : Islamisme di Pilkada Lumajang Dikala Redupnya Nasionalisme
Konstelasi politik di Lumajang makin hari makin menghangat dan membuat para konstituen yakni masyarakat bisa menentukan pilihan. Hingga kini yang muncul dan terus mendapat simpati masyarakat yakni, Petahana, As'at Malik, Thoriqul Haq, Rofik Abidini, Indah Amperawati dan Ngateman.
Secara ideologis, 3 nama didepan itu mewakili kalangan Islamisme dan dua belakang dengan pembangunanisme, trus kemana kandidat dari kalangan Nasionalisme dalam petarungan Pilkada 2018. Kita sudah tahu jika politik di Lumajang seperti buah Semangka, Hijau bila dibelah merah isinya.
Ini terbukti di Pileg 2014, PDIP meraih 10 kursi, PKB 9 Kursi, Demokrat 6 Kursi, Gerindra 5 Kursi, Golkar 5 Kursi, Nasdem 5 kursi, PAN 3 kursi, PKS 3 Kursi, PPP 2 kursi dan Hanura 2 Kursi. Mau kemanakah, kursi legislatif di Pilkada 2018. Di Pemilu 1955 kalangan Islamisme dari kalangan partai NU, Masyumi dan saat ini diwakili oleh PKB, PKS, PPP dan PAN. Untuk Ideologi Nasionalisme masih kental dengan PDIP saat ini, jika dulu diwakili PNI. Sedangkan, Pembangunanisme diidentikan dengan Golkar masa Orde baru, kini mereka terpecah kadernya ke Nasdem, Hanura dan Gerindra.
Banyak kalangan, Pilkada 2018 pertarungan para Tokoh yang berideologi Islamisme untuk bisa menguasai singsana pendopo 5 tahun kedepan. Karena, ada semacam pertarungan masa lampau saat pemilihan Ketua PCNU antara Incumbent dengan Rofik. Sehingga, Thoriqul haq masuk dalam pusaran pertarungan dua seniornya di politik lokal kalangan Nahdliyin.
Ketiga calon ini saling berebut hati para Nahdliyin yang ada di Lumajang dengan kekuatan mayoritas suara 70 persen, dibandingan kelompokan abangan. Sehingga, ada anggapan PDIP LUmajang dengan tidak majunya Agus Wicaksono sang Nahkoda Banteng karena begitu beratnya merangkul kalangan Ijo.
Tidak majunya Agus Wicaksono, Tokoh Nasionalisme seakan makin redup dan tenggelam. Meski kasak kusuk dikalangan abangan, Agus diprediksi akan berpasangan dengan As'at di Pilkada untuk melegakan hati kalangan Nasionalis.
Sementara Indah dan Ngateman yang merupakan kalangan Pembangunanisme dari teknokrat terus menerobos kuatnya politik Bangjo di Bumi Wiraraja. Peran Indah disaat kakahnya Almarhumah Sjahrazad Masdar dinilai berperan besar saat berkuasa dan memiliki tabungan politik kendal dikalangan birokrat.
Ngateman sosok polisi dengan pengusaha tangguh juga dikenal pekerja keras dan mampu memikat masyarakat. Apalagi saat terpilih sebagai Ketua KONI Lumajang, Ngateman semakin menunjukan tokoh yang mampu membuat perubahan Lumajang.
Dalam kurun dua bulan kita dipertotonkan komunikasi politik dari PDIP yang akan mengusung As'at sebagai Cabup tunggal dan suratnya diantar ke Megawati. Apalagi, saat As'at menjadi imam Sholat saat peringatan Hari Lahirnya Pancasila di Blitar menunjukan As'at memang diusung Banteng Moncong Putih.
Kemudian, Thoriqul Haq juga dinyatakan oleh Ketua Umum PKB Pusat, Muhaimin Iskadar, bila kadernya ini akan maju sebagai Cabup Lumajang dari partai Nahdliyin. Seakan menjawab dari desas-desus, otak atik ngatuk para pemain politik soal si Politisi Muda dengan slogan Cagcegnya. Kini untuk bisa memenuhi mendaftar, tinggal berkoalisi dengan satu partai saja.
Kemudian, 3 calon lainya, Rofik juga dikabarkan diusung PPP, Ngateman diisukan akan didorong PAN, Indah Amperawati oleh Gerindra. Ketiganya harus mencari lagi partai untuk berkoalisi untuk leading. Namun, nantinya akan ada satu yang tersungkur dari ketiganya ini untuk bisa leading di Pilkada 2018. Sejarah pilkada Lumajang hanya ada 4 pasangan yang akan maju di pesta Demokrasi.
Belajar dalam sejarah, Ideologi Politik Islamisme belum pernah berkuasa di Pemerintah Lumajang. As'at Malik saja, ketiban sampur setelah Sjahraazad meninggal dunia dan membuat koalisasi partai yang mengusungnya amburadul. Akibat kedekatan As'at dengan PDIP sebagai penguasa di Legislatif. Hal yang sama menimpa pada Tokoh Nasionalis yang hanya mampu menjadi wakilnya itupun usai Orde Baru runtuh.
Secara teoritik, politik di Lumajang sulit diprediksi atau dianalisis melalui hitung-hitungan kuantitatif. Apalagi dengan visi misi untuk bisa memimpin Lumajang. Banyak teori yang sulit diterjemahkan dalam keterpilihan politik praktis dalam era Reformasi ini.
Bahkan, cara kotor dengan melakukan money politik juga gagal untuk melenggang pesta Demokrasi Lumajang 2013 lalu. Kitapun sudah menonton atraksi para pragmatisme politik yang dilakukan para Demagog politik.
Para kandidat serta politisi pendukungnya seakan terus mencari formula untuk bisa menarik hati masyarakat. Politik bukan soal obyektifitas dan subyektifitas. karena mapping politik di bekas Kerajaan Wirabhumi ini selalu penuh misteri untuk dikuak menjadi keterpilihan. Bahkan, sulitnya mengkalkuslasi politik, mulai ada yang memasang-masangkan para 5 kandidat untuk menjadi 2 dan 3 pasangan leading di Pilkada 2018. Politik memang sebuah seni dalam menuju kekuasaan 5 tahunan, ikhtiar senatiasa dipanjatkan para pelakunya. (red)
Editor : Redaksi