Berserikat dan Berkumpul dilindungi Undang-Undang Dasar 1945 dipasal 28, negara yang menganut asas pancasila ini sudah memiliki budaya yang sangat elit dan proletar. Untuk budaya elit bisa dilihat dari tingkah laku bangsawan dan untuk proletar kalangan masyarakat pedesaan yang memiliki pekerjaan kasar.
Zaman dahulu di pulau jawa sudah mengenal berkumpul dan ngrobrol disebuah warung kopi untuk sesuatu yang dianggap penting. Bahkan, kalangan bangsawan untuk memenuhi kepentingannya baik politik dan ekonomi kerap menggunakan warung kopi dalam sebuah isu yang bisa mengerakan kalangan proletar.
Baca juga: Dam Boreng Hampir Rampung, Air Akan Aliri Ratusan Hektar Persawahan di Lumajang
Bahkan, sabda raja disampaikan di sebuah pasar yang memiliki banyak warung kopi. Warkop di jaman jawa dulu dan ke-nusantaraan sebagai tempat yang dianggap demokratis. Jangan sampai ada orang atau gerombolan ingin menguasai warkop, ujung-ujungnya pertumbahan darah.
Disebuah sinetron Turki "Abad Kejayaan", Sosok Sumul Aga yang merupakan ajudan dari Premaisuri Raja Ottoman yang diusir dari kerajaan membuat sebuah warung kopi. Kopi tersebut dibawa oleh orang arab dari negeri yang dikenal melayu. Akibatnya, warung kopi yang diawali oleh Sumul Aga merambah dan menjadi banyak. Bahkan, sejak kematian Pageran Mahkota, Mustafa, warung kopi dijadikan rakyat untuk memperbincangkan suhu politik kerajaan dan membuat keresahan. AKibatnya, Raja Sulaiman melarang rakyatnya mendirikan warung kopi dengan membuat aturan.
Kembali ke Kota tercinta Lumajang, di tahun 2014 sejumlah warung kopi mulai berdiri dan merambah ke berbagai kawasan pinggiran kota. Bahkan, warung kopi di Lumajang yang dulu hanya tempat cangkru'an kaum lelaki. Kini, sejumlah kaum hawa juga ikutan, sebagai bentuk kebebasan dalam ekspresi dan kesetaraan gender. Warung kopipun juga bermacam-macam kalangan dan kelasnya serta pengunjungnya dari mana saja.
Baca juga: Diterjang Ombak, Akses Jalan Alternatif Pasirian-Tempursari Lumajang Putus Total
Dalam berbagai kesempatan, saat warga Lumajang berkumpul di warung kopi yang dibicarakan awalnya dibidang kemasyarakat, berubah menjadi pekerjaan bisnis dan soal politik. Saking, sering digunakan untuk ngrobol, warung kopi sudah menjadi manifestasi politik yang luar biasa di Lumajang. Apalagi, warung kopi yang lahir di Kota dengan usia ratusan tahun ini, sudah ada kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Ini setiap warung kopi ada layanan Wifi untu bisa internetan.
Komunikasi yang ada warung kopi, bukan hanya hanya interpersonal, intrapersonal, kelompok. Namun, sudah dijadikan tempat untuk komunikasi organisasi, massa dan politik, karena adanya kecanggihan teknologi di sejumalh warung kopi di Lumajang.
Dijaman pasca kemerdekaan, perjuangan heroik warga Surabaya dalam sebuah kajian sejarah, tak lepas dari adanya warung kopi. Karena Surabaya adalah kota perdagangan dan pusat pemerintah di jaman belanda, apalagi banyak kaum pendatang dan buruh menjadikan warkop tempat kongkow usai bekerja. Disana, warga surabaya dan buruk mendengarkan radio sebagai pusat mendapatkan informasi, tak jauh beda dengan saat ini adanya Wifi, bisa mengakses ke penjuru dunia. Perjuangan heroik bisa muncul dan menjadi kekuatan menakutkan untuk melawan Nica dan sekutu. Ini bisa terlihat perobekan bendera belanda menjadi merah putih, Allahu Akbar, Merdeka Atau Mati.
Baca juga: Maling Motor Asal Lumajang Beraksi 15 Lokasi di Kabupaten Jember
Sejumla komunitas anak muda Lumajang dan pelajar, juga melakukan sejumlah pertemuan di warung kopi, dengan ungkapan "Ngopi Disek Ben Ndak Salah Paham". Ungkapan ini, sebagai alat komunikasi dalam membahasa persoalan yang dilakukan pemerintah dan kegiatan mereka. Komunikasi di warung kopi, tidak ada aturan, namun kebebasan sebebas bebasnya sesuai kesepakatan bersama. Jadi saat berbicara tidak harus duduk rapi, kaki diangkat dan tiduran juga bisa. Komunikasi yang gayeng dipenuhi dengan guyonan bukan tidak menambah keseriusan, tetapi bumbu yang mendukung dalam hal yang dibahas.
Dari berbagai sejarah diatas, Warung Kopi yang menjamur seperti dimusim hujan ini, adalah bukti Masyarakat Lumajang ingin maju. Sehingga, keberadaan warung kopi adalah bentuk kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah dalam politiknya. Sejumlah kemajuan yang dirasakan Kabupaten Lumajang bisa dilihat dalam wisata, karena para pemuda Lumajang kerap membicarakan diwarung kopi dan dimedia sosial. Kini warung kopi sudah menjadi budaya yang akan terus mengiringi kemajuan Lumajang kedepan. Warung Kopi bukan hanya jualan tapi agen perubahan dari masa ke masa. Jika mau tahu tunggu 5 tahun lagi, ke utarakah, kebaratkan, ke selatankah dan ke timurkan kemajuan Lumajang, ataupun hancur seperti situs kerajaan Lamajang Situs Biting.(ls/red)
Editor : Redaksi