Parlemen Melawan Pragmatisme Politik

lumajangsatu.com

Proses pemilihan wakil Bupati Lumajang yang menelorkan dua nama yakni Buntaran Supriyanto dan Lutfi Irbawanto segera akan dilakukan oleh wakil rakyat sebanyak 50 orang yang kini duduk di kursi DPRD. Pemilihan melalui mekanisme Parlementer sesuai amanat UU. No. 8 taun 2015 sudah didok oleh Parlemen tertinggi sesuai konstitusi. 

Kini masyarakat tidak bisa lagi memilih pendamping pemimpinnya, jika dalam pilkada masyarakat bisa memilih Bupayi bersama wakilnya. Kini dengan aturan sesuai dengan PP No. 49 tahun 2008, atas usulan Partai Politik Pengusung dan diajukan oleh Bupati ke DPRD.

Baca juga: Dam Boreng Hampir Rampung, Air Akan Aliri Ratusan Hektar Persawahan di Lumajang

Sejarah Parlemen 

 Parlemen Indonesia berdiri sejak 29 Agustus 1945 akan akan berulang tahun ke 70 tahun barengan dengan HUT RI. Mantan Ketua DPR RI mengungkapkan, ejarah parlemen Indonesia dimulai pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang dinamai Volkraad (Dewan Rakyat). Fase pertama setelah proklamasi, perjalanan parlemen kita sangat dinamis dengan adanya proses pencarian demokrasi yang dinilai paling cocok diterapkan di Indonesia.


Jikan Fase Pertama didirikan oleh Benlanda dengan nama Volkraad. Pada waktu Kemerdekaan, lembaga perwakilan menganut sistem parlementer. Kemudian, berubah menjadi demokrasi terpimpin dengan ditandai kehidupan bernegara yang nyaris dikuasai sepenuhnya oleh presiden.
 
Fase kedua, bermula pada masa Orde Lama yang ditandai dengan parlemen yang kurang independen karena besarnya kuasa Presiden Soekarno. Berlanjut pada masa Orde Baru, parlemen belum nampak jati dirinya karena amat kuatnya pemerintahan di bawah Soeharto.
 
Fase ketiga, diawali peristiwa 1998 yang melengserkan penguasa Orde Baru. Lahirlah paket kebijakan politik yang membuka kran demokratisasi dan keterbukaan. Kehendak rakyat tecermin dalam berbagai UU produk DPR hasil Pemilu 1999. Pada awal fase ini, UUD 1945 diamandemen dan peran politik ABRI dikurangi. Muncul pula banyak partai seperti terjadi pada 1945-1971. 

Adapun DPR periode 2009-2014 adalah periode DPR yang ke-18. Demokrasi makin berkembang, kebebasan berpendapat memungkinkan masyarakat menyampaikan kritik bahkan unjuk rasa secara terbuka.
 
Pada fase ini, terjadi amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali, yaitu tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Amandemen tersebut berpengaruh besar terhadap bangunan struktur kenegaraan kita. Kini kekuasaan penyelenggaraan negara terbagi menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. 

Parlemen Kini

Baca juga: Diterjang Ombak, Akses Jalan Alternatif Pasirian-Tempursari Lumajang Putus Total

Dalam perkembanganya, Parlemen kita mengalami perubahan yang terus sesuai zamannya. Seperti diketahui, untuk menjadi anggota parlemen seseorang di Zaman Orde Lama dan Orde Baru, harus menjadi anggota parpol mulai dari bawah dan rela berkorban demi kebesaran partai untuk bermanfaat bagi masyarakatnya (Kontituen). Tak jarang, banyak konstituen rela berkoban, harta dan nyawanya untuk sebuah identitas berpolitiknya menuju masyarakat adil dan makmur.

Namun, dalam perjalananya usai Reformasi 1998, untuk menjadi anggota parlemen berubah secara drastis. Diawal Reformasi, sering kita dengar dengan adanya kantor Parpol di geruduk oleh massa pendukungnya lantaran calon yang terpampang tidak sesuai yang diinginkan. Bahkna, masalah nomor urutpun jadi masalah, lantaran tidak sesuai yang dikehendaki calon di partai tersebut.

Bahkan, parpol pun mulai pragmatis dan menjual belikan nomor urut ke siapa saja yang ingin menjadi calon anggota legislatif. Akibatnya, banyak kader partai yang gagal untuk menjadi legislator dan menyebabkan parpol tersebut tidak bergigi di parlemen. Sedangkan kader parpol yang memiliki kualitas, tidak duduki dikursi wakil rakyat sebenarnya.

Dalam Pemilihan Legislatif di tahun 2014 lalu, bukan rahasia bagi kita, banyak pemilih yang tergoda dan terbeli dengan uang Rp. 20 ribu hingga Rp. 100 ribu. Politik Pragmatis memang tidak jauh dengan uang, seperti tiada politik  tanpa uang. Bahkan, sejumlah politik parpol  menyalahkan rakyat (Konstituen). Tak jarang banyak politisi yang harusnya bersuara di Parlemen memilih mengatur suara.

Baca juga: Maling Motor Asal Lumajang Beraksi 15 Lokasi di Kabupaten Jember

Parlemen Di Pilwabup

Sejenak membaca sejarah Parlemen dan Pemilihan wakil bupati, apakah Pragmatisme berbanding lurus dengan kekinian. Bisakah uang melawan sebuah ideologi untuk memberikan kemakmuran masyarakat melalui Pilwabup. Wakil bupati memang sebuah jabatan politis yang fungsinya mewakili Bupati bila ada kesibukan kedinasan. Ditengah pragmatisme politik apakah nanti akan terpilih Wakil Bupati sebagai jawaban terhadap rakyat (Konstituen) dari 50 anggota DPRD Lumajang.

Memilih wakil bupati bukan seperti memilih kucing dalam karung, namun 50 anggota DPRD memiliki pendidikan dan pengalaman dalam bidang pemerintahan. Kini hanya ada harapan antara rakyat (konstituen) dengan wakilnya (Legislator) di Pilwabup, sama atau tidak. Ini patut ditunggu dan disimak, pilihan anggota Parlemen Terhormat Lumajang. (ls/red)

Editor : Redaksi

Politik dan Pemerintahan
Berita Populer
Berita Terbaru