Lumajang (lumajangsatu.com) - Salah satu dampak yang bisa dilihat dari globalisasi ekonomi adalah masuknya pasar modern ke daerah-daerah pelosok. Seperti yang banyak dibahas akhir-akhir ini di Kabupaten Lumajang. Apakah itu baik atau tidak saya rasa sudah banyak dibahas oleh orang-orang yang memiliki kepentingan dan yang berkuasa di Lumajang.
Pihak yang kontra berpendapat bahwa kehadiran pasar modern akan mematikan usaha kecil, sedangkan pihak yang pro berpendapat kehadiran pasar modern akan menjadikan Lumajang semakin maju dan menyerap tenaga kerja. Pertanyaannya, benarkah penyerapan tenaga kerja yang berdampak semakin majuanya Lumajang nantinya sebanding manfaatnya jika dibandingkan dengan kemudharatan yang dihasilkan akibat dari gulung tikarnya usaha rakyat yang tidak mampu bersaing?
Baca juga: Dam Boreng Hampir Rampung, Air Akan Aliri Ratusan Hektar Persawahan di Lumajang
Sebab semua argumen baik yang pro maupun kontra hanya membahas dampak dalam jangka pendek. Mereka kurang memperhitungkan dampak sosial ekonomi dalam jangka panjang. Tidak ada teorinya kalau kemajuan suatu daerah bahkan negara bisa dilihat dari banyaknya pasar modern yang berdiri diwilayah itu. Bahkan Jakarta saat ini menjadi salah satu kota yang memiliki pasar modern terbesar di dunia. Tapi hal itu tidak menjadikan Jakarta maupun Indonesia dianggap sebagai kota dan negara maju.
Bahkan definisi tentang daerah yang maju dan tertinggal sendiri masih abstrak. Apakah hanya dengan dalih kemajuan daerah kita mau mengorbankan kepentingan rakyat kecil. Pembangunan pasar modern hanya menjadikan rakyat sebagai penonton dari pembangunan tersebut. Dimasa yang akan datang kita hanya akan melihat rakyat semakin sengsara disebabkan oleh semakin banyak usaha kecil yang gulung tikar karena mereka tidak mampu bersaing dengan arus globalisasi.
Tugas pemerintah yang utama adalah melindungi keamanan, menjaga martabat dan menyediakan sumber penghidupan bagi masyarakatnya. Jika daerah hanya mengutamakan kemajuan daerah, cara yang bisa ditempuh dengan mengundang investor dari luar daerah untuk membangun pabrik dan pasar modern. Tapi apakah itu tidak menyakiti hati rakyat, jika di pusat kota berdiri bangunan yang mewah sedangkan tanah dan bangunan itu bukan milik rakyat daerah tersebut.
Baca juga: Diterjang Ombak, Akses Jalan Alternatif Pasirian-Tempursari Lumajang Putus Total
Sedangkan rakyat lokal yang dulunya menempati pusat ekonomi semakin tersingkir karena kalah bersaing dengan investor yang memiliki modal besar. Tugas dari pemerintah saat ini adalah memastikan bahwa tanah, banguanan dan aset ekonomi yang ada di Lumajang tetap menjadi milik rakyat Lumajang.
Menjamurnya pasar modern hingga ke pelosok Desa hanya akan melahirkan ketimpangan ekonomi. Janji penyerapan tenaga kerja hanyalah kata-kata pemanis, karena keadaan yang sebenarnya globalisasi hanya menjadikan rakyat sebagai buruh. Ketimpangan ekonomi yang melebar hanya akan melahirkan kerusuhan sosial, karena ada kecemburuan sosial dengan pemilik modal yang kaya dengan rakyat kecil yang miskin.
Baca juga: Maling Motor Asal Lumajang Beraksi 15 Lokasi di Kabupaten Jember
Tentu kejadian di Selok Awar-awar yang terjadi di masa lalu tidak ingin kita ulangi dalam skala yang lebih besar. Kejadian tersebut bermula ketika ada salah satu pihak yang merasa sumber penghidupannya terganggu. Pemerintah jangan menyakiti hati rakyat dengan cara membiarkan mereka bersaing dengan pasar modern. Karena dari segi modal dan jaringan mereka jauh lebih unggul dibandingkan dengan toko klontong yang berdiri di pojokan gang.(red)
Penulis Edwin Almashuri : mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Brawijaya
Editor : Redaksi