Opini Akademisi
Disonasi Perilaku Komunikasi Kognitif Idul Fitri
Ada pandangan menarik dalam Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah ini. Hari raya besar umat Islam ini harus dilaksanakan ditengah pandemi Virus Corona. Berbagai upaya pencegahan virus Corona telah dilakukan pemerintah maupun tokoh agama dalam merayakan hari raya idul fitri ini. Agar umat Islam tetap mematuhi protokol pencegahan virus corona.
Tak hanya himbuan secara komunikasi langsung, himbuan dengan memanfaatkan media juga telah dilaksanakan. Baik media sosial maupun media mainstream.
Nyatanya, sangat menarik. Malam hari jelang raya idul fitri nyaris tak ada bedanya tanpa pandemi virus corona. Jalan-jalan tetap ramai dengan lalu-lalang kendaraan maupun manusia. Takbir keliling pun juga masih saut sautaan. Rombongan sepada angin tetap bergerombol sambil membuyikan gema takbir dan tahmid.
Tak hanya itu, sekumpulan penghobi sepeda motor kuno pun juga merayakan Hari Kemenangan umat Islam di pinggir-pinggir jalan raya. Praktis sejumlah titik jalan raya ini penuh dengan orang merayakan Idul Fitri.
Bahkan tak kalah hebohnya, berbagai macam bunyi petasan yang diseratai dengan sorak sorai pun menggema di beberap titik sudut kota dan desa. Nyaris tak ada keperihatian dalam menghadapi virus corona.
Lebih ironisnya, fenomena itu berlanjut pada siang harinya. Sholat idul fitri dan silaturrami tetap dilakukan dengan tanpa mengindahkan protokol pencegahan Covid-19.
Meski sebenarnya, ada juga warga melakukan sholat Idul Fitrih dengan tetap mematuhi Protokol penecegahan Covid 19. Mulai menjaga jarak memakai masker dan menjada pola kebersihan.
Ditengah abay pada pencegaan Covid-19 ini, sejumlah daerah mengalami trend peningkatan penderita virus Corona. Bahkan persebarannya cederung tak bisa dikendalikan. Meski beberapa daerah telah melakukan dan penerapkan Pembatasan Dalam Skala Besar (PSBB).
Jawa Timur sendri jumlah kasusnya sudah tiga ribu lebih. Untuk hari ini (23/20), jumlahnya 450 lebih. Sedangkan Lumajang tempat tinggal penulis, kasus pasien positif telah bertambah sebanyak tujuh orang. Hingga total keseluruhan mencapai 40 orang. Bahakan yang paling memprihatinkan, tujuh warga positif corona ini berada dalam satu RT atau dalam satu keluarga.
Konsistensi
Fenomena diatas menjadi sangat manarik dalam kacamata komunikasi. Masyarakat yang telah mengetahui tentang bahaya virus Corona dan pesebarannya, ternyata masih belum aware dengan perilakunya. Mereka seakan tak peduli dengan bahaya virus Corona. Meski nyata-nyata, virus Corona menjadi ancaman kehidupan manusia.
Tapi justru mereka melakukan kegiatan bertolak belakang dengan pengetahuan yang ada. Mulai dari himbuan pemerintah muluai media hingga himbuan dari tokoh agama.
Seharunya, dalam pandangan teori konsistensi ini, pelaku komunikasi ini harus aware dengan pengetahuan yang ada. Artinya mereka harus konsisten antara pikiran dengan prilakunya. Pengetahuan mereka ini memandu kognitifnya. Lalu, dikuti dengan sikap dan perilakukanya.
Karena manusia ini mencari keseimbangan antara pikiran dan perilakuknya atau lebih dikenal dengan Homeastasis. Sehingga manausia mendayakan keseimbangan antara prilaku dan pikirannya.
Ternyata, dalam gejala peristiwa komuniaksi merayakan idul fitri ini bertolak belakang. Justru perilaku mereka tak sesuai dengan pengetahuan yang ada. Mereka melakukan bertolak belakang. Mulai tak melakukan social distancing, physical distancing bahkan mereka juga tak menggunakan makser. Belum lagi juga melakukan kerumunan dan acara berkumpulan lebih dari 3 orang.
Fenomana ini dalam komunikasi bisa dimaknai dengan Disonasi kognitif. Menururt LitelJhon, pelaku komunikasi ini memiliki beberapa elemen kognitif yaitu, sikap, persepsi, pengetahuan dan perilaku. Dalam teori ini, seharausnya masing-masing elemen ini akan berhubungan yang satu dengan lainnnya dalam satu sistem. Meski dalam hubungannya-- menurut teori ini—memiliki tiga hubungan.
Pertama, tak berhubuagn atau kosong dalam hubungan. Tak ada hubungan antara satu elemen dengan elemen yang lainnya atau kadar hubungan sangat kecil anatra elemen satu dengan lainnya dalam satu ssitem.
Kedua, Cocok atau sesuai. Hubungan elemen satu degan lainya mengalami kecocokan atau kesesuain, atau masing masing elemen saling menguatkan antara satu dengan lainnya.
Ketiga, hubungan disonatif. Atau tidak sesuai anatra satu elemn satu elemen dengan eleman lainnya,. Atau satu elemen tak dapat diharapkan menghikuti elemen lainnya. Sehingga masing-masing elemn ini menjadi bertolak belakang.
Melihat peristiwa komunikasi merayakan Idul Fitri di tengah pandemi Covid 19 dengan tanpa mengidahkan protokol pencegana Covid-19 ini bisa dikatakan komunikasi disonasi kognitif. Masyarakat telah mengetahui jika Virus Corona ini sangat berbahaya dan menular anatra manusia yang lainnya.
Apalagi penularannya sangat cepat. Dan sulit dikendalikan. Bahkan klaster-klaster penularan terbaru terus bermunculan. Pasien positif banyak ditulari dari orang tanpa gejala atau secara klinik mengalami gejala klinis. Sehingga semakin membahayakan bagi para masyarakat banyak.
Hasilnya, dua pola komunikasi kognitif yang dihasilkan dari komunikasi disonasi ini. Pertama, prilaku yang akan menimbulkan ketegangan -keteganngan dalam komuikator tersendiri atau tekanan pada komunikasi sendiri. Sehingga sang komunikator akan berupaya melakukan keharusan untuk berubah.
Kedua, muncul prilaku atau sikap yang makin memberbesar disonasosinya. Atau makin memperlebar disonasinya. Dan ini yang terjadi dalam gejala merakan Idul Fitri tengah pandemi covid-19 tersebut. Banyak warga bukan justrus mencegahanya. Tapi justru makin memmperbesar dan bertentangan dengan protokol penceghan virus corona.
Komunikasi Pemerintah
Pemerintah seharusnya bersikap tegas dengan dalam upaya pencegan virus Corona ini. Lebih lebih bagi umat islam dalam merayakan Idul Fitri yang banyak mengindahkan protokol pencegahan pencegahan Covid-19. Pemerintah harus intensif dan ekstensif dalam melakukan komunikasi.
Tak hanya melalui instrumen birokrasi tapi juga dengan tokoh-tokoh masyarakat pun harus makin intensif meningkatkan kasadaran dalam melakukan pencegahan Covid-19. Sehingga semua elemen harus taat melaksanakan protokol penceghan Covid-19 tersebut.
Keyataannya, elemen pendukung pemerintah kurang berjalan dengan maksimal. Pemeriantah yang memiliki kewenangan mengatur dan melindungi masih kurang efektif dalam pencegahan dan penyebaran virus korona.
Jangan di level desa, kecamatan dan kabupaten/ kota pun masih kurang optimal dalam melakukan pencegahan tersebut. Persebaran virus bermula darii Cina ini terus makin meluas. Korban positif maupun meninggal terus berjatuhan diberbagai daerah di Indonesia, apalagi di Lumajang tempat penulis tinggal.
Meski atas fenomena ini, pemerinatah selalu berdalih dengan berbagai macam alasan, masyarakat yang kurang patuh. Negara Indonesia yang luas, tipografi pengunungan dan infra struktur komunikasi yang belum merata, jelas menjadi kendala. Tapi bukan alasan.
Apa pun itu, dalam kacamata komunikai pemerintah belum menunujkkan komunikasi yang efektif dalam melakukan pencegahan Covid-19. Bahkan daerah-daerah yang melakukan PSBB seperti Surabaya, Sidoarjo dan Gresik juga terus menunjukkan peningkatan persebaran virus tersebut. Bahkan cendrung tak bisa dikendalikan. Jawa Timur pun trendnya makin meningkat.
Gejala ini harus ditangkap serius pihak pemerintah. Maka dalam pandangan komunikasi disonatif kognitif ini pemerinatah harus mecarikan formula formula hingga terjadi konsistensi antara masing-masing elemen komunikasi kognitiff tersebut. Mulai dari sikap, persepsi, pengetahuan dan prilaku.
Menurut Festinger selaku pencetus teori disonatif ini, Pemerintah bisa malekukan langkah –langkah guna mewujudkan sikap konsistensi masyarakatnya. Baik dalam sekala luas maupun sekala kecil.
Langkah-langkah yang bisa diupayakan tersebut dalam melakukan penanggulangan Covid 19—mengacu pada teori Disonasi Kognitif. Pertama, bisa melakukan perubahan pada masing elemen-elemen komunikasi kognitif tersebut—sikap, persipasi, pengatahuan dan prilaku. Bauka mengibah aspeks pengetahuan taunnya atau elemenn lainnya. Sehingga terjadi konsistensi dalam pelaku komunikasinya.
Kedua, bisa dengan menambah elemen-elemen baru dalam elemen komuniaksi kognitif tersebut. Misalnya dengan memberikan edukasi-edukasi pengetahuan agama yang memberikan arahan tentang tata cara pengecegahan Covid. Ketiga bisa, memandang salah satu elemen dari komunikasi kognitif ini dianggap tidak penting. Mislanya prilaku merayakan Idul Fitri tanpa melakukan pencegahan covid harus tak penting. tapi jsutru akan makin membahayakan.
Post Disicional Disonatif
Maka dari itu, semua elemen masyarakat harus bahu membahu dalam pencegahanvirus corona. Sehingga persebaran virsu asal China ini tak makin menyebar kemana-mana. Meski tren persebaran ini di Indonesia makin tak terkendalikan. Jika hal ini terus terjadi tak menutup kemungkinan persebarannya makin meluas ke seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Imbasnya, jika kita merasakan data ini, semua sektor terdamapak akibat pandemni covid-19 tersebut. Mulai dari ekonom, Politik, media, agama, komunikasi dan kesehtan.
Sektor Ekonomi, semua negara hingga desa mengalami stagnasi, harga –harga pertanian menurun dan pendapatan masyarakat pun juga menurun. Bahkan berjung pada peningkatan angka kemiskinan di masyarakat. Bahkan yang paling parah, juga akan mengancam keberlangsungan hidup manusia. Karena kelaparan. Bisa-bisa berujung ketidak stabilan sosial ditengah masyarakat.
Politik, juga mengahasilkan politik yang gagap. Buktinya banyak kebijakan pemerintah yang gagap dalam menanggapi virus corona tersebut. Ini terlihat adanya banyak kebijakan yang tak kosisten antara kebijakan yang satu dengan lainnya. Bahkan anntara daerah pun kerapak tak sinkron antara satu dengan lainnya.
Media pun demikian, banyak media harus kelimpungan dalam mempertahkan usahanya. Karena merosotnya ekonominya. Bahkan media melakukan pemutusan hubungan kerjanya dengan karyawan. Hal ini mengancam keberlangsungn usaha media. Lebih lebih pada kehidupkan bagi kawan-kawan jurnalis untuk menyampaika informasi dalam mendukung pemerintah melawan covid-19.
Di bidang agama, juga mengubah pola beragama lama. Menjadi pola beragama baru. Wujudnya, beragama dengan memanfaatkan cara-cara dengan digital.
Dan yang tak kalah penting juga komunikasi. Komuniaksi pun terus mengalami perubahan akibat dampak virus corona tersebut. Baik komunikasi verbal maupun norverbal. Baik dalam komuniaisi antara pribadi, kelompok, organisasi dan bentuk komunikasi lainnya.
Pandemi ini, membuat manusian sedang menemukan babak baru melakukan komunikasi teknologi secara intensif. Tak hanya memliki dampak positif, komunikasi teknologi ini juga berdampak negatif.
Dampak negatif teknologi, misalnya. Makin memperlebar jarak sosial, alienasi dan komunikasi penuh dengan pencitraan dan artifisial. Sehingga banyak komunikasi manipulasi. Meski dengan teknologi ini juga memiliki sisi positifnya, yiatu dapat mencegah virus corona, juga makin mendekatkan keluarga yang jauh. Dan terpenting juga dapat terjalin komunikasi dengan orang lain dengan mudah atas bantuan teknologi tersebut.
Kesehatan juga tak kalah pentinya, virus Corona menyerang manusia. Tak jarang manusia harus meninggal atas serangan virus tersebut. Mampu menelan korban ratusan hingga jutaaan. sehingga kita semua harus mengantisipasi terhadap dampak kesehatan tersebut.
Mengingat besarnya dampak virus corona tersebut pada semua aspek kehidupan manusia. Jika perserabarannya makin tak terkendali. Maka dibutuhkan langkah -langkah riil bagi semua elemen untuk menanggulanginya. Kesadaran itu penting bagi masyarakat. Inilah tugas pemerintah selaku pemangku kebijakan melindung warganya.
Tak hanya pemerintah yang bertanggung jawab, tokoh agama dan semua elemen masyarakat lainnya. Termasuk pribadi pribadi kita sendiri, terutama dari keluarga agar kita aman dan terlindungi dari persebaran virus corona.
Saat ini bukan lagi tenaga medis yang menjadi garda terdepan dalam pencegahan Covid-19. Tapi semua masyarakat harus peduli dengan pencegahan virus Corona tersebut. Masyarakatlah yang harus menjadi garda terdapatan dalam penecegaan ini. Sebelum kita akan mengalami penyesalan atau Post Disicional Disonatif. Lawan Corona. Wallau alam.*
* Penulis : Achmad Arifulin Nuha, M.I.Kom, Kaprodi Komunikasi Penyiaran Islam IAI Syarifuddin Lumajang
Editor : Redaksi