Opini Santri

Hari Santri dalam Otentisitas dan Perlawanan Dominasi

Penulis : lumajangsatu.com -
Hari Santri dalam Otentisitas dan Perlawanan Dominasi
Penulis : Achmad Arifullin Nuha, Alumni Ponpes Kyai Syarifuddin, Dosen IAI Syarifuddin, Ketua LTNU PC NU Lumajang dan Direktur Perumdam Tirta Mahameru.

Tanggal 22 Oktober kemarin, hari Santri diperingatkan. Semua elemen pesantren memeriahkan momen bersejarah tersebut. Berbagai macam aneka acara digelar untuk mengungkapkan rasa bahagia. Mulai dari upacara, lomba-lomba. Pokoknya, hal yang menunjukkan rasa syukur akan hari penetapan hari santri.

Bahkan sejumlah lembaga pemerintah, mungkin semua juga memperingati hari Santri tersebut. Sampai sampai sejumlah lembaga mewajibkan memakai sarung.

Ternyata, hingar bingar hari santri ini tak hanya di dunia nyata, peringatan hari santri ini juga ramai di dunia Maya. Berbagai ucapan selamat, bahkan kegiatan dan film yang berkaitan dengan hari santri juga menghiasi cyber peace tersebut.

Otentitas

Entitas pesantren yang dalam buku Zamakhsyari Dhofier, terdiri dari Kiai, Ustad dan Santri ini memberikan elan vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan terwujudnya kemerdekan Republik Indonesia ini, juga tak luput peran dari kaum pesantren.

Dialektika ruang pesantren ini menumbuhkan semangat produksi dan reproduksi pengetahuan. Hingga berakhir pada Perlawanan.

Pesantren ini pula yang menamakan gagasan nilai-nilai melawan penjajahan. Baik secara pikiran, budaya maupun fisik. Dan pesantren pula yang melakukan filter akan nilai nilai yang dari luar dan bertentangan nilai nilai pesantren.

Pesantren sangat otentik. Tak heran jika pesantren dikatakan sebagai indigenous lembaga pendidikan di Indonesia.

Banyak tokoh-tokoh yang dilahirkan dari pesantren. Sekian pahlawan nasional juga tokoh tokoh yang mungkin namanya tenggelam namun memberikan manfaat besar bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Misalnya, Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai As'ad Syamsul Arifin.

Tak hanya sejumlah tokoh, pesantren juga memberikan wahana dalam kehidupan beragama. Pesantren merupakan lembaga satu satunya yang komitmen mengajarkan sirah sesuai dengan ajaran Nabi. Pesantren yang mencetak para ulama.

Hubungan antara kiai dan ustad ini menegaskan pengetahuan yang asli. Tak hanya karena memiliki mata rantai pada Baginda Nabi Muhammad, Pengetahuan pesantren juga hasil dialektika lingkungan. Bukan hanya pengetahuan yang disari dari kitab-kitab klasik saja, namun pesantren mencoba kontekstualisasi dalam kehidupan masyarakat.

Itulah pesantren. Maka tak heran pesantren menjadi salah satu tumpuan pendidikan masyarakat Indonesia. Terutama di era Pandemi Covid 19 ini, pesantren menjadi salah satu penjaga pengetahuan dan moral bagi generasi penerus bangsa. Ditengah terpaan teknologi digital menjadi arus kegiatan anak muda.

Maka tak heran, pendidikan dalam pesantren ini tak hanya diajarkan ilmu agama semata saja. Namun relasi hubungan guru dengan santri, juga menemukan nilai moral. Bahkan hubungan ini bagian dari kontekstual hidup dalam bermasyarakat.

Santri yang lahir dari pesantren tak akan lagi gamang dalam menapak kehidupan. Karena sejak dini, santri telah menjalani hidup berdampingan dengan masyarakat lingkungan pesantren. Baik secara ekonomi, lebih-lebih mengenai tatanan karakter dan moral.

Perjalanan Pesantren

Namun dalam perjalanannya, peran besar pesantren tak berjalan mulus. Relasi pesantren dalam nalar kuasa selalu menjadi subordinat. Bahkan peran pesantren menjadi tiada.

Negara pada kala itu, tak banyak melirik pesantren sebagian modal sosial, ekonomi, politik dalam pengembangan masyarakat Indonesia secara genuine. Meski telah nyata peran dan kiprah pesantren dalam keterlibatannya membangun bangsa dengan sejuta ragam budaya tersebut.

Alih-alih, negara justru lebih memprioritaskan budaya, ekonomi, pendidikan serta struktur sosial yang importir. Bahkan rujukan ini menjadi derita sejarah panjang dosa kolonialisasi kaum penjajah.

Pesantren hanya tiarap. Bahkan pesantren yang kesannya hanya menjadi bahan komoditas sosial maupun politik. Terutama di momen politik Pilkada, Pileg maupun Pilpres.

Nahdlatul Ulama (NU), ormas satu-satunya, terus mengurus pesantren. Karena organisasi yang didirikan ulama ini memiliki tugas dan tanggung jawab dalam meneruskan perjuangan para ulama pesantren.

Maka tak heran, tokoh NU terus melakukan gerakan-gerakan guna menyeimbangkan hubungan negara dengan pesantren. Sehingga negara bisa mengakui peran pesantren dalam ikut terlibat membesarkan bangsa ini. Bukan justru negara meminggirkan nilai juang para ulama pesantren.

Perlawanan Dominasi

Pesantren yang identik dengan kaum sarungan menjadi kosakata minor dalam kehidupan bangsa Indonesia ini. Mulai mendapatkan labeling yang kolot, tradisional. Bahkan terbelakang.

Bahkan julukan itu justru dijustifikasi oleh segolongan orang berpendidikan. Tak hanya itu, labeling ini diabsahkan dengan produksi pengetahuan. Bagaikan tertimpa tangga, orang pesantren benar benar dipinggirkan.

Tak hanya dalam relasi sosial budaya, secara politik kuasa pun terjebak dalam ranah subordinasi. Hanya sedikit pesantren yang melakukan harmonisasi dengan kekuasaan.

Pesantren yang dibangun para ulama ini melakukan konsolidasi moral dan agama. Bahkan agama menjadikan ruh pembebasan dominasi dari material. Terutama material kuasa dan ekonomi.

Corak khas kehidupan pesantren dengan ranah kasih sayang pada sesama menjadi alat perjuangan berbangsa dan bernegara. Sumber Daya manusia jebolan pesantren pula, menjadi pioner dalam kehidupan yang beragam ini.

Bahkan manusia jebolan pesantren ini justru menjadi motor dalam kerukuan berbangssa dan bernegara. Baik etnisitas, ras dan agama.

Sedangkan negara yang awalnya mengimpor pengetahuan dari luar pun mulai kewalahan. Beragam ideologi bertarung untuk memenangkan dominasi. Mulia liberalis, ekonomi hingga puritanisme agama.

Tak ayal, pertahanan negara dalam membangun kerukunan berbangsa dan bernegara goyah. Gelombang krisis ekonomi dan sendi-sendi bangsa pun ikut rusak. Sehingga negara harus
kembali pada nilai luhur dan jati diri bangsa.

Tak hanya itu, kerukunan beragama pun memulai tenacam dengan munculnya berbagai titik aksi terorisme yang mengatasnamakan agama. Paham agama yang keras dan puritan ini, kerap beranggapan orang yang tak sama harus dimusnahkan.

Inilah momentum pesantren bangkit. Pesantren harus keluar dari baraknya. Pesantrenharus menjadi aras budaya, moral dan pengetahuan dalam bernbagsa dan bernegara.

Syukur, pada tanggal 22 Oktober 2015, pemerintah Indonesia telah meresmikan hari santri. Presiden Joko Widodo memberikan kado istimewa pada kalangan pesantren tersebut .Ini merupakan pintu gebang pesantren dalam melakukan konsolidasi, baik budaya, mural, ekonomi maupun politik.

Pengambilan tanggal 22 Oktober ini, bukan tanpa alasan. Ini merupakan titik sejarah kritis perjuangan fisik kaum santri dalam melawan penjajah. Setelah, Kiai Hasyim Asy'ari mengeluarkan resolusi jihad, semua kaum santri terus ke medan pertempuran. Kaum santri yang dipimpin para ulama berhasil mengusir para penjajah.

Semangat perlawanan akan penindasan dan dominasi ini menjadi ruhnya. Baik penindasan secara fisik maupun non fisik. Baik Produksi kultural maupun struktural. Tak terkecuali pengetahuan represif.

Hari Santri yang memasuki tahun ke-6 ini, harus terus menjadi refleksi diri kaum pesantren. Pasalnya, banyak pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan.

Peringatan hari santri yang dirayakan setiap tahun ini bukan pintu akhir perjuangan. Namun ini, merupakan pintu awal menyebarkan nilai-nilai perjuangan dan kemanfaatan bagi umat manusia. Tak hanya Indonesia tapi juga di dunia.

Pesantren harus terus mengejawantahkan nilai nilai perjuangan ulama. Sebagai penerus para Nabi, Pesantren harus melakukan konsolidasi dan deteksi dini terhadap nalar ideologi dominan yang kerap represif dan eksploitatif. Sehingga menghilangkan nilai nilai kemanusiaan.

Kran keterbukaan juga menjadi tantangan. digitalisasi komunikasi merupakan tembok yang harus dihadapi pesantren. Jangan sampai pesantren terbenam dengan dominasi informasi dalam aras digitalisasi yang makin tak terbendung tersebut.

Pesantren harus menjadi konter perlawanan dalam menjaga moral dan karakter bangsa yang genuin untuk menggapai sejahtera dan beradab

Meski berbagai aktivitas untuk melawan upaya dominasi terus dilakukan. Mulai berkaitan langsung dengan masyarakat, hingga menyeimbangkan harmonisasi dalam keberagaman. Inilah Indonesia. Negara dengan beragam suku bangsa, bahasa maupun budaya. Ini pula semangat juang pesantren. Hidup dalam kerukunan dengan menolak penindasan. Ini dalam langkah juang. (*)

 *) Penulis : Achmad Arifullin Nuha

Alumni Ponpes Kyai Syarifuddin, Dosen IAI Syarifuddin, Ketua LTNU PC NU Lumajang dan Direktur Perumdam Tirta Mahameru

 

 

Editor : Redaksi

Opini

Euthanasia dan Perawatan Paliatif, Dilema Etik Antara Hak Hidup dan Hak Untuk Mengakhiri Penderitaan

Lumajang - Saat ini dunia ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan sudah sangat maju khusus pada bidang kesehatan. Dengan adanya kemajuan tersebut segala hal akan menjadi lebih mudah untuk dilakukan, seperti dalam hal mendiagnosis penyakit dan menentukan kemungkinan waktu kematian seseorang dengan tingkat akurasi tinggi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan logis. Bahkan para dokter kini pun juga dapat memberikan bantuan dalam mengakhiri kehidupan pasien  dengan kondisi medis yang memiliki tingkat kesembuhan relatif rendah atau dalam kondisi penyakit terminal. Proses ini dikenal dengan istilah Euthanasia (Fahrezi & Michael, 2024).