Lumajang - Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (PMII) Syarifuddin Gelar Diskusi Dinamika Rumusan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Hal tersebut dilandasi karena tingginya angka kekerasan seksual, serta dihapusnya RUU PKS dari Program Legislasi Nasional (prolegnas) 2020, Sabtu (05/09/2020).
Diskusi tersebut dinarasumberi oleh majelis pembina cabang PMII, Fathonah Al Hadromi dan Ketua kopri PMII Lumajang Eka Hariyati serta di ikuti 50 kader dan anggota PMII Syarifuddin.
Baca juga: KPU Mulai Distribusikan Logistik Pilkada Lumajang 2024
Fathonah Al Hadromi mengungkapkan bahwa munculnya RUU PKS karena tingginya angka kekerasan, tetapi mengalami banyak perdebatan hingga tidak masuk dalam Prolegnas 2020. "Yang tidak sepakat hanya melihat dari konteks agama saja, tidak melihat realitanya,"ungkapnya.
Wanita asal banyuputih tersebut mengungkapkan bahwa ada titik tertentu di Lumajang yang rawan kekerasan seksual. "Saya sering dapat cerita sahabat, tetangga yang pernah dapat kekerasan seksual. Ada yang lagi naik sepeda dipegang bagian-bagian tertentu sama oknum,"ungkapnya.
Senada dengan Fathonah, Eka Hariyati mengungkapkan bahwa Lumajang rawan kekerasan seksual, korban jarang yang mau lapor karena mungkin kekerasan perempuan dianggap aib yang harus ditutupi.
Baca juga: Beredar Foto Mesra Mirip Ketua DPRD Lumajang, Masyarakat Peduli Moral dan Pendekar Lapor ke BK Dewan
"Baru-baru ini di Lumajang, ada seorang ayah kandung menyetubuhi anaknya beberapa kali. Itu diketahui karena melapor dan korban sudah mengalaminya berkali-kali,"ungkapnya.
Mantan wakil presiden mahasiswa STKIP PGRI tersebut mengungkapkan bahwa terkait pengesahan RUU PKS sudah ditindaki lembaga atas PMII. "Kemarin PB PMII sudah melakukan survey kekerasan seksual, PMII Kabupaten berjuang bagaimana caranya masyarakat sadar terkait kekerasan seksual, serta berani melapor,".
Baca juga: Euthanasia dan Perawatan Paliatif, Dilema Etik Antara Hak Hidup dan Hak Untuk Mengakhiri Penderitaan
Ketua kopri PMII Syarifuddin Linda Nur Wahyuningsih mengungkapkan bahwa RUU PKS harus dikawal pengesahanya, karena kekerasan seksual semakin meningkat. Komnas perempuan mencatat sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2019.
"Jumlah tersebut naik sebesar 6 persen dari tahun sebelumnya, yakni 406.178 kasus. Kebijakan pemerintah harus berjalan secara kontekstual,"ungkap wanita asal wonorejo tersebut. (Oky/ls/red)
Editor : Redaksi