Lumajang - Salah satu tradisi masyarakat Indonesia sering melakukan "selamatan", yaitu mengundang masyarakat, agar membaca dzikir bersama berupa istighfar, tasbih, tahmid, tahlil, sholawat, Yasin dan bacaan-bacaan yang lain, setelah selesai melaksanakan dzikir melakukan doa bersama yang dipimpin kyai atau ustad. Kemudian mereka disuguhi makanan dengan beraneka ragam menu, diantaranya kue, lauk pauk, buah-buahan dan lain sebagainya.
Tradisi selamatan ini dilakukan di dalam macam-macam momen, seperti ketika memiliki rumah baru, menempati rumah baru, membuka tempat usaha baru, mau masuk sekolah, lulus sekolah, pertunangan, pernikahan, hamil, melahirkan dan lain sebagainya.
Baca juga: Beredar Foto Mesra Mirip Ketua DPRD Lumajang, Masyarakat Peduli Moral dan Pendekar Lapor ke BK Dewan
Yang menjadi pertanyaan, apakah tradisi "selamatan' sekedar tradisi masyarakat tanpa ada dasar agama atau ada dasar agama, baik yang sifatnya tekstual maupun kontekstual, baik secara mantuq maupun secara mafhum?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu pembahasan secara jelas dan terperinci, apa maksud dan tujuan tradisi "selamatan", sehingga diketahui illat hukum syariahnya dan mudah didapatkan dasar hukumnya, yang diambil dari Alquran dan hadis.
Tujuan "selamatan" agar hajatnya terkabulkan dan terhindar dari marabahaya. Berdasarkan tujuan ini, maka seorang yang melakukan "selamatan" , dengan berdoa kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan minta tolong kepada orang-orang sholeh agar hidupnya terkabulkan dan terhindar dari mara bahaya, serta bersedekah kepada orang sholeh dan pada masyarakat agar hajatnya terkabulkan dan terhindar dari segala marabahaya.
Hal ini terlihat dengan nyata, dimana "selamatan' diawali dengan dengan tawassul kepada Rasulullah, para nabi, para sahabat dan para almarhum yang dituju oleh shohibul hajah, lalu berdzikir bersama dengan membaca surat al-Fatihah, Surat Yasin, tasbih tahmid, tahlil, sholawat dan lain sebagainya, kemudian berdoa bersama, yang dipimpin oleh Kyai atau ustad. Setelah dzikir selesai dilanjutkan dengan pemberian sedekah dari orang yang melakukan "selamatan" berupa hidangan, dengan bermacam-macam menu makan , kue dan buah-buahan. setelah pulang dibawain berkat dan salam tempel.
Jika diteliti pelaksanaan selamatan itu mengandung dua hal yaitu:
Pertama, berdzikir dan berdoa. Alquran dan hadis menganjurkan kepada umat Islam agar banyak berdoa kepada Allah, agar hajatnya terkabulkan dan terhindar dari marabahaya, Allah berjanji akan mengabulkan doa seorang hamba yang berdoa kepada Allah dengan tulus ikhlas, doa yang dipanjatkan umat Islam akan mudah dikabulkan apabila diawali dengan dzikir berupa istighfar, shalawat, tasbih, tahmid dan bacaan surat Alquran.
Baca juga: Euthanasia dan Perawatan Paliatif, Dilema Etik Antara Hak Hidup dan Hak Untuk Mengakhiri Penderitaan
Allah berfirman:
"Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu (Hai Muhammad) tentang Aku, maka katakanlah kepada mereka bahwa Aku adalah dekat kepadanya dan Aku memperkenankan doa orang yang berdoa kepada-Ku." (QS Al-Baqarah: 186)
Kedua, dalam tradisi "selamatan" tuan rumah atau shohibul hajat memberikan shodaqoh kepada para undangan, baik itu ulama, ustaz maupun pada undangan biasa, shodaqoh yang diberikan berupa makanan, minuman, uang dan lain sebagainya. Sedangkan shodaqoh yang diberikan pada orang lain dengan ikhlas karena Allah dan berpegang teguh kepada etika shodaqoh akan menolak bala' atau menangkal marabahaya.
Rasulullah bersabda:
Baca juga: Badan POM Jember Evaluasi Program Keamanan Pangan di Kabupaten Lumajang
“Sedekah menutup 70 pintu keburukan.” (HR Thabrani)
Dengan demikian "selamatan" adalah amalan sunnah dimana isi amaliah "selamatan" berdasarkan Alquran dan hadis, yaitu berupa dzikir, doa bersama dan shodaqoh, oleh karena itu umat Islam sangat dianjurkan melakukan "selamatan", agar selalu mendapatkan hajatnya yang baik dan terhindar dari segala marabahaya. Wallahu a'lam bishshawab
Penulis : Abdul Wadud Nafis Pengasuh Ponpes Manarul Qur’an Kutorenon-Lumajang
Editor : Redaksi