Lumajang(Lumajangsatu.com) - Meski dianggap jurus lapangan dan makin sering digunakan para politisi, kata ”gertak” ditemui dalam literatur manajemen dan etika bisnis. Secara ilmiah para ahli menjabarkan, gertak berhubungan dengan kepentingan (usaha) untuk mendapatkan sesuatu. Ini menjadi relevan untuk dikaji kalau politisi berbisnis, apalagi menggunakan politik untuk melapangkan bisnis dan mendapatkan keuntungan. Maka, selalu ada dilema antara usaha (bisnis) dan moralitas personal. Tak jarang, gertak hanyalah tipu muslihat yang belum tentu mengandung kekuatan, tetapi sudah menimbulkan keresahan dalam masyarakat dan menimbulkan perpecahan. Padahal, dalam jurus yang kita kenal dalam praktik politik, keberanian penggertak hanya ada sebatas pandangan mata. Maksud saya, begitu yang digertak takut, penggertak bisa menjadi lebih agresif. Kalau tak terkendali, yang muncul adalah penindasan, pengerahan massa, bahkan tak jarang serangan rasisme. Dan mereka pun mengabaikan Tuhan yang memerintahkan kejujuran dan menghormati keberagaman. Dilema PNS Barangkali yang perlu kita waspadai belakangan ini justru gertak yang dialamatkan pada mereka yang fragile terhadap jabatan. Dalam hal ini aparat pemerintah daerah atau pegawai negeri sipil (PNS). Dalam banyak segi, PNS adalah profesi paradoks: kuat dan penting, tetapi sekaligus lemah. Begitu penting dan kuatnya sehingga dalam menjalankan tugasnya mereka disumpah, diseleksi dari puluhan ribu orang untuk menegakkan aturan, memegang mandat UU. Kariernya menjadi pejabat, menguasai anggaran superjumbo (karena pemerintah adalah pembelanja yang besar). Namun, di sisi lain, desain organisasi, aturan, dan perilakunya membuat mereka lemah: strukturnya mekanistik, jenjang karier dikaitkan dengan lama tugas, gaji tetap rendah, dan kesejahteraan dikaitkan dengan jabatan. Akibatnya, para pejabat paling takut dengan kata ”mutasi.” Setiap kali pimpinan baru datang, yang membuat mereka stres hanya satu kata: mutasi. Dan, menurut Maxwell (2000), aparatur yang demikian dapat membelenggu masa depan suatu bangsa. Sebab, melahirkan kepemimpinan level terendah: yang diakui keberadaannya karena ia pemegang SK (surat keputusan mengenai jabatan itu), dan bawahan tunduk hanya karena keharusan struktural. Loyalitas pada pemberi jabatan menjadi lebih penting ketimbang terhadap publik. Perhatian terhadap kinerja, apalagi pengembangan sumber daya manusia bukan dianggap sebagai hal yang penting. Ini menjadi masalah besar ketika pimpinan baru menghendaki perubahan, dari pelayanan ke atas menjadi pelayanan publik. Dan, akibat semua itu, mereka menjadi mudah digertak. Struktur dan aturan tercabik-cabik, intervensi menimbulkan praktik kolusi dan korupsi. Kata Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, ”Ketika lewat seekor sapi berbobot setengah ton, PNS yang hanya butuh lima kilogram daging sapi, tetapi amat berkuasa menjadi tergoda. Pertanyaannya, bisakah hanya mengambil lima kilogram saja?” Korupsi pengadaan dan menyelewengkan aturan hanyalah sebagian kecil dari tumpukan masalah yang dihadapi aparatur sipil negara. Tetapi, ribuan abdi negara yang menyandang surat keputusan menjadi pejabat pada dasarnya adalah singa-singa yang cerdik (lulusan UI, ITB, UGM, dan seterusnya). Namun, DNA nya berubah saat dipimpin, maaf, oleh sosok bermental kambing. Itulah yang saya sebut sebagai singa yang mengembik (Agility, Gramedia, 2015). Digertak politisi sedikit, langsung dikabulkan pengeluaran siluman triliunan rupiah. Mereka lupa, rakyat tidak membutuhkan barang-barang dan jasa yang diajukan para penggertak yang mengancam dengan jurus mutasi. Mereka tunduk karena takut kehilangan. Dan, pertentangan batin dimulai: antara kepentingan dan moralitas personal. Risma dan Basuki Ibarat singa yang mengaum, perjalanan demokrasi Indonesia diwarnai juga dengan pemimpin-pemimpin yang gagah berani. Tetapi, tak sedikit yang memilih berkompromi begitu menjalani gertakan-gertakan yang lebih keras dari kemampuannya menutupi kelemahannya. Kata kompromi telah menjadi model dalam politik Indonesia, dan itu pulalah yang ada di kepala banyak pihak untuk meredam suasana panas yang meletihkan. Sementara perubahan justru membutuhkan pemimpin yang tak berkompromi. Mereka ingin korupsi diberantas, tetapi tak mau menerima kenyataan bahwa koruptor harus diperiksa dan penyerapan anggaran tak bisa lagi dijadikan indikator kinerja. Sebab, dengan peraturan yang baik, seharusnya biaya yang dikeluarkan bisa banyak dihemat, dan otomatis persentase penyerapannya turun. Di dunia ini tak ada lagi bangsa yang menerapkan persentase penyerapan sebagai haluan kinerja. Tetapi, untuk menggertak, ini pun bisa dilakukan. Menarik disimak, Indonesia tiba-tiba mendapat kiriman singa-singa perkasa yang maju tak gentar, anti gertak. Tri Rismaharini dan Basuki Tjahaja Purnama adalah dua di antara singa-singa yang anti gertak itu. Digertak akan dimakzulkan, diberi hak angket, diancam jabatannya akan hilang, tak menyurutkan langkahnya. Bahkan diancam pembunuhan, atau diserang secara rasis, pun mereka hadapi. Ada kehebohan karena ideologis yang terang-terangan memanipulasi persepsi kita. Tetapi, di luar ini kebenaran sulit disembunyikan. Risma dan Basuki bukanlah singa yang mengembik karena mereka menjunjung nilai-nilai. Pemimpin seperti ini kelak akan terlihat kinerjanya. Menghancurkan mafia adalah prestasi besar seorang pemimpin. Jauh di atas kinerja-kinerja operasional yang melibatkan banyak orang. Indonesia tengah berubah. Dan, untuk berubah harus ada pihak yang berani berkorban, memutus rantai kebohongan dan rantai manipulasi. Kalau para calon presiden saja ”ngeper” melihat hasil jajak pendapat yang tak mencerminkan popularitasnya, apakah para ketua partai tak ”ngeper” melihat dukungan publik yang begitu rendah terhadap praktik-praktik penggertakan yang dilakukan orang-orang yang tak peduli pada kepentingan publik?. (Kompas.com/red) Di Tulis oleh Rhenald Kasali, Guru Besar FEUI
Author : Redaksi
Tender Siluman, Sebuah Kejahatan Terorganisasi, Adakah di Lumajang?
Lumajang(Lumajangsatu.com) - Mulanya saya tidak percaya sewaktu seseorang yang ikut dalam proses lelang di sebuah pemprov diancam akan ditusuk. Bukan cuma diancam. Di Bogor tahun 2008 seorang peserta lelang ditusuk betulan begitu ia memasukkan berkas penawaran (Pikiran Rakyat, 28/7). Lalu di Riau, panitia lelang juga ditusuk mafia lelang. Tetapi begitu membaca berita tentang pemenang-pemenang tender siluman di Pemprov DKI beserta lokasi kantornya beberapa hari ini, menjadi amat jelas. Terang saja kita sering merasa pemerintah tidak hadir. Jalan-jalan di kampung diurus warga sendiri-sendiri, swasembada. Supaya kampungnya aman, warga harus mencantol kabel PLN secara ilegal dengan lampu neon urunan warga. Kita juga sering melihat betapa “bodohnya” pemerintah memberikan hibah peralatan yang sama sekali tak bisa dipakai. Pengusaha UMKM mendapat alat potong tempe, tetapi pisaunya kebesaran. Rumah sakit mendapatkan alat-alat kesehatan, tetapi jarumnya setebal jarum suntik sapi, sarung tangan operasi untuk ukuran tangan orang Afrika, atau plester operasi yang lengket. Praktik seperti itu sudah lama kita dengar dan lihat sendiri. Di kampung tempat saya tinggal di Jatimurni-Bekasi, warga masyarakat menaruh kaleng-kaleng sumbangan untuk merawat para janda dan anak yatim yang seharusnya diurus negara. Keamanan, sampah, penerangan, kegiatan sosial, bahkan pendidikan dan lingkungan hidup, hampir semuanya diurus warga tanpa keterlibatan pemerintah. Tapi kalau hal ini ditanyakan pada gubernur atau walikota, mereka tidak terima. Pasalnya, Pak Guberbur atau Pak Wali (merasa) sudah bekerja keras. Sekarang borok-borok yang sudah lama kita rasakan itu dibuka oleh Gubernur DKI. Saya berharap kita tidak buru-buru menutup kasus ini. Kita harus memasang lampu terang-terang di tengah-tengah sarang tikus, memasang jerat yang kuat dan memasang sistem pencegahan baru yang tak bisa lagi ditembus oleh siluman-siluman liar. Negeri ini tengah disandera para "mafioso" dari atas sampai ke bawah. Penjahat Mengusir Si Baik Hampir semua kontraktor tahu persis bahwa sebagian besar (sekitar 90 persen) peserta lelang barang-barang dan jasa pemerintah adalah pengusaha abal-abal. Selain alamat kantornya tidak jelas, pengurusnya pun tak banyak dikenal. Apalagi kehandalan teknisnya. Mereka umumnya punya beberapa bendera (perusahaan) yang dipakai dengan satu tujuan: memenangkan lelang. Pada saat memasukkan dan pembukaan dokumen lelang yang dilakukan secara terbuka, mereka pun mengutus orang-orang berwajah garang. Kata-kata mereka sangat pedas, membuat nyali orang-orang baik cepat ciut. Jumlah mereka amat banyak. Kuat membentak, bahkan mengancam peserta lelang baru yang bersusah payah membangun reputasi dan kualitas. Tetapi jangan salah, ada juga di antara mereka yang bertugas menggarap orang-orang baik itu agar bersiap-siap menjadi subkontraktor. Kadang mereka bekerjasama dengan panitia lelang. Maksud saya, kalau tak bisa diajak bekerjasama, mereka pun diberi ancaman yang serius. Anda mungkin pernah membaca, panitia lelang di Riau yang ditusuk oleh seorang peserta lelang yang merasa terancam karena ia menduga panitia punya jagoan lain. Jadi panitia lelang boleh saja punya “jagoan” calon pemenang. Tetapi pemenang yang sebenarnya tidak bisa lain selain para pemain yang sudah memasang pasukan lapangan tadi. Karena kewalahan, tak jarang terbentuklah sebuah persekongkolan. Pengusaha-pengusaha baik dikalahkan mafia, yang mengatur lelang bersama panitia. Bila dulu subkontraktor bisa menerima 70 persen dari nilai proyek, maka pengamatan saya, kini mereka hanya menerima sekitar 30 persen saja. Maka tak heran kalau sekolah-sekolah yang tak memerlukan UPS dipaksa menerima barang yang harga sebenarnya hanya beberapa juta rupiah saja yang telah di mark up menjadi Rp 5 miliar hingga Rp 6 miliar. Mengapa saya ingin agar kasus yang tengah terjadi di DKI ini dibuat terang benderang? Jawabnya adalah karena penyakit ini sesungguhnya merata terjadi di hampir semua provinsi dan kabupaten. Setidaknya ada tiga dampak besar. Pertama, barang-barang yang diberikan negara bukanlah barang yang dibutuhkan rakyat, yang berakibat rakyat tak pernah merasakan kehadiran pemerintahnya. Kedua, negara selalu dirugikan. Harga yang dibayar sangat mahal untuk barang berkualitas sangat buruk. Bayangkan saja nilai sebesar Rp 1,302 triliun yang dipakai untuk membangun kawasan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah (P3SON) atlet di Hambalang, akhirnya berakhir dengan terbengkalainya proyek tersebut. Ketiga, pemain-pemain itu semakin kuat, semakin membesar akumulasi modalnya dan merasuk ke pusat-pusat pengambilan keputusan di atas. Kalau gubernur/ bupati atau walikota bersih, mereka akan menekan panitia-panitia lelang hingga satu level di bawah kepala dinas. Kalau mereka sudah dikawal oleh e-precurement dan sulit dimanipulasi, maka mereka akan membeli orang-orang di legislatif. Kalau e-budgeting sudah terjadi, maka terjadilah upaya-upaya pemakzulan. Tak mustahil pula mereka sudah punya cukup uang untuk "nyaleg" dan terpilih, sehingga banyak yang telah menjadi bagian dari legislator atau pejabat yang sudah sering kita dengar peranannya. Inilah sebenarnya musuh besar Republik Indonesia pasca-reformasi yang harus kita perangi bersama-sama. Saya ingin mengajak orang-orang partai politik yang merasa dirinya masih bersih untuk ikut berperang melawan para begal yang merusak nasib jutaan warganya lewat proses lelang. Kita, warga negara Indonesia, bukan tengah membela Ahok, melainkan membela kepentingan kita sebagai warganegara. Janganlah kita pura- pura bodoh membaca kejadian ini hanya karena kita melihat dengan kacamata kepentingan atau ideologis. Ini adalah sebuah kejahatan terorganisir. (Kompas.com/red) Penulis adalah Prof. Rhenald Kasali Prof. Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria bergelar PhD dari University of Illinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi pansel KPK sebanyak 4 kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi role model dari social business di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis berjudul Self Driving: Merubah Mental Passengers Menjadi Drivers.
Ayub Khan Anggota DPR RI Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan Antisipasi Radikalisme
Lumajang (lumajangsatu.com) - Masa serap aspirasi (reses) yang dilakukan oleh anggota DPR RI dimanfaatkan juga untuk melakukan sosialisasi MPR RI tentang empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhenika Tunggal Ika. Drs. Ayub Khan, M.Si turun langsung menyampaikan pentingnya empat pilar kebangsaan untuk menjaga Negera dari segala bentuk ancaman. Saat ini semakin banyak faham-faham yang mulai ingin merongrong keutuhan negera, maka sosialisasi tentang empat pilar ini penting untuk terus digalakkan disemua elemen masyarakat, ujar Ayub Khan anggota Komisi IX DPR RI itu. Sebagai wakil rakyat yang berangkat dari wilayah pemilihan Jatim IV meliputi Jember- Lumajang, Ayub Khan  akan berupaya sekuat dan sebisa mungkin untuk terus membawa program-program pemerintah dari pusat. Dimana, program tersebut akan bersentuhan langsung dan bermanfaat secara langsung bagi masyarakat guna meneguhkankan kembali cinta rasa dan bangga menjadi bagian dari Indonesia. Kita negara yang berdaulat, beraneka ragam budaya, banyak pulau, suku, ras dan agama itulah kekayaan Indonesia yang harus kita pertahankan sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, jadi NKRI Harga Mati, papar politisi Demokrat itu. Acara sosialisasi empat pilar kebangsaan dilakukan mulai tanggal 8-11 Maret 2015 ditempatkan di desa Pakusari Kecamatan Pakusari Kabupaten Jember. Acara yang berjalan dengan khidmat tersebut disambut antusias oleh para peserta karena kegiatan itu sangat bermanfaat bagi masyarakat guna melanjutkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman dari segala ancaman in konstitusional seperti ISIS atau faham-faham yang bertentangan dengan Paham Pancasila. Ini sangat penting, karena dengan kegiatan ini masyarakat bisa mencintai bangsa dan dan tanah airnya sendiri, paparnya Misjdo kepala desa Pakusari.(*/Red)
Belum Masuk Peta Wisata Lumajang, Coban Sewu Semeru Populer dan Mendunia
Lumajang(lumajangsatu.com) - Obyek wisata Air Terjun Coban Semeru di Desa Sido Mulyo Kecamatan Pronojiwo, ternyata belum masuk peta wisata Kabupaten Lumajang. Meski tidak masuk peta, Keindahan Alam Coban Sewu terus populer dan menarik wisatawan untuk berkunjung. "Ah masak, belum masuk peta wisata Lumajang, emang belum dipromosikan tah," teriak, Susanti, wisatawan asal Surabaya. "Rugi sekali, pemkab bila tak promosikan Coban Sewu," terang Hamidah, Backpaker asal Jakarta. "Oh...makanya saat dicari di google dan website pemkab Lumajang, tetap populer," jelasnya. Populernya Coban Sewu Semeru dilakukan oleh masyarakat lewat media sosial. Bahkan, informasi untuk ke lokasi Coban Sewu banyak diketahui dari media sosial, blogger, backpaker yang saling berkomuniasi dalam menuju jalur wisata nan eksotika itu. Coban Sewu Semeru kini sudah mulai dijajaki sejumlah wisatawan asing yang senang berpetualang. Bahkan, untuk ke Coban Sewu, wisatawan melalui wisatawan Goa Tetes. Untuk masuk ke kawsan wisata goa tetas, pengunjung dikenai Retribusi Rp. 3.000 dan Rp. 5.000 untuk parkir. (ls/red)
Inilah Pujian Yang Menghancurkan Seseorang
Lumajang(lumajangsatu.com) - Ketidaktulusan tetaplah ketidaktulusan. Keirihatian tetaplah keirihatian. Ketulusan senantiasa melahirkan kenyamanan hati, walau dalam bentuk yang paling sederhana. Ketidaktulusan walau dibungkus dengan pelayanan dan hadiah mewah pasti pada akhirnya berujung ketidaknyamanan. Mata dan telinga mungkin bisa dikelabuhi, namun hati tak mungkin selalu dibohongi. Tuluslah dalam semua hal. Gelombang frekuensi suara radio akan sangat mudah dikenali pas dan tidaknya posisi dari jernih tidaknya bunyi yang keluar dari loudspeaker radio itu. Jernih tidaknya suara radio juga ditentukan oleh dekat tidaknya radio itu dengan pemancarnya. Kalau hati kita berada dalam posisi yang pas sesuai dengan yang diperintahkan Allah dan saat hati itu dekat dengan seseorang, komentarnya pasti jernih dan bagus, sejuk dan membahagiakan. Demikian pula sebaliknya, keruh dan jauhnya hati seringkali mendorong kita berkomentar negatif bahkan menjatuhkan. Kalau ada orang yang terus memuji kita secara berlebih-lebihan, hati-hati dengannya. Karena dia tengah mencoba mendapatkan sesuatu dari kita sementara secara diam-diam membiarkan kita hancur dengan kelemahan dan kekurangan kita. Kalau ada orang yang terus-menerus mengkritik kita tanpa ada apresiasi sama sekali akan pekerjaan dan prestasi kita, hati-hati juga dengan orang ini. Orang semacam ini sedang sakit hatinya, ada sombong dan iri dengki bersemayam di dadanya. Kalau ada orang yang sesekali memuji dan sesekali mengkritik dengan santun, jadikan dia sahabat dan saudara. Kita membutuhkan orang semacam ini untuk bangkit dan terus mengembangkan diri.(inilah.com/red)
Awas, Jika Manusia Menjadikan Uang Berhala
Lumajang (lumajangsatu.com) - Di jaman dulu sekali Syekh Hasan Basri dengan lantang berkata begini: "Bagi tiap ummat ada berhala yang disembah, adapun berhalanya ummat saat ini adalah dinar dan dirham (uang)." Kutipan di atas bisa dibaca dalam kitab Al-Aadab al-Syarii'ah karya al-Maqdisi dilansir inilah.com, Minggu(15/03). Ini jaman dulu lho ketika kompetisi kehidupan tidak separah saat ini, ketika para ulama masih banyak yang rajin menulis kitab dan tidak masuk dalam kancah politik praktis, ketika uang hanya dibagi menjadi uang halal dan uang haram belum ada pembagian uang menjadi uang asli dan uang palsu, dan ketika alam dibiarkan merdeka dengan keperawannya yang terbebas dari ketamakan manusia. Nah, bagaimana dengan masa kini? Masihkah uang menjadi berhala? Ataukan sudah menjadi tuhan sejati manusia? Lihatlah kerakusan manusia akan uang. Bukan miliknya diklaim sendiri sebagai miliknya, milik orang lain ditahan-tahan demi kepuasan nafsu diri, punya utang banyak tapi tidak dibayar-bayar seakan menjadi orang termiskin di dunia. Untuk apa ini semua dilakukan, padahal tahu bahwa Allah tidak pernah tidur dan lupa serta semua perbuatan akan dibalas sesuai dengan nilai perbuatannya. (inilah.com/red)
Wow...! Ada Penampakan Foto Kuno Air Terjun Cuban Sewu Semeru Masa Kolonial
Lumajang(lumajangsatu.com) - Sebuah penampakan foto Kuno yang diambil oleh fotografer dimasa kolonial yang menampilkan sebuah destinasi wisata, Air terjun di sebuah kebun kopi di Lumajang. Air terjun itu diduga diambil tahun 1899 dan belum diketahui siapa fotografernya, jenis camera dan lokasi pengambilan, hanya menjelaskan kebun kopi. Penampakan foto Air Terjun dikebun kopi diunggah oleh website www.lumajang.org dan didalam foto ada tulisan downloade by kangmartho.com. Website www.lumajang.org adalah sebuah yang menampilkan sejumlah foto kuno Lumajang dimasa kolonial dan masa kini. Di situs itu, kita bisa merasakan bagaimana kondisi Lumajang masa lampau, karena menampilkan foto  Lumajang diberbagai sisi kehidupan manusianya. website lumajang.org ini bisa dijadikan tempat untuk mencari pengetahuan dan pendidikan sejarah. Pengunjung situs akan terkagum dengan sejumlah foto kuno disana. (ls/red)
Dikira Batu Akik, Stalagtik dan Stalagmit Goa Tetes Banyak Yang Rusak dan Cuil
Lumajang(lumajangsatu.com) - Gara-gara boomingnya pemburu dan pencari akik, ternyata membuat satu destinasi wisata di Lumajang mulai mengalami kerusakan. Informasi dari warga dan wisatawan, staglakmit dan stalagtit di Obyek Wisatana Goa Tetes banyak yang rusak dengan di potong dan dicuil. Waduh, banyak stalaqtik dan stalakmit Goa Tetes Cuil dan batunya berserakan di cekungan aliran air, ujar Samsul, salah satu warga di Desa Sido Mulyo Kecamatan Pronojiwo. Mungkin batu di Goa tetes dikira akik,jelas Huda warga lainya. Waduh mas, banyak bebatuan yang cuil dan batu bekas dicuil berserakan di kubangan air di Goa tetes, jelas Irman, wisatwan asal malang. Aksi perusakan di Goa tetes diduga tidak ada pengawasan dari pengelola. Sehingga, boomingnya batuk akik, bukan wisatwan yang berkunjung tetapi penambang batu akik.(ls/red)
Ke Cuban Sewu Semeru, Wisatawan Seperti Berada di Dunia Film Avatar
Pronojiwo (lumajangsatu.com) - Eksotika Air Terjun Cuban Sewu Semeru di Desa Sido Mulyo Kecamatan Pronojiwo ternyata banyak meninggalkan kenangan dan kesan bagi pengunjung. Wisatawan yang sudah berkunjung, bahkan menyatakan alam di sepanjang Cuban Sewu serasa masuk dunia Avatar. "Kaya di alam Avatar mas," ujar Dondy, salah satu wisatwan domistik. menurut Dondy, dirinya terasa berada didunia film avatar, karena alam di Goa Tetes menuju Cuban Sewe terasa di film fiksi "Avatar". "Kita kalau kesana berasa dikeliling alam nan indah dengan tebing vulkanis luar biasa," ujar lulusan Universitas Paramadina Jakarta itu. Wisatawan menuju ke Goa Tetes dan Cuban Sewu terasa berwisata air dengan berbagai keindahan alam kaki Gunung Semeru. "Amazing, baru kali ini saya berwisata petualangan seperti difilm Avatar," terang Sandi, wisatawan asal Jakarta.(ls/red)